Dari Seminar Sehari Astronomi; Venus, Bumi, dan Mars Patut Juga Ditengok

- Editor

Jumat, 18 Desember 1992

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Asal-usul Kehidupan akan Terungkap
Komunitas astronom barangkali yang paling kecil dari komunitas ilmuwan-ilmuwan eksakta di Indonesia. Selain produsen sarjana astronomi di negeri ini hanyalah Institut Teknoogi Bandung, produksinya pun terbilang sedikit dari tahun ke tahun.

Sejak berproduksi akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1980-an, Jurusan Astronomi ITB tiap tahun menghasilkan paling-paling dua tiga sarjana. Sering pula tak ada panggilan kepada kubu ini untuk maju di panggung wisuda ITB, yang berlangsung tiap buIan Maret dan Oktober. Barulah mulai pertengahan tahun 1980-an, keluarannya per tahun sekali-sekali dua digit.

Kecil, maka sering berkumpul. Tradisi kumpul-kumpul saling papar hasil studi di kalangan astronom dibangun sejak mereka menjadi kelelawar –jadi, bukan kupu-kupu malam– di Observatorium Bosscha, ITB, Lembang, Jawa Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

HARI Senin, 14 Desember lalu, kumpul-kumpul itu pindah tempat ke Jakarta. Katakanlah semacam reuni untuk alumnus Astronomi ITB yang menyebar dari mulai mereka yang bekerja di lembaga pendidikan, lembaga penelitian, sampai yan bekerja di surat kabar. Plus beberapa sarjana fisika yang, karena ketakunannya mengamati matahari anggota Himpunan Astronomi Indonesia.

Kecil pun komunitasnya kumpul-kumpul yang berlabel Seminar Sehari Astronomi ini dibagi dibagi atas tiga ruangan. Berdekatan dengan bioskop Studio 21 Taman Ismail Marzuki di Planetarium dan Observatorium Jakarta, plus 35 makalah yang dibahas selama empat jam resik, itulah barangkali yang merangsang panitia bikin pertemuan paralel di tiga ruangan.

Topiknya membentang lebar: pendidikan astronomi, instrumentasi astronomi, tata surya, fisika matahari, pengaruh matahari terhadap bumi, fisika bintang, struktur galaksi, kosmologi, sampai pada topik terkait dengan astronomi seperti Telaah Singkat Penerapan Astronomi dalam Islam, atau Astronomi di Media Massa.

Selain yang disebut terakhir, yang mengundan perhatian intensif dari banyak peserta adalah pembicaraan astronom yang dosen ITB, Dr Iratius Radiman, berjudul Studi Keplanetan: Venus, Bumi, dan Mars sebagai Contoh Kajian Multidisiplin.

Setinggii-tinggi bangau terbang, surutnya ke kubangan juga. Iratius agaknya ingin membunyikan peribahasa ini kepada astronom maupun fisikawan peserta seminar yang lebih banyak berkencan dengan bintang dan Matahari dalam riset-riset mereka. Simaklah topik seperti distribusi materi antar bintang di sekitar galaksi, asal mula Gugus AA, polarisasi intrinsik bintang B-emisi, atau siklus bintik Matahari kedua puluh dua.

Iratius memilih studi tia planet bertetangga –Venus, Bumi, dan Mars– bukan untuk sekadar lain. Dengan studi ini, ia melihat potensi luar biasa buat sebuah riset fundamental tentang reaksi kimia. Jawaban terhadap pertanyaan yang menyelimuti studi ini akan bermuara kepada proses terjadinya kehidupan.

Inilah kisahnya
Bermula dari kesamaan ciri ketiga planet. Tentang ini, yang sudah dibakukan dalam ensiklopedi dan buku daras ilmu alam sejak tingkat SD ialah kemiripan keadaan fisika ketiga planet. Massa jenis Venus 5,2 gram/cm3, Bumi 5,517 gram/cm3, dan Mars 3,95 gram/cm3. Diameter Venus 12.104 kilometer, Bumi 12.756 kilometer dan Mars 6,787 kilometer. Bahkan, para astronom sepakat menyebutkan Venus dan Bumi merupakan planet kembar.

Jarak ke matahari tentulah jauh berbeda: Venus 108 juta kilometer, Bumi 149,5 juta kilometer, dan Mars 228 juta kilometer. Tapi, menurut Iratius,itu tak menghalangi sebuah klaim: komposisi gas yang ada di atmosfer masing-masing dari ketiga planet mestinya mirip.

Nyatanya?

Gas

Bumi Venus

Mars

N2 78% 3,4% 1,7%
02 21% 0 0
Ar 0,9% 40 ppm 850 ppm
C02 0,03% 96,5% 98%

Apa dasarnya Iratius ”ngotot” bilang: harus mirip fraksi kandungan gas di tiga planet itu? ”Kalau begitu, apa pengaruh kontribusi panas matahari ke atmosfar ketiga planet? Bukankah fraksi gas wajar saja berbeda sesuai dengan adanya perbedaan jarak planet masing-masing ke matahari?,” tanya astronom Prof Dr Bambang Hidayat.

Iratius menjawab, “Mesti sama. Soalnya, atmosfer masing-masing planet itulah yang melindungi kesamaan persentase kandungan gas tersebut dari pengaruh panas matahari sebelum mencapai permukaan planet.

Seminar mulai hangat. Iratius memang lihai meramu kata membangun argumentasi dan mahir pula mengolah diksi suaranya hingga setiap orang yang mendengar uraiannya terangsang menyanggah bila ada yang perlu disanggah, dan setuju bila memang harus disetujui berdasarkan pijakan yang sama. Harus diakui, cara bertutur seperti ini terasa amat minim pada pembicara seminar-seminar berdasi beraksesori kemilau di hotel-hotel yang banyak dijumpai saban hari di Jakarta.

Jadi apa sebab perbedaan itu, seperti CO2 di Bumi 0,03 persen, di Venus 6,5 persen, dan di Mars 98 persen?

Bertegas-tegaslah Iratius supaya para astronom berhati-hati menjawab, mengapa komposisi banyaknya gas –seperti gas CO2 itulah — di Bumi begitu berbeda dengan di Venus dan Mars. Rupanya, begitu menurut Iratius, banyak orang yan menjelaskan perbedaan itu dengan argumentasi fisika dan kimia tok.

”Argumentasi itu salah. Dibutuhkan studi antardisiplin yang meliputi fisika, kimia, geologi, dan biologi untuk menjawab perbedaan itu,” ujar Iratius yang doktor d’Etat dari Universite Sorbonne-Jussieu, Perancis tahun 1983 tentang satelit geostasioner.

Studi antardisplin itu, lanjut Iratius, untuk menjawab bagaimana memahami komposisi atmosfer ketiga planet yang dianggap memiliki ciri fisik serupa dan bagaimana memahami wujud topografi masing-masing planet.

TENTANG gas CO2, Iratius punya jawaban. Menurutnya gas CO2 di bumi dari sekitar 95 persen menjadi 0,03 persen — dari seluruh gas di atmosfer Bumi– lebih diperankan oleh kehidupan. Dengan kata lain: oleh proses biologi, bukan proses fisika seperti yang sering dipendapati banyak orang.

“Jadi, amat hebat pengaruh kehidupan terhadap zat atau gas di atmosfer Bumi,” kata Iratius.

Lalu Lintas C02 dalam fotosintesis tumbuhan maupun dalam pernafasan binatang atau manusia tidaklah menyiklus sempuma seperti yang diceritakan kepada murid-murid kelas I SD sampai kelas III SMA.

Sering dilupakan dalam perhitungan, C02 yang mengendap sebagai biomassa pada bangkai-bangkai yang memfosil milyaran tahun, sejak kehidupan mulai menclok di Bumi.

Singkat kata, penyusutan C02 di Bumi disebabkan oleh banyaknya gas ini nyangkut di sedimen-sedimen lautan sehingga tidak terbebaskan di atmosfer.

Soalnya sekarag bagaimana mengembalikan CO2 itu ke atmosfer?

Di sinilah potensi kajian antardisiplin terhadap Venus, Bumi, dan Matahari yang dianjurkan Iratius.

Kalau mau dialihbahasakan, pertanyaan itu bisa berbunyi: reaksi kimia macam apakah yang dapat mereplika dirinya sendiri?

Sejauh inikah alih bahasa itu? Menurut Iratius, ya.

Terimbas dari istrinya yang doktor kimia dan mengajar di Kimia ITB, Dr Cynthia Linaya, astronom ini bilang, hingga sekarang, orang belum dapat menjelaskan bagaimana terjadinya reaksi yang mereplika dirinya sendiri. Yang diketahui orang perubahan senyawa anorganik ke senyawa organik merupakan reaksi ireversibel (tak dapat dibalik arah reaksinya), perubahan zat organik ke anorganik adalah reaksi reversibel (dapat dibalikkan).

Kedua reaksi itu sudah dijelaskan standar di buku-buku daras kimia. Tapi, reaksi yang mereplika dirinya sendiri, seperti enzim ke asam DNA, hingga saat ini belumlah tuntas penjelasannya.

Menurut Iratius, bila reaksi replika ini sudah terjawab, maka mudahlah mengubah C02 yang sudah membiomassa menjadi C02 yang terbebaskan di atmosfer. Komposisi jumlah gas ini di Bumi lantas dapat dikembalikan seperti pada Venus dan Mars.

Di pihak lain, solusi ini pun bisa pakai untuk memulai kehidupan di Venus dan Mars, atau barangkali untuk ekspor kehidupan ke kedua planet itu dari bumi. Mengetahui reaksi replika atas pembentukan DNA adalah gerbang memasuki rahasia terjadinya kehidupan.

“Kalau begitu, perlu ditambahkan lagi satu disiplin ke studi antardisiplin Venus-Bumi-Mars itu,” anjur Prof Bambang Hidayat sambil tersenyum, ”Teologi.”

(Salomo Simanungkalit)

Sumber: Kompas, Jum’at, 18 Desember 1992 halaman 12

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB