Peran pemerintah daerah dalam mendorong ambisi mitigasi perubahan iklim dari sisi energi terbarukan di Indonesia amat besar. Hal itu bisa dilakukan melalui implementasi kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual. Selain ramah lingkungan, penggunaan panel surya juga menghemat biaya penggunaan listrik bulanan yang pada akhirnya menguntungkan konsumen.
Peran pemerintah daerah dalam mendorong ambisi mitigasi perubahan iklim dari sisi energi terbarukan sangat besar. Dengan adanya regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan di daerah, implementasi target penurunan emisi gas rumah kaca diharapkan dijalankan dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Energi menjadi tumpuan kedua setelah sektor kehutanan dalam pencapaian komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (NDC) sebagaimana konsekuensi meratifikasi Perjanjian Paris. Peran terbesar diusung dari bidang ketenagalistrikan dengan berbagai program, antara lain transisi kepada peningkatan bauran energi baru dan terbarukan.
Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional Sugeng Mujiyanto, Rabu (13/5/2020), di Jakarta, dalam diskusi virtual, mengatakan, saat ini ada 16 daerah yang memiliki peraturan daerah terkait rencana umum energi daerah (RUED), 13 provinsi berproses bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan lima provinsi sedang dalam pembahasan. Adapun RUED bisa memaksimalkan potensi energi di daerah dan membuka dukungan pembiayaan dari APBD, APBN, dan swasta.
Sugeng menambahkan, RUED provinsi diturunkan dalam kabupaten/kota dalam berbagai pengembangan energi terbarukan. Pemerintah daerah bisa menggalakkan solar rooftop atau pembangkit listrik tenaga surya atap, menggunakan penerangan jalan umum tenaga surya, sampah/limbah menjadi energi, biogas, dan berbagai implementasi nyata lain.
PRESENTASI DEN–Penjabaran proyeksi emisi sektor energi dipaparkan oleh Sugeng Mujiyanto dari Setjen Dewan Energi Nasional (DEN) dalam diskusi virtual bersama ICLEI dan IESR, Rabu (13/5/2020)
Tenaga listrik dari surya saat ini cenderung turun dan kompetitif. Pada awal pengembangan, biaya produksi listrik dari tenaga surya mencapai 12 sen dollar AS per kilowatt jam.
”Sekarang contract closing itu 1,7 sen dollar AS per kWh di Portugal. Semakin ke sini makin murah dan diharapkan viral agar semua pasang,” tuturnya.
Sugeng mengatakan telah memasang solar PV di rumahnya dan mampu mengurangi biaya tagihan listrik bulanan. Dari rata-rata biaya listrik PLN sebesar Rp 700.000-Rp 800.000 per bulan, kini membayar Rp 200.000-Rp 300.000 dengan operasional yang relatif tak berubah.
Ia mengatakan, RUED penting untuk menjabarkan target-target yang telah ditetapkan pemerintah pusat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) terutama terkait dorongan pada energi baru terbarukan. RUEN telah selaras dengan dokumen NDC untuk menurunkan emisi 29 persen pada tahun 2030. Selain dari pengembangan energi terbarukan pada pembangkit listrik, sumber penurunan emisi lainnya didapatkan sektor energi dari subsector transportasi, industri, rumah tangga, dan konservasi energi.
Dalam sejumlah skenario, pada Indonesia Energy Outlook 2019, peningkatan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 meningkat 912 juta ton setara karbon dioksida atau CO2 (tanpa upaya), 813 juta ton setara karbon dioksida (pembangunan berkelanjutan/sesuai RUEN), dan 667 juta ton setara karbon dioksida (pembangunan rendah karbon).
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Panel-panel sel surya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019). Penggunaan PLTS Sengkol serta dua PLTS lain, yakni PLTS Selong dan PLTS Pringgabaya di Lombok Timur yang masing-masing berkapasitas 5 megawatt, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik Indonesia.
Peningkatan emisi ini masih berada di bawah target emisi dalam NDC sebesar 1,355 juta ton setara karbon dioksida (upaya sendiri) dan 1,271 juta ton setara karbon dioksida (dengan bantuan internasional).
Menurut Kepala Subdirektorat Pemantuan Mitigasi Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yulia Suryanti, peran pemda amat terbuka dalam Kesepakatan Paris. Pemerintah daerah atau subnational authorities merupakan ”nonpihak UNFCCC” atau nonparties berperan penting untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah daerah bisa memakai kewenangan masing-masing untuk melakukan pembangunan yang selaras dengan penurunan emisi dari sektor energi. Contohnya, penggunaan peralatan hemat energi, penerangan jalan umum bertenaga surya, bangunan hijau, dan penggunaan transportasi publik.
Kepala Bidang Pertanian dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaa, Penelitian, dan Pengembangan Nusa Tenggara Timur Sherly Sicilia Wila Huky mengatakan, pada RUED NTT ditargetkan mencapai bauran energi 24 persen pada 2025. Hal ini diintegrasikan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN–Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineal bersama dengan PT Perusahaan Listrik Negara meninjau proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pemerintah akan terus mendorong pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.
Menghubungkan RUED dengan RPJMD sangat penting agar bisa diterjemahkan dan dijalankan tiap instansi teknis karena ada anggaran dan penilaian kerja di dalamnya. ”Meski kami memiliki sumber daya minim dalam pengembangan energi baru terbarukan, kami tetap alokasikan karena sudah ditargetkan dalam RPJMD,” tuturnya.
Kepala Seksi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Nusa Tenggara Barat Niken Arumdati mengatakan telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang RUED Provinsi NTB. Yang masih menjadi tantangan ialah harmonisasi RUED dengan dokumen perencanaan lainnya, seperti rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang direvisi tiap tahun.
Daerah pun menghadapi konsistensi perencanaan bila target RUED telah ditetapkan. Itu membawa konsekuensi anggaran yang harus diturunkan pada indikator penilaian kinerja. Di sisi lain, sumber daya manusia maupun kapasitas di daerah terbatas untuk menjalankannya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020