Rabu (23/3) siang, udara di Dermaga Pier 48, San Francisco, California, Amerika Serikat, makin menggigit tulang, minus 5 derajat celsius menurut Google Now. Namun, suasana konferensi Google Cloud Platform Global User Conference (GCP NEXT 2016) semakin menghangat.
Setelah beberapa pembicara laki-laki pentolan Google bergantian maju ke podium, sosok perempuan Diana Greene diperkenalkan pembawa acara untuk tampil. Seketika itu ruangan konferensi gemuruh dengan tepuk tangan.
Konferensi penting itu diadakan di ruang pamer dermaga yang biasa-biasa saja, bukan di ruang konferensi mewah. Greene tampil dengan busana sederhana, jauh dari kesan glamor. Ia justru memilih warna dan mode yang pas untuk sosok ibu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ya, dia memang seorang ibu dan sekaligus ratu. Dialah ”Ratu Virtualisasi” sejagad, sekaligus saat berdiri di podium dia menyandang atribusi baru sebagai ”Ibu Komputasi Awan”.
Greene dikenal sebagai pendiri VMware, perusahaan perangkat lunak virtualisasi Amerika Serikat. Virtualisasi berfungsi memudahkan para teknisi untuk mengelola pusat data dan server. Semua orang yang bekerja di bidang pusat data dan server pasti mengenal VMware. Greene adalah legenda sukses VMware.
Namun, kali ini Greene berdiri bukan untuk VMware. Sejak November 2015, dia telah ”dibajak” Google. Jabatan baru dia adalah Senior Vice President Google Bidang Google Cloud Platform. Google Cloud Platform (GCP) adalah layanan server berbasis komputasi awan bagi perusahaan untuk memudahkan pengembang web membangun aplikasi atau situs web, baik skala kecil maupun raksasa.
GCP diperuntukkan bagi produktivitas perusahaan walaupun tetap bisa digunakan perseorangan yang memiliki keahlian pemrograman. Pengguna bisa memiliki mesin virtual di pusat data Google yang sama-sama digunakan untuk menjalankan produk Google, seperti Gmail, Search, Youtube, Maps, dan Photos.
Cikal bakal GCP sudah ada sejak 2008 saat bernama Google App Engine. Di bawah kepemimpinan Greene, Google semakin agresif dan serius berebut bisnis layanan cloud server di ”kerajaan awan”.
Dalam konteks pendapatan di bidang cloud server, Google masih berada di urutan kesekian setelah Amazon Web Services dan Microsoft Azure. ”Kami sangat serius di bisnis ini sekarang. Kami juga akan terus ekspansi pusat data,” kata Greene.
KOMPAS/AMIR SODIKIN–Greg DeMichillie, Direktur Manajemen Produk Google Cloud Platform.
Menurut Synergy Research, di segmen enterprise, market share GCP hanya 4 persen pada 2015, tertinggal dibandingkan Amazon Web Services yang memiliki market share 31 persen, disusul Microsoft Azure 9 persen dan IBM 7 persen (baca juga ”Penantang Amazon” di http://goo.gl/ Qxv9Zw dan ”Ekspansi Pusat Data Google” di http://goo.gl/ Igj96C).
Ekspansi pusat data
Google memang telah menginvestasikan begitu banyak dana di pusat data yang digunakannya sendiri dan akan terus berekspansi. Baru saja Google membangun dua pusat data di Oregon, Amerika Serikat, dan di Tokyo, Jepang. Tahun depan, Google menargetkan membangun 10 pusat data di sejumlah region.
Google mengklaim layanan GCP berada di infrastruktur yang sudah terbukti andal, infrastruktur yang sama yang digunakan berbagai produk raksasa Google. Kini Google mengklaim memiliki pusat data paling efisien di dunia yang digerakkan oleh tenaga listrik dari pembangkit ”hijau”.
GCP tak hanya menawarkan server atau storage. Yang membuatnya berbeda adalah adanya platform yang dibangun Google dan para mitranya. Platform ini nantinya bisa dipakai gratis oleh pengguna.
Salah satu fitur andalan adalah machine learning (pembelajaran mesin) yang bisa digunakan pengguna GCP. Machine learning menandai gelombang ketiga teknologi cloud.
Gelombang pertama ditandai lahirnya sistem co-location dan gelombang kedua ditandai dengan penemuan virtualisasi server (baca juga ”Google Luncurkan Machine Learning” di http://goo.gl/CzjHbw).
Hari itu, untuk mengirim sinyal keseriusan Google di bidang cloud, tak hanya Greene yang berbicara pada konferensi yang dihadiri praktisi teknologi informasi dan perusahaan itu. Total ada empat bos Google yang tampil di podium.
Selain Greene, ada CEO Google Sundar Pichai, Chairman Alphabet (perusahaan induk Google) Eric Schmidt, dan Senior Vice President Google Bidang Teknik Infrastruktur Urs Holzle (baca pula di http://goo.gl/ 834N8q).
Semangat ”open source”
Sundar Pichai menekankan, selama bertahun-tahun Google telah menangani infrastrukturnya sendiri dan kini tahu mana yang terbaik yang bisa ditawarkan kepada pengguna. ”Sekarang kami menawarkan keandalan yang sama kepada konsumen,” katanya.
Pichai yakin, ke depan semua aktivitas di internet akan berjalan di layanan cloud. Banyak perusahaan dan produk yang sudah bermigrasi ke GCP, seperti Snapchat, Spotify, Disney Interactive, Coca Cola, Home Depot, dan Apple.
Eric Schmidt lebih menonjolkan tradisi Google yang mewarisi semangat open source dan itu akan menjadi andalan GCP. ”Masa depan kesuksesan adalah membuat sesuatu yang baru dari kerja gotong royong (crowd- sourced) dan pembelajaran mesin (machine learning),” kata Eric.
Banyak fitur pada GCP yang diusung dari kerja keroyokan dan open source. GCP seolah mengingatkan pada kisah sukses Android yang tak hanya mempersembahkan sistem operasi open source gratis.
Android bukan sekadar sistem operasi, melainkan menjadi sarana komunitas pengembang web untuk mengembangkan produk di bawah platform yang dibangun Google. Pada akhirnya, berkat open source, Android berhasil merajai sistem operasi perangkat bergerak, melibas sistem operasi lain.
Tampaknya strategi yang sama digunakan dalam proyek GCP ini. GCP memboyong banyak open source dan para mitra yang sudah dikenal di dunia pengelolaan server dan teknologi web untuk menjamin keberlanjutan setelah pengguna bermigrasi ke GCP.–AMIR SODIKIN
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2016, di halaman 25 dengan judul “Dari Dermaga, Google Siap Ekspansi ke ”Kerajaan Awan””.