Penelitian penanggulangan demam berdarah dengue dengan bakteri Wolbachia yang dilakukan Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengalami kemajuan. Selama setahun, nyamuk Aedes aegypti berbakteri Wolbachia bisa bertahan hidup dan berkembang secara alamiah.
“Kini riset kami memasuki tahap akhir fase dua. Nyamuk yang mengandung Wolbachia bertahan hidup sehingga kami optimistis tujuan riset ini akan tercapai,” kata ahli serangga Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta, Warsito Tantowijoyo, Senin (15/6), di Yogyakarta.
Program EDP merupakan kegiatan riset di sejumlah negara untuk mencari metode baru penanggulangan demam berdarah dengue (DBD). Fokus utama EDP ialah mencegah penularan virus dengue dengan bakteri Wolbachia. Bakteri itu ada pada serangga dan menghambat pertumbuhan virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Metode baru penanggulangan DBD diperlukan, karena pencegahan dengan memberantas sarang nyamuk kurang efektif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara global ada sekitar 390 juta kasus DBD per tahun. Di Indonesia, jumlah kasus DBD naik dari 90.245 pada 2012 jadi 105.545 pada 2013.
Di Yogyakarta, EDP antara lain didukung Yayasan Tahija dan berjalan sejak 2011. Pada Januari-Juni 2014, tim EDP Yogyakarta menyebar nyamuk Aedes aegypti pembawa Wolbachia di Nogotirto dan Kronggahan, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY. Pada Desember 2014, nyamuk berbakteri Wolbachia disebar di Jomblangan dan Singosaren, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY.
Hasilnya, nyamuk pembawa Wolbachia di Nogotirto dan Kronggahan berkembang biak secara alami, dengan persentase 60-90 persen dari populasi nyamuk Aedes aegypti. Populasi nyamuk berbakteri Wolbachia di Jomblangan dan Singosaren sekitar 60 persen. “Kami hentikan sementara penyebaran nyamuk pembawa Wolbachia,” ujarnya.
Timnya tak menemukan penularan DBD antarpenduduk di Nogotirto dan Kronggahan. Itu bukti awal efektivitas Wolbachia mencegah penyebaran DBD. Menurut peneliti sosial EDP Yogyakarta, Bekti Dwi Andari, pihaknya memantau populasi nyamuk Aedes aegypti di Yogyakarta dan meriset pola aktivitas harian anak-anak usia 1-10 tahun demi mengetahui angka DBD anak dan kasus DBD per tahun. (HRS)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Nyamuk Berbakteri Wolbachia Bertahan”.