Musim kemarausudah berjalanempat bulan, tetapi intensitas hujancukup tinggi. Di pinggiran Kabupaten Bogor juga masih turun hujan dalam dua hari ini. Hal ini disebabkan sedang ada fenomena alam La Nina.
Sesuai prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dari sejak akhir Februari-September 2016akan terjadi fenomena alam La Nina. Kebalikan dari El Nino,La Nina adalah kondisi di manasuhu di Samudra Hindia Selatan menurun danmengakibatkanhujandi sebagianwilayah Indonesia.
Dampak dari tingginya curah hujan (precipitation/rainfall) ini adalah banjirdan longsor yang sudah terjadidi beberapa wilayah, misalnya diKabupaten Banjarnegara-Jawa Tengah, Kabupaten Subang-Jawa Barat, demikianjuga di Provinsi Aceh, Bangka Belitung, dan Kabupaten Sangihe-Talaud, di mana longsor menghancurkan rumah dan menimbulkan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Semua itu akibat daya dukung lahan terhadap curah hujan melebihi bata smaksimal. Curah hujan yang tinggi—lebih dari200 mm per hari—setara dengan menghasilkan air 2 juta liter/ha atau 2.000 meter kubik/ha. Akibatnya, banyak kawasan berpotensi tergenang, apalagi jikaluas tutupan lahan hijaunya sedikit. Salah satu faktor pemicu longsor di Provinsi Riau dan Aceh ialah masifnya konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Untung atau rugi?
Bagi dunia pertanian, khususnya tanaman pangan, fenomena La Nina adalah hal yang menguntungkan. Apalagi bagi lahan sawah tadah hujan yang merupakan40 persen dari luas total lahan sawah kita, seluas lebih kurang 12 juta ha.
Curah hujan yang tinggi tetapi tidak mengakibatkanbanjir akanmenambah luas tanam,yang berarti meningkatkan produksi. Tidak hanya pada tanaman padi, tetapi juga tanamanlain seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau. Hanya pada tanaman buah-buahan curah hujanyang tinggi akan mengakibatkan gagal penyerbukan atau gagal pembuahan (buah menjadi rontok).
Sampai minggu kedua Agustus, curahhujan masih tinggi walaupunintensitasnya tidakseperti bulan-bulan sebelumnya. KarenaAgustus sebenarnya adalah puncak kemarau, maka status tahun ini adalah musim kemarau basah.Kawasan yang sering mengalami banjir umumnya adalah daerah bantaran sungaiseperti bantaran Citarum di pinggiranKotaBandung, yaitu Baleendah, dan bantaran Ciliwung di Cipinang-Jakarta Timur.
Agak sulit untuk menghindari banjir di daerah-daerah tersebut di atas karena letaknyarendah dan seharusnya digunakan untuk daerah hijau,juga karenadebit air sungai tidak tertampung oleh badan sungai sehingga meluap.
Bagaimana dengan pertaniantahun 2106? Prospeknya cukup bagus karena curah hujanrelatif lebih tinggi sehingga luas areal tanam dapat lebih luas. Apalagi jika diselingi dengan suhu panas sehingga kelembabanterjaga dengan baik. Oleh karena itu, situasi iklim ini harus dimanfaatkan untuk peningkatanproduksi.
Dari pengalaman El Nino pada tahun 2015 dandari kajianBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten,umumnya tanamanpadi mengalami kekeringan mulai dari tingkat ringan, sedang, hingga berat, terkait dengan masa tanamnya. Padi pada masa tanam pertengahan Maret danApril akan mengalami kekeringan dengan statussedang sampaiberat, sedangkan yang tanam akhir Februarisampaiawal Maret relatif aman atau kekeringan dengan status ringan.
Jadi pada daerah yang sudah panenpadaFebruari awal harus dilakukan percepatan tanam, tentunya harus ada ketersediaan benih dan traktor tangan agar dapattanam lebih cepat. Jika pun terjadi La Nina, artinya curah hujan lebih banyak dibandingkanpada musim normal, maka itu suatu keberuntungan. Lahandapat ditanami pada musim ketiga (musim kemarau II) yang jatuh pada Juli-Agustus dengantanamanpalawija atau sayuran yang berumur pendek.
Antisipasi
Mengenai penyediaan pompa air untuk antisipasi kekeringan sebenarnya sudah dilakukanoleh pemerintah cqKementerianPertaniandanpemerintahdaerah. Jumlah pompa air yang dipinjamkan umumnya cukup atau berlebih. Permasalahan utama adalah sumberair tanah tidak selalu tersediasehingga sebagian pompa kurang berfungsi.
Permasalahan lainnya adalah petani umumnya kesulitan membeli selang untuk pompa yang harganya relatifmahal, Rp 30.000-40.000 per meter)tergantung dari diameternya. Umumnya, letak pompa dari sumber air (sungai)ke lahan sawah yang diairi bisa mencapai ratusan meter. Sebaliknya, pemerintah membuat kebijakan bahwa tidak seluruh bantuanpompaair diberikan secara lengkap, harus ada usaha sendiri dari petani, terutama dalam membeli output-nya (selang).
Kondisi sekarang sebenarnya sudah sangat menyenangkan bagi petani karena hampir semua difasilitasi pemerintah. Penulis pernah menanyakanhal tersebut kepada staf Kementan yang berwenang dan jawabannya seperti di atas.
Berdasarkanpengalamantahun 2013, di mana La Nina juga terjadi di sebagian Indonesia, luas tanam-tanaman padi meningkat signifikan. Berdasarkan data BPS Indonesia (2013; 2015), luas tanam padi tahun 2012 seluas 13,445 juta ha, sedangkantahun 2013 meningkat menjadi 13,835 juta ha (naik 2,9 persen).Sebagai tambahanEl Nino dan La Nina dapat terjadi pada bulan apa saja, jadi tidak bergantung pada musim kemarau (El Nino) dan musim hujan (La Nina).
Apa yang perlu dilakukan agar La Nina ini tidak menjadi bencana, khususnya pertanian?
Pertama, mempercepat jadwal tanam sehingga saat kemarau, kekeringan dapat dihindari. Karenaperubahan iklim global, ramalan iklim hanya untuk 2-3bulan, selebihnya harus dibuat prediksi lagi. Informasi ini merupakan hasil wawancara penulis dengan petugas klimatologi beberapa bulan lalu.
Mempercepat jadwal tanam ini tentunya harus didukung alat mesin pertanian, seperti traktor tangan,yang memadai.
Kedua, memperbaiki saluran irigasi yang rusak atau menjadi dangkal. Ini termasuk juga badanair atau sungai-sungai karena sekarang ini tingkat sedimentasi cukup tinggi yang membuat banjir menjadi lebih sering. Maka,pengerukan perludilakukan minimal sekali dalamsetahun.
Laju erosi
Sedimentasi ini disebabkan erosi. Erosidisebabkan beberapa faktor, yaitu curah hujan (erosivitas), sifat-sifat tanah (erodibilitas), panjang dan kemiringan lereng, vegetasi, dan manusia(Hardjowigeno, 2003). Erosi yang terpenting di Indonesia adalahyang disebabkan air.Berdasarkan data Kementerian LH dan Kehutanan, rata-rata laju erosipermukaan di Indonesia untuk tanah Kelas III berkisar 15-180 ton/ha/tahun, tanah kelas IV berkisar 180-480 ton/ha/tahun,tanah Kelas Vlebih dari 480 ton/ha/tahun (Departemen Kehutanan, 1998).
Sebagai contoh adalah laju erosi di DAS Mamasa akibat kerusakanhutantahun 1986yang sebesar >60 ton/ha/tahun (Pesumapapua, 2015).
Ketiga adalah menjaga kelestarian lingkungan, dalam arti harus ada keseimbangan ekosistem. Artinya, petani ataupun masyarakat harus menghijaukandesa/daerah dengan tanaman-tanaman keras/kayuan, sedangkanpemerintah mereboisasi hutan yang gundul.
Salah satu penyebab banjir ialah kerusakan hutan, terutama di daerah hulu (upstream) dan tengah (middle stream). Perubahan vegetasi hutan berlangsung relatif cepat saat ini. Vegetasi yang semula berupa hutan berubah jadi lahan pertanian (perkebunan kelapa sawit, karet, pertaniantanamanpangan). Pulau Jawa, misalnya,merupakan salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia, yaitu 119,5 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 1.002jiwa km persegi (BPS, 2007). Luas Pulau Jawa 13,4 juta ha, sementaraluashutannya hanya2,14 juta ha atau 16,2 persen dari luas P Jawa (Siagian2010).
Harus ditinjau kembali Undang-Undangtentang Otonomi Daerah yang memberikanwewenang kepada kepala daerah/bupatiuntuk memberikanizinlokasi/prinsip untuk perubahan fungsi hutan (hutan produksi tetap atau terbatas) menjadi lahan perkebunan.
Kita tidak perlu menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia kalau hutan kita menjadi habis.
Viktor Siagian, peneliti BPTP Banten
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2016, di halaman 6 dengan judul “Dampak La Nina terhadap Pertanian”.