Perhatian pada bekantan tak sebesar perhatian pada orang utan. Padahal bekantan juga termasuk satwa yang terancam punah. Amalia Rezeki berusaha menggerakkan orang untuk melindungi bekantan dari ancaman kepunahan.
Bekantan (Nasalis larvatus) adalah primata endemik Kalimantan yang terancam punah. Namun, perhatian pada bekantan tak sebesar perhatian pada orang utan. Kondisi itu menggerakkan Amalia Rezeki (32) untuk turun tangan menyelamatkan bekantan yang seolah terlupakan.
KOMPAS/ARSIP PRIBADI–Amalia Rezeki menggendong bayi bekantan di Pusat Rehabilitasi Bekantan milik Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 31 Maret 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saya terdorong menyelamatkan bekantan karena tanggung jawab keilmuan, tanggung jawab nasional, dan tanggung jawab agama,” tegasnya saat dijumpai di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (5/2/2020).
Amel, begitu ia biasa disapa, adalah master dalam bidang pendidikan biologi. Karena itu, ia memahami pentingnya flora dan fauna bagi kelangsungan hidup. Sayangnya, ia menemukan fakta di Kalsel banyak satwa liar yang terancam punah, salah satunya bekantan atau disebut juga monyet belanda.
Satwa ini masuk dalam daftar merah (spesies terancam punah) versi lembaga konservasi dunia (International Union for Conservation of Nature/IUCN). Konvensi perdagangan internasional untuk spesies hewan dan tumbuhan liar yang terancam punah (CITES) juga memasukkan bekantan dalam daftar spesies primata yang terancam punah. Dengan demikian, perdagangan satwa itu harus diatur dengan sangat ketat.
Pemerintah sendiri telah menetapkan bekantan sebagai satwa dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No. 134 dan No. 266 jo UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati.
”Tahun 1990, bekantan juga ditetapkan sebagai maskot provinsi Kalsel, tapi upaya konservasinya belum optimal,” ujar dosen di Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat itu.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Amalia Rezeki (32), dosen Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat bercengkerama dengan bekantan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (23/2/2020). Amalia adalah pegiat konservasi bekantan (Nasalis larvatus) di Kalimantan Selatan.
Sebagai orang Kalsel, Amel merasa terpanggil untuk menjaga kelestarian bekantan. Inilah yang disebutnya sebagai tanggung jawab nasional karena ada nasionalisme di sini. ”Saya melihat di provinsi lain yang banyak bergerak di bidang konservasi justru orang asing. Padahal seharusnya kita yang menjaga keanekaragaman hayati kita sendiri,” tuturnya.
Amel yang sejak kecil mendalami ajaran Islam juga menyadari tugas manusia sebagai khalifah yang harus menjaga apa yang sudah diciptakan Allah di muka bumi. ”Jadi menyelamatkan bekantan itu sama dengan menyelamatkan peradaban manusia,” tambahnya.
Sahabat bekantan
Amel mulai fokus pada kegiatan konservasi bekantan pada 2013. Tahun itu, ia mendirikan Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) untuk mendukung program perlindungan dan pelestarian bekantan dan satwa liar yang dilindungi beserta habitatnya.
Menurut dia mustahil menyelamatkan satwa liar kalau rumah atau habitatnya tidak diselamatkan. ”Kegiatan konservasi itu bukan tanggung jawab pemerintah semata, tapi tanggung jawab bersama. Kalau pemerintah, swasta, dan komunitas bergerak bersama, hasilnya akan lebih bagus.”
SBI berusaha menyadarkan dan mendidik masyarakat pentingnya bekantan bagi ekosistem. Selain itu, ada program penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran bekantan. Sejauh ini, ada 45 ekor bekantan yang berhasil diselamatkan dan direhabilitasi. Semuanya dilepasliarkan ke kawasan konservasi seperti Pulau Bakut, Pulau Kaget, dan Pulau Curiak di Kabupaten Barito Kuala. Total ada 11 kawasan konservasi di Kalsel.
Di luar itu, SBI berupaya merestorasi mangrove rambai, khususnya rambai sungai. Mangrove rambai merupakan habitat bekantan yang makan pucuk-pucuk rambai sungai. ”Bekantan itu monyet pemakan daun, bukan pemakan pisang atau buah-buahan seperti monyet lain,” katanya.
Sampai sekarang ini, sekitar 5.000 pohon rambai sungai sudah ditanam di beberapa kawasan konservasi maupun luar kawasan konservasi. Tahun ini, SBI menargetkan penanaman rambai sungai sebanyak 10.000 pohon.
KOMPAS/ARSIP PRIBADI–Amalia Rezeki melakukan pembibitan mangrove rambai sungai di Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada 5 Mei 2019.
SBI juga bekerja sama dengan Universitas Lambung Mangkurat membangun Stasiun Riset Bekantan di Pulau Curiak. Stasiun itu memiliki peran penting sebagai tempat penelitian ilmiah ekosistem lahan basah. Tempat itu juga dikembangkan untuk ekowisata bekantan. “Kami bersama Pemerintah Kota Banjarmasin sudah meluncurkan program Bekantan Ecotour pada 2016,” katanya.
Amel secara rutin menengok bekantan di habitnya di Pulau Bakut, Pulau Kaget, dan Pulau Curiak. Untuk sampai ke sana, ia harus menyeberangi Sungai Barito yang lebarnya ratusan meter dengan menggunakan perahu. Ia lalu masuk hutan mangrove rambai yang lahannya sebagian basah dan berlumpur.
Ia tak canggung bercengkrama dengan bekantan, primata yang dikenal pemalu di pusat penyelamatan dan rehabilitasi bekantan di Banjarmasin. “Bekantan itu unik. Kalau sering mengamati perilakunya pasti akan jatuh cinta,” ujarnya diikuti tawa.
Membangun jaringan
Amel menuturkan, program-program kegiatan SBI dirancang untuk mendukung pendanaan kegiatan konservasi bekantan. Selama ini, kegiatan konservasi bekantan tidak selalu didukung penuh berbagai pihak. Karena itu, pengelola SBI harus urunan dana.
”Di dunia internasional, bekantan belum seseksi orang utan. Kami harus gencar melakukan promosi ke berbagai negara dan membangun jaringan lewat pertemanan dan media sosial untuk menarik dukungan,” tutur Amel.
Dukungan berbagai pihak terhadap konservasi bekantan sangat diperlukan karena populasi bekantan terus menyusut. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan, jumlah bekantan di luar kawasan konservasi pada 2018 sekitar 2.500 ekor. Jumlah tersebut menurun 50 persen dari data tahun 2013.
Menurut Amalia, penurunan populasi bekantan di alam terutama akibat faktor eksternal, yakni alih fungsi lahan, kebakaran hutan, serta perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. Laju kepunahannya lebih cepat daripada pemulihan habitatnya.
Amalia Rezeki
Lahir: Banjarmasin, 25 Februari 1988
Pendidikan:
S1 Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat (2006-2010)
S2 Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat (2012-2013)
S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ULM (2018-Sekarang)
Pekerjaan: Dosen Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Organisasi:
Ketua Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (2013-sekarang)
Kepala Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (2013-sekarang)
Sekretaris Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kalimantan Selatan (2016-Sekarang)
Sekretaris Masyarakat Peduli Sungai (2016-Sekarang)
Penghargaan:
Gelar Kehormatan ”PUSPAWANA” dari Kesultanan Banjar untuk Pengabdian pada Pelestarian Fauna (2015)
Wanita Inspiratif Indonesia ”Tupperware SheCAN! Award 2015” kategori Lingkungan (2015)
Aktivis Lingkungan dari Kaukus Lingkungan dan Kehutanan DPRD Provinsi Kalsel (2017)
Pena Hijau Award atas dedikasi untuk upaya konservasi (2017)
Aktivis Konservasi Flora dan Fauna dari BKSDA Kalsel (2019)
Perempuan Inspiratif Penggagas Sekolah Konservasi dari Wali Kota Banjarmasin (2019)
Penghargaan Internasional dari ASEAN Youth Eco-Champion (AYECA) di Kamboja (2019)
Oleh JUMARTO YULIANUS
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 25 Februari 2020