Deforestasi atau penggundulan hutan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua, semakin meningkat. Benteng terakhir hutan tropis Indonesia ini membutuhkan upaya perlindungan.
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA–Tampak beberapa ekor burung cenderawasih jenis burung cenderawasih jenis Paradiseae minor atau kuning kecil jantan yang bertengger di atas pucuk salah satu pohon setinggi 70 meter di hutan Kampung Sawendui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, pada 4 April 2019 lalu.
Deforestasi atau penebangan hutan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua, semakin meningkat. Mengembalikan akses pengelolaan hutan kepada masyarakat adat bisa menjadi pilihan untuk menjaga benteng terakhir hutan tropis di Indonesia itu dari kehancuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal tersebut mengemuka dalam hasil kajian dan analisis dari penelitian Forest Watch Indonesia (FWI) mengenai potret kondisi hutan dan manusia di bioregion Papua yang meliputi wilayah Papua Barat, Papua, dan Kepulauan Aru.
Peneliti FWI, Mufti Ode, dalam diskusi daring, Jumat (26/6/2020), mengatakan, secara administrasi, Kepulauan Aru memang masuk ke dalam wilayah Maluku. Namun, secara ekologis, lingkungan ataupun kondisi flora dan fauna di Kepulauan Aru lebih memiliki persamaan dengan wilayah Papua.
Berdasarkan catatan FWI dari kompilasi data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, deforestasi secara nasional sejak 2000 hingga 2020 menunjukkan tren penurunan dari rata-rata 1 juta hektar (ha) menjadi 400.000 ha hutan. Hanya saja, tren tersebut tidak terjadi di wilayah Papua.
Penurunan hanya terjadi pada hutan di wilayah Indonesia barat, seperti Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, hutan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua, justru mengalami peningkatan deforestasi.
Peningkatan deforestasi ini juga ditegaskan dari tingginya angka luas arahan pemanfaatan hutan produksi di Papua yang mencapai lebih dari 1 juta hektar setiap tahun sejak 2017-2020. Sementara luas pemanfaatan hutan di wilayah lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, rata-rata hanya mencapai ratusan ribu hektar.
”Ada kenaikan suhu rata-rata di bioregion Papua yang sangat signifikan pada satu dekade terakhir. Meningkatnya deforestasi juga akan berdampak lebih signfikan pada kenaikan suhu ini,” ujarnya.
Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, mengatakan, terdapat sejumlah hal yang melatarbelakangi atau menjadi masalah umum meningkatnya deforestasi di wilayah bioregion Papua. Salah satunya adalah masih minim dan lemahnya pengakuan formal wilayah adat oleh pemerintah sehingga membuat wilayah adat tersebut menjadi zona bebas.
Masalah umum lainnya yang menjadi penyebab deforestasi, antara lain, adalah adanya politik intervensi negara dan agenda pembangunan nasional, adanya perampasan tanah untuk ekspansi, konflik sosial agraria, dan masih minimnya keteladanan kemandirian masyarakat lokal.
Sistem sosial
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, pengetahuan mengenai hutan dan masyarakat Papua merupakan kunci untuk menyelesaikan masalah deforestasi. Oleh karena itu, sejumlah pihak harus berhati-hati dalam melihat potensi yang mudah dipetakan dalam lahan kosong dengan tujuan pemanfaatan hutan.
Akademisi dari Universitas Papua, Yusuf Willem Sawaki, mengatakan, hutan telah membentuk sistem sosial di Papua. Bahkan, hutan telah menjadi rumah bagi masyarakat Papua. Interaksi dan relasi sosial dalam keluarga di sejumlah suku juga tercipta di hutan.
Selain itu, hutan juga telah membentuk sistem budaya di Papua. Masyarakat Papua kerap menjadikan hutan sebagai sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial, ekonomi, religi, kesenian, dan zonasi wilayah.
”Jangan hanya melihat hutan sebagai sumber ekonomi, tetapi terdapat kekayaan yang lebih penting, yaitu sosial budaya dan menyangkut sistem hidup manusia Papua. Oleh karena itu, redefinisi hutan dengan yang lebih komprehensif itu perlu,” ungkapnya.
Hutan Papua dibebani berbagai jenis konsesi, seperti izin usaha pemanfaatan hasil hutan – hutan alam (IUPHHK-HA) atau dulu dikenal hak pengusahaan hutan (HPA), IUPHHK-hutan tanaman industri (HTI), dan IUPHHK-restorasi ekosistem (RE). Selain izin kehutanan, sejumlah pelepasan untuk perkebunan sawit juga turut menggerogoti belantara di Bumi Cenderawasih tersebut.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 Juni 2020