Data dan informasi iklim dapat dimanfaatkan dalam perencanaan tanam sehingga para petani dapat meminimalisasi kegagalan panen akibat musim kemarau dan potensi kekeringan.
Memasuki musim kemarau, para petani dihadapkan pada potensi kekeringan yang dapat mengancam kegagalan panen. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data dan informasi iklim sehingga dapat melakukan perencanaan tanam dengan lebih matang.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Prediksi Iklim Pertanian Mengantisipasi Potensi Kekeringan?” yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Kamis (18/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BPAH), Aris Pramudia, menjelaskan, informasi iklim merupakan data cuaca dan data iklim yang sudah diolah menjadi suatu informasi yang lebih aplikatif untuk suatu pemanfaatan tertentu. Salah satu contoh informasi iklim adalah pola curah hujan.
Informasi iklim yang sudah diolah kembali dapat disajikan dalam dua jenis data, yakni data evaluasi dan prediksi. Data prediksi inilah yang dapat menjadi salah satu prakiraan guna menghadapi potensi kekeringan di suatu wilayah.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Petani mengangkut bibit padi, Kamis (16/1/2020), di Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Saat ini, petani mengalami keterlambatan tanam hingga dua bulan akibat kemarau.
Dalam perencanaan tanam, data yang umum digunakan adalah curah hujan untuk prakiraan awal musim hujan dan pola hujan. Sebelum dapat digunakan sebagai analisis kalender tanam, data tersebut juga diolah kembali dengan data suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin.
Berdasarkan analisis kalender tanam di wilayah Ciasem, Subang, yang dilakukan BPAH tahun lalu, awal musim hujan ditetapkan pada bulan November. Dengan mengetahui awal musim hujan, petani dapat melakukan alternatif tanam padi pada bulan tersebut hingga masa panen selama empat bulan.
Sementara hasil analisis lainnya menyatakan bahwa awal musim kemarau ditetapkan pada Mei 2020. Memasukinya musim kemarau dengan intensitas hujan yang rendah membuat varietas padi yang ditanam harus lebih pendek dari sebelumnya.
”Dalam pertanian, waktu untuk mulai menanam sebaiknya dilakukan ketika air tersedia. Jadi, penting untuk mempelajari kapan tiba awal musim hujan dan awal atau akhir musim kemarau,” ujarnya.
Ketua Peneliti Agroklimat BPAH Yayan Apriyana menambahkan, setiap petani perlu menerapkan analisis kalender tanam. Hal ini diperlukan ancaman secara tidak langsung akibat perubahan iklim yang menyebabkan fenomena cuaca tak menentu. Kondisi ini berpengaruh terhadap degradasi lahan pertanian.
”Terdapat pula keragaman pola dan jumlah curah hujan antara satu wilayah dan wilayah lainnya di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan keragaman waktu tanam sehingga terjadilah perubahan realisasi tanam. Dinamika tersebut umumnya tidak terdeteksi oleh penyuluh maupun petani,” ungkapnya.
Salah satu solusi yang saat ini telah dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah dengan menerapkan sistem informasi kalender tanam terpadu. Sistem ini dapat menjadi pedoman atau alat bantu yang memberikan informasi tentang prediksi iklim, estimasi waktu dan potensi luas tanam, serta rekomendasi varietas.
”Sistem ini diterbitkan dua kali dalam setahun menjelang musim hujan dan kemarau dengan menyelaraskan prakiraan musim dari BMKG. Untuk menghadapi musim kemarau 2020, kami memperbarui dengan versi 3.1 karena kami mempertajam dengan permodelan dari neraca air da ada informasi satelit untuk tegalan tanaman sampai level desa,” katanya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Sumber: Kompas, 18 Juni 2020