Kanker paru jadi pembunuh terbesar pada laki-laki dan pembunuh keempat pada perempuan di seluruh dunia pada 2012. Munculnya kanker paru tidak menimbulkan rasa sakit dan belum ada metode apa pun untuk mendeteksinya. Kondisi itu membuat kanker paru umumnya baru diketahui saat sudah dalam stadium lanjut.
Untuk itu, mahasiswa Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Achmad Hudoyo mengembangkan metode deteksi dini kanker paru. Metode deteksi yang sederhana dan murah itu dipaparkan Hudoyo saat mempertahankan disertasinya di Jakarta, Rabu (10/1).
Deteksi itu dilakukan menggunakan embusan napas yang ditampung dalam sebuah balon karet. Uap panas napas itulah yang akan dideteksi kandungan asam deoksiribonukleat (DNA) dan senyawa kimia yang jadi penanda kanker paru. Untuk memudahkan penangkapan DNA, balon ditiup menggunakan alat tiup khusus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selanjutnya, uap panas napas dari balon dipindahkan ke kertas penyaring khusus untuk menangkap dan menyimpan DNA. Kertas saring itu kemudian tinggal dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi di sejumlah kota besar menggunakan jasa pos.
“Cara ini membuat proses deteksi dini kanker paru bisa dilakukan siapa pun, termasuk yang tinggal di daerah terpencil atau pulau kecil,” kata Hudoyo. DNA yang tersimpan di kertas saring bisa bertahan lama, termasuk dalam udara yang hangat.
Selanjutnya, di laboratorium mikrobiologi, DNA di kertas saring itu akan diproses untuk mendeteksi keberadaan gen APC (Adenomatous Polyposis Coly) dan RASSF1A (Ras Association Domain Family 1-isoform A).
Selain itu, juga dideteksi lima senyawa kimia yang menjadi penanda keberadaan kanker paru. Kelima senyawa itu adalah 2-metil-pentana, dimetilhidrazon-3-pentanon, 2-propanamin, 2-butanon dan metil benzen.
Dari penelitian terhadap 40 pasien kanker paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta menggunakan metode embusan napas dengan balon itu, terdeteksi lima senyawa kimia penanda kanker paru.
Namun, gen APC dan RASSF1A tidak terdeteksi. “Itu menunjukkan gen yang berperan memicu kanker paru di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain,” kata Hudoyo.
Perbedaan gen itu wajar mengingat banyak hal yang berperan dalam proses epigenetik (perubahan ekspresi gen atau modifikasi kimia DNA tanpa mengubah urutan gennya), seperti beda makanan, lingkungan, atau jenis rokok. Mekanisme epigenetik itu disebut metilasi. Karena itu, butuh riset lanjutan guna mengetahui gen pemicu kanker paru di Indonesia. Gen pemicu kanker paru di Indonesia yang sudah diteliti adalah EGFR (epidermal growth factor receptor).
Meski mudah dan murah, deteksi dini kanker paru ini belum masuk dalam tata laksana kanker paru di Indonesia. Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Respirasi FKUI yang jadi promotor disertasi Hudoyo, Wiwien Heru Wiyono, mengatakan, riset ini bisa diaplikasikan hingga menekan kematian akibat kanker paru. “Selama ini, 70 persen kanker paru ditemukan sudah dalam stadium lanjut sehingga terbatas pilihan pengobatannya,” katanya.
Meskipun demikian, teknik ini bisa digunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk memastikan keberadaan EGFR. Selama ini, BPJS Kesehatan akan menanggung biaya pengobatan kanker paru yang mahal jika jenis kanker parunya adenokarsinoma dan terbukti adanya EGFR. (MZW)
Sumber: Kompas, 11 Januari 2018