Sekitar 30 persen wilayah utara cekungan air tanah (CAT) Jakarta tercemar air asin, baik yang masih bersifat payau maupun sepenuhnya asin. Pengambilan air tanah secara berlebihan telah menyebabkan intrusi air laut dan penurunan kualitas air.
“Pengambilan air tanah di kota-kota besar Indonesia semakin mengkhawatirkan,” kata Kepala Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Badan Geologi Mochammad Wachyudi, di Jakarta, Jumat (23/6).
Tingkat cemaran air asin di Jakarta teridentifikasi dari nilai daya hantar listrik (DHL) paling tinggi mencapai 24.955 ?S dan total disslove solid (TDS) mencapai 16.664 miligram per liter. Analisis fasies atau sedimen air juga didominasi oleh unsur Na-Cl atau natrium klorida (garam).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian Badan Geologi pada 2016 menemukan, sekitar 80 per- sen air tanah pada akuifer bebas (air tanah dangkal) di CAT Jakarta tak memenuhi standar baku mutu yang disarankan Menteri Kesehatan. Seperti disampaikan Kepala Badan Geologi, Ego Syahrial, logam berat timbal (Pb) ditemukan di 30 persen dari seluruh wilayah pemantauan.
Kadar timbal yang tercatat di wilayah selatan-barat CAT Jakarta, meliputi Tangerang Selatan, Depok, Bogor, dan Jakarta Barat, mencapai 0,09 miligram per liter. Di wilayah utara, CAT Jakarta mencapai 1,09 miligram per liter. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010, kandungan maksimum timbal dalam air 0,01 miligram per liter.
Penyedotan air tanah juga menyebabkan turunnya muka air tanah dan pada akhirnya memicu penurunan tanah. Laju penurunan tanah di CAT Jakarta, menurut data Badan Geologi, berkisar 0-18,2 sentimeter per tahun dengan lokasi yang memiliki laju penurunan tanah paling cepat ialah di Ancol, Pademangan, dan Muara Baru-Jakarta Utara.
Merugikan negara
Sebagian besar ekstraksi air tanah untuk industri ternyata tak berizin sehingga selain merusak lingkungan, juga merugikan keuangan negara. Menurut kajian Water Balance Security Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta, kebutuhan air bersih di Jakarta pada 2015 sekitar 824.784.742 meter kubik per tahun. Kemampuan perusahaan air minum setelah diperhitungkan dengan persentase kebocoran, hanya dapat memenuhi 39 persen dari total kebutuhan air bersih atau hanya 328.428.535 meter kubik per tahun.
Data ini, kata Mochammad, menunjukkan, sekitar 61 persen atau 496.356.207 meter kubik per tahun kebutuhan air bersih di Jakarta diambil dari air tanah. Masalahnya, sebagian besar pengambilan air tanah dilakukan secara ilegal. “Inspeksi bersama tim dari Pemda DKI Jakarta (Dinas Perindustrian Energi) dan PAM Jaya yang didampingi BKAT-Badan Geologi di beberapa perusahaan menemukan banyak sekali sumur ilegal,” katanya.
Fenomena ini juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia. “Pengawasan pencatatan meteran tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga pelanggan mudah memanipulasi penggunaan air tanah,” ujar Mochammad.
Padahal, air tanah untuk industri seharusnya membayar pajak 20 persen dari hasil kali pemakaian air tanah (dalam meter kubik) dan nilai air. Mochammad mengatakan, pada 2015, di Jakarta diperkirakan 4.500 titik sumur produksi dengan pemakaian air tanah maksimum 100 meter kubik per hari. Tarif pajak Rp 14.583 per meter kubik, maka potensi pajak maksimum air tanah yang didapatkan dari para pelanggan industri, pusat perbelanjaan, apartemen, perumahan dan hotel dalam 1 tahun seharusnya Rp 2,6 triliun. Namun, yang berhasil dipungut hanya Rp 104 miliar. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Cekungan Air Tanah Jakarta Tercemar”.