Sebelum maju menghadapi tes masuk yang sebenarnya, lulusan SMU sesungguhnya sudah menghadapi ujian yaitu memilih jurusan dan jenis sekolah. Faktor apa pula yang perlu diamati dengan cermat agar tak muncul sesal di kemudian hari? Jangan sampai terjadi waktu, tenaga, dan uang terbuang percuma, sementara kepuasan belajar tak terjangkau.
Tidak mudah memang memilih sekolah selepas SMU. Malah banyak pula lulusan SMU tidak tahu ingin ke mana. “Ini khas remaja Indonesia karena tidak terdidik untuk mengambil keputusan sendiri,” demikian tutur Indri Savitri, S. Psi dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI. Mereka terbiasa hanya menurut apa kata orang tua atau pengaruh lingkungan. Informasi yang sering kali kurang lengkap membuat dia pun makin bingung. Tanpa menelaah kemampuannya, ia bisa terombang-ambing, bahkan salah masuk jurusan. Setelah di dalam, barulah ia sadar kalau tidak suka belajar di jurusan itu. Akibatnya, prestasi pun mengecewakan.
Bandingkan dengan nilai rata-rata kelas
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faktor pertama yang perlu dipertimbangkan adalah masalah kemampuan intelektual. Siswa yang mampu mengukur kemampuannya bisa dengan mudah menentukan jurusannya. Sebaliknya, yang tidak mampu bisanya cuma ikut-ikutan. Misalnya, bila kuliah di fakultas kedokteran sedang nge-trend, maka ia pun akan mendaftar ke sana.
Mengetahui kemampuan intelektual sangat penting, karena di perguruan tinggi ada kemampuan dasar tertentu yang harus dikuasai sesuai dengan jurusan yang diambil. Ada yang membutuhkan penalaran cukup kompleks, seperti di jurusan MIPA, ada yang menuntut kemampuan berpikir abstrak yang baik, seperti di jurusan kedokteran.
Kemampuan intelektual biasanya dapat dilihat pada prestasi belajar. “Pada anak-anak, prestasi belajar adalah cerminan motivasinya. Siswa SMA yang mata pelajaran biologinya bagus biasanya anaknya suka biologi, rajin belajar, dengan proses belajar yang cukup bagus,” tutur Indri. Kembali ia menekankan pentingnya acuan prestasi belajar di sekolah sebagai dasar pendukung untuk memasuki suatu jurusan.
Namun, menentukan prestasi belajar tidaklah mudah. Prestasi juga terkait dengan ketekunan. Ada anak dengan kemampuan intelektual biasa, tapi karena rajin dan bertanggung jawab terhadap tugasnya bisa saja berprestasi menonjol.
Contohnya adalah nilai NEM. Penerimaan mahasiswa baru tidak bisa hanya mengandalkan NEM, sehingga perguruan tinggi masih selalu menyelenggarakan saringan ujian masuk. Penyebabnya, standar penilaian yang berbeda antara satu sekolah dengan yang lain. Jadi bagaimana mencari makna NEM? Cara yang bisa dipakai, bukan dengan melihat berapa nilainya, tapi membandingkannya dengan kemampuan rata-rata teman sekolahnya atau nilai rata-rata kelas. Perhatikanlah, apakah nilainya di atas atau di bawah nilai rata-rata kelas.
Bagi yang memiliki kemampuan rata-rata tentu saja jangan berharap bisa cepat menyerap pelajaran dibandingkan temannya yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Biasanya ia harus berusaha lebih keras; mengulang-ulang sebelum benar-benar menguasai suatu pelajaran, padahal temannya yang berkemampuan di atas rata-rata kelas barangkali cuma perlu sekali belajar.
Kemampuan juga harus didukung oleh minat. Karakter jurusan di perguruan tinggi juga berkaitan dengan karakter siswa. Ada orang yang memiliki tingkat sosialisasi tinggi, seperti senang membina hubungan dengan orang lain, berminat dengan hubungan antarmanusia. Terlebih lagi ia suka membaca, mengikuti perkembangan informasi dan menganalisis kejadian sehari-hari, tertarik pada masalah-masalah sosial, dan senang bicara. Orang demikian lebih baik mengambil jurusan yang banyak berhubungan dengan manusia, misalnya FISIP, atau psikologi. Sedangkan siswa jurusan IPA yang senang membantu orang lain dengan berinteraksi langsung, bisa mengambil jurusan kedokteran. Namun bila ia lebih berminat pada benda mati, serta kurang suka banyak berhubungan dengan orang lain, apalagi gemar mengutak-atik sesuatu, dia cocok masuk jurusan eksakta bagian MIPA yang punya karakter sangat khas dan menuntut daya nalar tinggi.
Namun tak sedikit orang yang merasa memiliki minat sangat luas, sehingga seakan-akan bisa masuk jurusan apapun. “Yang demikian ini perlu melakukan penelaahan kembali, berdasarkan kemampuan intelektualnya,” tutur Indri. Bila nilai fisikanya cukup baik, nilai sosialnya lebih baik, ia sendiri suka bergaul, maka perbandingan itu sudah cukup jadi patokan, pilihlah bidang sosial. Kalaupun ia masih belum merasa sreg, lebih baik bila ia menjalani psikotes.
Psikotes bagi yang bingung
Psikotes akan sangat membantu mereka yang bingung mempertemukan antara minat dan prestasi belajar. “Sering yang datang di LPT tidak bisa mengukur kemampuan dasar dan penguasaan terhadap tugas-tugas pendidikan,” ungkap Indri. Ia pun menambahkan dari hasil tes yang didapat akan nampak kemampuan dasar untuk kemudian dilihat apakah minatnya cukup mendukung untuk masuk ke sana atau tidak.
Dalam tes menentukan jurusan, sebelum menjalani tes, peserta akan ditanya apa yang disukai dan apa yang tidak. Kemudian ia akan menjalani tes dengan sejumlah alat. Berdasarkan penghitungan data-data yang ada, ditentukan tiga kecenderungan terkuat pilihan jurusan untuknya. Selanjutnya dilakukanlah pencocokan antara minatnya dengan hasil tes.
Hasil tes biasanya mencakup tiga faktor yaitu intelektual, minat, dan kepribadian atau EQ.
Intelektual bisa diperinci lagi menjadi: kemampuan potensi, untuk melihat seberapa besar keberhasilannya kalau potensi itu maksimal digunakan? Kemampuan pemahaman bahasa, karena pelajaran di perguruan tinggi menggunakan banyak literatur buku, maka ia harus bisa menemukan inti permasalahannya. Lalu bagaimana pula kemampuannya dalam mengaitkan satu topik dengan masalah lain? Sementara kemampuan penalaran angka berguna untuk melihat logika berpikir.
Selain itu kadang dinilai juga kemampuan kreatifnya. Karena ada jurusan yang membutuhkan kemampuan berpikir kreatif, misalnya, arsitektur atau jurusan yang berbau seni atau sastra.
Juga apakah ia memiliki cara kerja dan disiplin yang memadai, apakah ia rentan stres – yang sangat mempengaruhi dalam mencapai keberhasilan, apakah ia memiliki hasrat berprestasi atau dorongan untuk bisa menunjukkan prestasi optimal? Bila ia sudah memiliki faktor yang terakhir biasanya siswa sudah punya inisiatif untuk belajar sendiri tanpa perlu diajak-ajak oleh teman.
Sedangkan yang berhubungan dengan EQ adalah unsur kematangan emosi, dalam arti tidak terpengaruh orang lain, bisa mengambil keputusan sendiri, bisa mengatur hidupnya, dll. Bukankah seorang mahasiswa dituntut mampu bersikap dewasa, di antaranya mampu menentukan sendiri kapan ia harus belajar atau aktif berorganisasi? Faktor lain yang diukur adalah kemampuan menyesuaikan diri. Apakah ia cukup luwes bergaul, membawa diri dalam pergaulan, juga yakin terhadap kemampuannya? Yang tidak kalah penting adalah seberapa jauh ia masih harus meningkatkan kedewasaan mentalnya untuk meraih keberhasilan?
Seberapa baiknya tingkat keberhasilan belajar yang menuruti anjuran hasil psikotes memang sulit diukur. “Karena faktor penentu keberhasilan belajar di perguruan tinggi sangat beragam, ” ujar Indri sambil menambahkan tingkat ketepatan tes ini mencapai 60%. Selain tingkat intelektual yang mendukung, diperlukan pula sikap belajar yang positif seperti ketekunan, serius, bisa membagi waktu, keterampilan sosial yang bagus.
Selain itu, untuk belajar di program S-1, orang harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, bukan yang mudah bosan. Bagi mereka yang mudah bosan lebih baik masuk akademi, karena masa belajarnya singkat.
Untuk itu LPT-UI menyediakan layanan Warid Belajar. Melalui evaluasi psikologis, siswa akan mendapat gambaran potensi diri, terutama yang berkait dengan bidang akademis. Gambaran yang diberikan mencakup segi kecerdasan, kepribadian, cara kerja dan arah minat yang akan berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan siswa dalam pendidikan. Selanjutnya, secara berkala LPT-UI mengadakan pertemuan dengan siswa yang pernah mengikuti warid belajar berikut orang tuanya untuk membicarakan laporan evaluasi psikologis yang diperoleh, serta mendapat penjelasan bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi itu secara efektif. Layanan ini berupaya membantu mencocokkan potensi dengan sejumlah jalur pendidikan yang ada.
Ada tiga macam tes dalam Warid Belajar, yaitu bagi siswa SMP kelas 3, SMU kelas 2, dan SMU kelas 3. Yang pertama untuk membantu apakah siswa SMP itu lebih tepat masuk ke SMU atau sekolah kejuruan. Khusus mereka yang memiliki intelektual di bawah rata-rata biasanya akan lebih berhasil pada tugas-tugas konkrit yang praktis yang lebih banyak diperoleh di sekolah kejuruan.
Sedangkan yang untuk SMU kelas 2 ditujukan untuk memudahkan saat penjurusan kelas 3 SMU, apakah masuk kelas IPA, IPS, atau bahasa. Jenis terakhir untuk membantu siswa kelas 3 SMU memilih masuk program S1, D3 atau kursus serta jurusan yang tepat.
Warid Belajar diadakan tiap Kamis, mulai pukul 09.00 – 15.30 dengan biaya Rp 45.000,-. Peserta biasanya akan mengikuti tes secara klasikal dengan peserta 50 orang untuk kelas besar, dan 20 orang untuk kelas kecil. “Karena lama, saya selalu minta peserta untuk melakukan persiapan dengan beristirahat serta makan yang cukup.” Menurut Indri, peserta akan memperoleh hasil tertulis gambaran kemampuan dalam psikogram dan selembar uraian dari ketiga aspek.
Tes untuk memilih jurusan memang paling tepat dilakukan saat kelas 2 dan 3 SMU. Karena setelah 2 tahun di SMU, mereka sudah bisa melihat lebih jauh kemampuan mereka dan biasanya minat mereka mulai stabil. “Ambil contoh, anak-anak pada usia muda ‘kan sering berganti cita-cita. Hari ini ingin jadi
Soal psikotes, Indri mengingatkan bahwa buku-buku panduan tes yang beredar kurang tepat dijadikan patokan memilih jurusan. Menurut psikolog bertubuh mungil ini, “Ada beberapa hal, terutama mengenai kepribadian, tidak bisa dengan mudah dipahami semudah tes prestatif.”
Berpatokan pada profesi
Yang tak kalah pentingnya adalah dukungan keluarga, terutama orang tua. Maka Indri menganjurkan untuk menghindari ketidaksepahaman antara orang tua dengan anak. “Kembalikan saja kepada anak berdasarkan kemampuan yang ada padanya. Jangan sampai orang tua memaksakan kehendak, sementara sang anak tidak cukup punya kemampuan maupun minat. Jangan-jangan nanti malah berakibat negatif, alias prestasi sekolahnya tidak bagus.”
Amatilah apakah sang anak cukup cerdas untuk maju dalam persaingan yang ketat atau kemampuannya biasa-biasa saja. Kalau ternyata prestasinya sedang-sedang, meski semasa SMU berasal dari jurusan IPA, jangan ragu untuk menganjurkannya masuk ke bagian ilmu sosial.
Menurutnya, penjurusan di SMU pun bisa salah, terutama kalau prestasi belajarnya tidak optimal, sehingga guru memberikan nilai sulapan atau dongkrakan. Kasus lain terjadi pada siswa yang malas belajar sehingga prestasinya tidak mencerminkan kemampuan. Akibatnya guru salah menjuruskan. Ia pun masuk ke IPS, padahal ia tidak suka hafalan, sementara untuk mata pelajaran IPA nilai-nilainya buruk karena ia malas belajar. Bila demikian, anak ini perlu ditelaah ulang untuk menggali lebih dalam potensi yang sebenarnya. Sering kali siswa yang demikian punya masalah motivasi. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mungkin kurangnya dukungan keluarga, atau kurang lengkapnya sarana belajar di sekolah. Maka ia perlu mendapat bantuan untuk membangkitkan motivasi belajar.
Untuk menjembatani ketidaksepahaman orang tua-anak dalam memilih jurusan, Indri menganjurkan, tidak hanya orang tua namun anak juga mencari informasi tentang jurusan yang diminati. Sebagai contoh, sang anak ingin masuk ke jurusan arkeologi yang sering disebut jurusan “kering”. Sang anak bisa memberi tahu bahwa arkeolog tidak selalu bekerja di museum, tapi bisa di lembaga penelitian atau mengabdi untuk perkembangan ilmu. Artinya sang anak tidak menelan begitu saja informasi dari lingkungan yang terbatas. Ia bisa mencari masukan dari berbagai pihak dan sumber tentang jurusan yang dipilihnya. Apalagi sekarang banyak universitas yang open house. Informasi itu mencakup tak hanya apa yang akan dipelajari di bangku kuliah, sekaligus juga profesi-profesi yang mungkin dijalani.
Kemungkinan profesi yang akan dijalani memang perlu dipertimbangkan. Renungkan benar-benar apa yang ingin dilakukan setelah sekolah. Ingin bekerja sebagai karyawan biasa? Melanjutkan ke S-2? Berwirausaha?
Indri memberikan contoh lain mengenai pilihan pendidikan yang memiliki masa depan. “Memilih teknik nuklir memang tidak salah, tapi perlu dipertimbangkan, masa depan ahli teknik nuklir di Indonesia belum terlalu cerah.” Bila minatnya pada jurusan kedokteran gigi, “Cobalah berintrospeksi apakah orang tuanya memiliki dana yang cukup besar untuk membeli peralatan dokter gigi yang mahal?”
Kasus lainnya adalah, lulusan universitas tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya. Tindakan ini bisa berarti, telah terjadi kesalahan dalam menilai diri-sendiri. Jangan sampai terjadi, misalnya, lulusan teknik kimia malah terjun di perbankan. “Tapi perlu dibedakan dengan insunyur sipil yang kemudian memperdalam ilmu manajemen untuk menjadi pimpinan proyek. Karena di sini orang tersebut memperluas kompetensinya,” Indri memberikan contoh yang lain.
Memilih jurusan memang tidak mudah. Selain perlu mengenali benar diri-sendiri, cukup mendapat dukungan keluarga, ukur juga kondisi keuangan. (Shinta Teviningrum)