Pandemi Covid-19 yang menyebababkan sejumlah dokter residen atau dokter PPDS meninggal tertular virus korona baru (SARS-CoV-2) dan kelelahan. Ini pun membuka permasalahan pendidikan dokter spesialis selama ini.
Pandemi Covid-19 telah membuka masalah dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia dan harus jadi momentum perubahan. Selain banyak yang terinfeksi, banyak dokter residen mengalami kelelahan mental, depresi, bahkan ada yang bunuh diri..
”(Peserta) PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) di Indonesia adalah kaum tertindas. Dengan lisensi dokter yang sudah ada, mereka kerja penuh memberi pelayanan di rumah sakit pendidikan rata-rata 70-80 jam per minggu, tetapi tidak dibayar dan minim perlindungan,” kata Muhammad Kamil, peserta PPDS bedah saraf, yang juga inisiator Pandemic Talk, saat dihubungi, Sabtu (26/9/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Kamil, di negara lain, peserta PPDS atau juga disebut dokter residen mendapatkan bayaran dan jaminan lebih baik. Sebagai perbandingan, di Filipina, dokter residen rata-rata mendapat bayaran 4.800 dollar AS, Amerika Serikat 61.200 dollar AS, India 7.200 dollar AS, Afrika Selatan 30.000 dollar AS, dan Spanyol 15.000 dollar AS. ”Hanya di Indonesia yang tidak dibayar, bahkan harus bayar biaya kuliah minimal Rp 10 juta-Rp 24 juta per semester dan uang masuk sampai ratusan juta rupiah,” katanya.
Kamil menambahkan, kecilnya jumlah dokter spesialis di Indonesia di antaranya disebabkan mahalnya biaya pendidikan. Dengan masa pendidikan 4-6 tahun, peserta didik harus menyiapkan modal Rp 500 juta-1 miliar. ”Belum lagi tekanan jam kerja dan akan lebih berat bagi yang sudah berkeluarga. Pandemi ini harus jadi momentum perubahan sistem PPDS ke depan,” katanya.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Tim Bantuan Residen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan berbagai masalah yang dialami PPDS selama pandemi ini. Di antaranya ada 423 dokter PPDS terkonfirmasi positif Covid-19 (hingga 21 September 2020 menjadi 978 dokter PPDS positif Covid-19) dan dua di antaranya meninggal. Survei dilakukan terhadap 54,5 persen dari total 13.355 PPDS di Indonesia.
”Dua residen yang meninggal ini PPDS RSUD dr Soetomo, Surabaya, yaitu dokter Miftah F dan dokter Putri Wulan Sukmawati. Padahal, keduanya hampir lulus,” kata dokter PPDS yang juga Koordinator Tim Bantuan Residen, Jagaddhito Probokusumo.
Dari survei ditemukan, tingginya risiko yang dialami peserta PPDS, selain masalah alat perlindungan diri (APD) yang sebagian besar harus disediakan sendiri atau dari donatur, kelelahan karena tingginya jam kerja, serta viral load atau paparan virus yang tinggi. Selain itu, mayoritas peserta PPDS juga tidak mendapatkan tes usap reaksi rantai polimerase (PCR) rutin, bahkan dari survei ditemukan ada yang sama sekali belum pernah di tes.
”Penting untuk diperhatikan, sebagian (dokter) PPDS memiliki komorbid, karena kami rekomendasikan untuk mereka dengan komorbid tidak ditugaskan melayani pasien Covid-19, terutama yang punya diabetes, asma, dan riwayat jantung,” katanya.
”Masalah kesehatan mental residen juga harus jadi perhatian. Sebanyak 16 persen yang kami survei alami depresi, 25 persen burnout (kelelahan), bahkan ada yang bunuh diri. Dia ikut mengisi survei kita juga,” kata Jagaddhito.
Pemerhati pendidikan yang juga anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Doni Koesoema, mengatakan, masalah yang terungkap dalam pandemi ini harusnya jadi momentum perbaikan sistem pendidikan PPDS ke depan. Situasi saat ini di antaranya disebabkan PPDS berada di dua kaki, yaitu aspek pendidikan di bawah Kemendikbud dan aspek pelayanan di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
”Penanganan untuk PPDS ini butuk kolaborasi Kemendikbud, Satgas (Penanganan) Covid-19, dan Menkes. Mereka punya tanggung jawab menjaga dan melindungi kesehatan PPDS sebagai aset bangsa,” katanya.
Menurut Doni, selama pandemi ini, banyak dokter peserta PPDS yang terforsir untuk melakukan pelayanan pasien sehingga proses studinya terganggu. ”Kalau mereka diminta memperpanjang masa studi lagi tentu tidak adil. Harus dicari jalan tengah, misalnya meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya dengan tambahan belajar secara daring,” katanya.
Nakes meninggal
Selain persoalan PPDS, Indonesia saat ini juga terus kehilangan tenaga kesehatan (nakes) yang meninggal karena Covid-19. Dalam 24 jam terakhir, menurut data pusara digital Laporcovid19.org dan IDI, ada tiga tenaga kesehatan yang meninggal, yaitu dua bidan, masing-masing di Bengkulu dan Ponorogo, Jawa Timur, serta seorang perawat di Pati, Jawa Tengah.
Dengan tambahan tiga korban ini, total nakes yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia mencapai 230 orang, terdiri dari 123 dokter, 8 dokter gigi, 91 perawat, 6 bidan, dan 2 laboran. Ini berarti tingkat kematian nakes karena Covid-19 di Indonesia mencapai 2,23 persen.
Selain terus bertambah, sebaran nakes yang meninggal juga meluas dan cenderung terjadi di layanan kesehatan primer. Pada 24 September, dua dokter puskesmas meninggal karena Covid-19, yaitu di Puskemas Air Tiris, Kampar (Riau) dan Puskesmas Anjir Pasar Marabahan (Kalimantan Selatan).
”Banyaknya nakes di layanan primer meninggal ini seperti di awal-awal. Ini juga menunjukkan penyebaran makin luas ke daerah. Semua nakes dari layanan primer sampai rumah sakit harus lebih waspada,” kata Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban.
Menurut Zubairi, risiko penularan Covid-19 di luar rumah sakit rujukan bisa lebih tinggi. ”Kalau di rumah sakit rujukan biasanya lebih hati-hati dan APD lebih lengkap, dengan tes usap lebih rutin,” katanya.
Zubairi menambahkan, selain risiko penularan di layanan kesehatan, nakes juga berisiko tertular di lingkungan. ”Virusnya ada di mana-mana dan semakin meluas. Semuanya harus ekstra hati-hati dan harus berpikir semua orang bisa menulari dan tertular,” katanya.
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada Sabtu terdapat penambahan 4.494 kasus baru sehingga total menjadi 271.339 kasus. Sementara korban jiwa bertambah 90 orang sehingga total menjadi 10.308 orang.
Data satgas menunjukkan, jumlah dokter di Indonesia kurang dari 200.000 orang untuk melayani 270 juta penduduk Indonesia. Sementara dokter spesialis kurang dari 36.000 orang. Untuk dokter spesialis paru kurang dari 2.000 orang, ini berarti satu dokter paru melayani 135.000 warga.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 September 2020