Boleh dibilang, Normalisasi Kehidupan Kampus merupakan kebijakan yang sangat fenomenal. Kebijakan yang dikeluarkan tahun 1978 tersebut tidak hanya berhasil membungkam dan mematikan kegiatan kemahasiswaan saat itu, tetapi dampaknya terasa hingga saat ini.
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) telah “berhasil” membalikkan aktivitas kemahasiswaan yang asalnya peduli pada persoalan-persoalan kebangsaan menjadi mahasiswa yang lebih asyik dengan dunianya sendiri. Mahasiswa yang semula merasa dekat dan mau mendengar keluh kesah masyarakat kini menjadi mahasiswa yang terkurung dalam aktivitas akademik di kampus.
Kalaupun ada mahasiswa yang peduli pada persoalan-persoalan politik dan kebangsaan, lebih pada aktivitas sporadis seperti unjuk rasa sebagian kecil mahasiswa. Itu pun menjadi terasa aneh bagi lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskusi-diskusi hangat yang semula mengulas berbagai persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan, kini mulai redup dan digantikan diskusi yang hanya berkaitan dengan bidang studi yang digeluti mahasiswa bersangkutan. Kalaupun ada aktivitas mahasiswa yang melebur ke masyarakat, lebih banyak karena tuntutan akademik bukan lagi langkah bajik tanpa pamrih. Bahkan, kini muncul kecenderungan mahasiswa tampil seperti selebritas di panggung hiburan, lengkap dengan jaket almamater kebesarannya. Mahasiswa sudah merasa bangga tampil di layar kaca, bertepuk tangan dan tertawa gembira dengan disorot kamera, meski tak memberikan kontribusi apa-apa kepada masyarakat sekitarnya. Entah apakah ini yang dikehendaki dari kebijakan NKK?
Perjalanan panjang
Kebijakan NKK tidak muncul tiba-tiba. Kebijakan ini melalui rangkaian peristiwa yang sangat panjang dan penuh dinamika. Bisa dikatakan tahun 1966, ketika mahasiswa dibantu militer berhasil menumbangkan Orde Lama, menjadi momentumnya. Setelah peristiwa itu, mahasiswa seperti mempunyai kekuatan moral untuk terus mengontrol pemerintahan.
Mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya duduk di depan gedung DPR setelah menghadiri Sidang Umum DPR, 20 Desember 1979, yang membicarakan usul interpelasi tentang Normalisasi Kehidupan Kampus.–KOMPAS/JB SURATNO
Organisasi-organisasi di dalam kampus, seperti Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa, semakin kuat. Sementara organisasi kemahasiswaan di luar kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan berbagai organisasi ekstrakampus lainnya, tumbuh subur serta kaderisasinya berjalan sangat baik.
Tak heran ketika pemerintah melakukan penyimpangan terutama korupsi pada 1970-an, beberapa organisasi mahasiswa mulai mengkritik pemerintah melalui berbagai unjuk rasa. Pemerintah pun menanggapi kritik tersebut masih dengan halus. Begitupun ketika sebagian mahasiswa mengampanyekan “golongan putih” atau golput karena Pemilu 1971 dinilai tidak jujur dan tidak adil, pemerintah menanggapinya dengan sikap yang tidak terlalu represif.
Namun, ketika aksi-aksi mahasiswa semakin meluas terutama saat pemerintah akan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto, reaksinya mulai keras. Sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap dan sejumlah media yang kritis ditutup.
Reaksi semakin keras ketika tahun 1974 mahasiswa mulai memprotes kesenjangan ekonomi dan dominasi modal asing di Indonesia. Puncaknya saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 15 Januari 1974, dan mahasiswa melakukan aksi jalanan serta massa melakukan pembakaran mobil-mobil Jepang, pemerintah tak bisa lagi berdiam diri. Pemerintah bersikap sangat represif. Ratusan tokoh mahasiswa ditangkap dan media massa yang dituding sebagai penghasut ditutup.
Tak cukup itu, setelah peristiwa yang disebut Malapetaka 15 Januari (Malari) itu, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 028/1974 yang isinya sangat tegas, melarang kegiatan politik di kampus. Pimpinan perguruan tinggi juga bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukan unsur di kampus. Semua kegiatan mahasiswa, mulai dari pertandingan olahraga, rapat mahasiswa, hingga penyusunan rencana kerja organisasi kemahasiswaan, harus diketahui dan disetujui pimpinan perguruan tinggi.
Upaya pembungkaman suara kritis mahasiswa tersebut sangat nyata. Dampaknya pun sangat terasa karena sejak 1974 tidak ada lagi aksi-aksi mahasiswa yang bersifat massal. Mahasiswa pun seperti “tiarap” menghadapi rezim penguasa yang semakin kuat dengan dukungan militer. Sekilas, pemerintah berhasil meredam suara kritis mahasiswa. Padahal, seperti api dalam sekam, kekecewaan dan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemerintah semakin meluas.
Menolak Soeharto
Awal tahun 1978, mulai muncul berbagai bentuk unjuk rasa yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Apalagi, Partai Golkar yang dikendalikan Soeharto berhasil meraih kemenangan mutlak dalam Pemilu 1977. Puncaknya menjelang Sidang Umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi yang sama, menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983.
Berbeda dengan 1966 ketika mahasiswa mendapat dukungan militer, dalam aksi 1978 mahasiswa seperti berjalan sendiri. Tak ada kekuatan politik lain yang membantu mahasiswa karena sudah dilumpuhkan terlebih dahulu. Militer pun berada di pihak penguasa. Akhirnya dengan mudah mahasiswa dilumpuhkan. Sejumlah pemimpin mahasiswa ditangkap, pihak pendukung seperti ilmuwan dan seniman ditahan, sedangkan media yang kritis terhadap penguasa ditutup.
Upaya melumpuhkan gerakan mahasiswa semakin efektif ketika pemerintah dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Melalui kebijakan tersebut, kampus “steril” dari kegiatan politik. Mahasiswa tidak boleh lagi melakukan kegiatan apa pun yang bernuansa politik. Mahasiswa yang nekat mendapat sanksi keras berupa pemecatan dari birokrasi kampus yang juga sudah ditekan pemerintah. Di dalam kampus, politik hanya boleh sebatas ilmu.
Kebijakan represif tersebut disertai dengan pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di setiap perguruan tinggi yang menjadi kekuatan mahasiswa saat itu. Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) berhasil melumpuhkan mahasiswa saat itu, bahkan tidak sekadar lumpuh, tetapi mati.
Tidak ada lagi kegiatan mahasiswa yang berbau politik setelah NKK/BKK dikeluarkan. Tidak ada lagi aktivitas mahasiswa yang kritis terhadap kondisi kebangsaan. Aktivitas mahasiswa yang bersentuhan dengan rakyat hanya sebatas Kuliah Kerja Nyata (KKN). Itu pun dengan pengawasan ketat dari birokrasi kampus.
Tak heran, dengan dampak NKK/BKK yang begitu luas, harian Kompas menempatkannya sebagai berita utama di sejumlah penerbitan. Pilihan redaksional yang jitu dan cerdas karena dampak kebijakan tersebut masih terasa hingga kini. Mahasiswa yang peduli pada kondisi kebangsaan hanya tinggal romantisisme masa lalu.–TRY HARIJONO
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2015, di halaman 49 dengan judul “Dahsyatnya Dampak Normalisasi Kehidupan Kampus”.