Demokrasi Pengetahuan dan Universitas

- Editor

Senin, 9 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat ini tatanan sosial politik negeri ini sedang dibalut kabut tebal. Apa yang sedang berlangsung bisa dipandang sebagai buah pahit dari demokrasi.

Salah satu biang keladi dari munculnya kabut tebal itu adalah kebebasan penyampaian pendapat yang tidak dilandasi etika dan dipagari oleh rasa tanggung jawab. Akibatnya telah terjadi berbagai penyesatan informasi, yang bukan hanya membingungkan, melainkan sampai tingkat tertentu sudah berhasil memecah belah masyarakat.

Gejala ini berkembang sangat subur seiring dengan semakin terbukanya akses terhadap internet dan media sosial. Sudah sangat jamak kita jumpai berbagai unggahan berita dan video yang menanamkan kebencian dan fitnah—bahkan sejak dari judulnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, seperti layaknya buah, ada pula buah yang manis dari demokrasi. Salah satu buah manis demokrasi yang kian mewujud adalah apa yang disebut sebagai demokrasi pengetahuan (knowledge democracy). Dalam masyarakat yang telah semakin mengarah pada masyarakat pengetahuan (knowledge society), saat ini pengetahuan—atau lebih tepatnya penguasaan terhadapnya—telah tersebar luas dalam masyarakat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi sudah bukan lagi menjadi monopoli ilmuwan universitas. Banyak keahlian yang berakar dalam pengalaman hidup warga. Begitu pula kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi mulai tersebar merata dalam masyarakat.

Singkatnya, meminjam ungkapan Beth Simone Noveck (2016), Guru Besar Universitas New York, telah berlangsung pergeseran dari pakar “resmi” (credentialed experts) ke pakar “warga” (citizen experts) dalam berbagai bidang iptek.

Akses yang semakin meningkat terhadap teknologi internet dan media sosial—yang semakin canggih dan kian mudah digunakan—merupakan faktor penting yang memacu pergeseran dari “pakar resmi” ke “pakar warga” tersebut. Sebagian besar dari kita tentu telah menyaksikan dan bahkan memanfaatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibagikan oleh “pakar warga” secara cuma-cuma di media sosial.
Dalam keseharian dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari kita pernah merasakan betul jasa para “pakar warga” ini. Contoh yang paling sederhana adalah saat kita menemui kesulitan dengan produk elektronik dan gadget baru. Untuk bisa mengoperasikan peranti tersebut kita cukup menyimak video bertajuk “unboxing… (merek dan serigadget Anda)” yang diunggah di media sosial.

Dalam media sosial yang sama, kita bisa mendapati begitu banyak orang yang secara sukarela berbagi beragam pengetahuan dan keterampilan—dari yang sederhana hingga yang sangat ilmiah—mulai dari “bermain karet gelang” atau “membuat pupuk organik” sampai “human genome sequencing”. Fenomena ini kembali menegaskan bahwa manusia memang makhluk yang selalu terombang-ambing oleh dorongan egoisme dan altruisme.

Tantangan bagi universitas
Proses demokratisasi pengetahuan dalam masyarakat pengetahuan menuntut universitas dan lulusannya untuk beradaptasi. Sebagai sebuah keniscayaan, proses ini tidak perlu—dan memang tidak bisa dimitigasi.

Universitas sudah tidak bisa lagi mendaku sebagai pemegang monopoli riset dan ilmu pengetahuan. Mungkin, hanya satu monopoli universitas yang masih dapat dipertahankan, yaitu pendidikan peneliti karena otoritasnya dalam pemberian gelar akademik.

Universitas harus menggeser haluannya. Jika sebelumnya universitas adalah kutub utama pengetahuan, ia kini hanya merupakan satu dari banyak kutub dalam konstelasi ilmu pengetahuan yang multipolar. Untuk itu, universitas harus memiliki kesadaran baru, yaitu kesadaran kewargaan (civic awareness).

Dengan kesadaran baru itu, universitas dapat menemukan peran kewargaannya (civic role). Peran kewargaan universitas adalah bersama segenap unsur masyarakat terlibat—secara setara dan saling menghargai—dalam pembangunan wilayah dan nasional.

Proses keterlibatan bersama dalam pembangunan wilayah dan nasional ini dikenal sebagai proses ko-kreasi (co-creation). Universitas yang telah terlibat dalam ko-kreasi layak mendapat predikat universitas transformatif (transformative university) atau universitas generasi keempat.

Jika ceruk pergumulan universitas sudah terumuskan dengan baik—yaitu berproses menjadi universitas transformatif—bagaimana dengan para alumninya?Dalam kaitan ini, dengan memadukan pemikiran John Dewey dan Bruno Latour, Gert Biesta (2007)—seorang filsuf dari Universitas Stirling, Inggris—merumuskan bahwa agenda penting yang harus diemban oleh universitas dalam peran kewargaannya adalah justru memperkuat proses demokratisasi ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, para alumni sebagai warga masyarakat berhak dan perlu menyumbangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam proses ko-kreasi—tanpa harus berada dalam pemerintahan. Perlu disadari dalam sistem pengetahuan multipolar ini, ada lebih banyak pakar (ahli) daripada jumlah mereka yang “beruntung” membantu pemerintah. Dengan kata lain, sesuai dengan rumusan Noveck (2016)—dikotomi antara demokrasi dan kepakaran adalah sebuah kekeliruan.

Akhirnya—di tengah kemelimpahan dan ketersebaran pengetahuan dalam masyarakat—universitas harus mengambil peran sebagai simpul pengetahuan (knowledge hub). Sebagai sebuah simpul, universitas harus mampu menjalankan crowdsourcing (outsourcing from the crowd).
Idealnya universitas berperan dalam menghimpun, mengelompokkan, memadukan, dan menyajikan beragam pengetahuan yang tersebar itu dalam bentuk yang lebih siap untuk didayagunakan oleh pengambil keputusan (baca: pemerintah) dalam meningkatkan mutu pembangunan.

Y BUDI WIDIANARKO, REKTOR UNIKA SOEGIJAPRANATA DAN ANGGOTA DEWAN RISET DAERAH JAWA TENGAH
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul “Demokrasi Pengetahuan dan Universitas”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 27 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB