Tak banyak yang menyadari, sepanjang 14-20 Februari 2015, berlangsung Pekan Sarapan—disingkat Pesan—untuk meningkatkan kebiasaan sarapan sehat. Gaungnya tertutup kontroversi perayaan Valentine dan geger politik KPK-Polri.
Mulai berlangsung 2013, Pesan sebenarnya merupakan hasil rekomendasi Simposium Nasional Sarapan Sehat yang prihatin melihat rendahnya tingkat kebiasaan sarapan di Indonesia dan dampaknya terhadap kemampuan belajar serta stamina anak.
Peringatan dalam bentuk pekan sebenarnya tak biasa, mengingat lazimnya dalam bentuk hari. Namun, para ahli pangan dan praktisi kesehatan pada simposium 2012 itu memilih peringatan sepekan karena sejalan dengan program penambahan gizi anak sekolah, sekaligus mengakomodasi lahirnya Instruksi Presiden pembangunan sumber daya manusia, 19 Februari dan hari lahir pencetus ”4 sehat 5 sempurna”, Prof Poerwo Soedarmo, 20 Februari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi), suatu organisasi yang peduli pengembangan ilmu gizi, pangan, dan aplikasinya, 17-59 persen anak usia sekolah dan remaja tidak biasa sarapan, sementara pada orang dewasa mencapai 31,2 persen.
Salah satu studi yang dilakukan Departemen Pertanian Amerika Serikat menunjukkan, individu yang biasa sarapan memiliki kecukupan nutrisi mikro, seperti thiamin, niasin, riboflavin, vitamin B6 dan B12, asam folat, vitamin A dan C, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, potasium, dan seng.
Nutrisi mikro banyak berkorelasi dengan kemampuan belajar anak. Hal itu seiring dengan penelitian Liu J1, Hwang WT, Dickerman B, dan Compher C dalam ”Regular breakfast consumption is associated with increased IQ in kindergarten children” (Early Hum Dev, 2013).
Melibatkan 1.269 responden anak usia 6 tahun di Kota Jintan, Tiongkok, disimpulkan bahwa anak laki-laki maupun perempuan yang biasa sarapan mendapat skor kecerdasan verbal dan kecerdasan penuh lebih tinggi dibandingkan yang tidak sarapan. Perbedaan itu tetap signifikan setelah faktor-faktor lain, seperti tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pengasuh anak, maupun lokasi tempat tinggal disisihkan.
Kondisi Indonesia
Di Indonesia, sarapan—dan pola makan sehat—menjadi penting digalakkan mengingat Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang pada anak balita mencapai 19,6 persen, berarti ada lebih dari 4,6 juta anak balita gizi buruk dan kurang. Jumlah itu meningkat 18,4 persen dibanding hasil Riskesdas 2007.
Kebiasaan tidak sarapan makin diperburuk dengan pola makan masyarakat yang masih didominasi karbohidrat. Menurut Badan Pusat Statistik 2012, konsumsi padi-padian mencapai 91,9 persen, sementara sayur dan buah baru 63,3 persen dan protein hewani 62,1 persen dari rekomendasi kecukupan.
Pergizi menyebutkan, sarapan yang sehat menyumbang 25 persen gizi yang dibutuhkan tubuh setiap harinya. Oatmeal, roti gandum, telur, buah, dan susu, baik untuk sarapan. Menu sarapan yang seimbang membantu mengontrol pelepasan glukosa dalam darah. Maka, orang akan kenyang dalam waktu panjang sehingga meningkatkan stamina dan konsentrasi.
Tidaklah mengherankan bila orang yang sarapan menjadi sehat, karena mereka jarang merasa kelaparan sehingga terhindar dari kemungkinan makan terlalu banyak. Dalam konferensi NeuroScience 2012, Dr Mark Pereira dan kawan-kawan dari Harvard Medical School, AS, menjelaskan bahwa melewatkan sarapan membuat otak salah ukur dalam menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan tubuh. Dampaknya adalah meningkatnya risiko kegemukan, diabetes, dan bahkan serangan jantung.
Maka—meskipun Pekan Sarapan berlalu dalam senyap—inilah saatnya kembali sarapan dengan menu seimbang. Dalam bangsa yang sehat terdapat kehidupan yang bermartabat.
Oleh: Agnes Aristiarini
Sumber: Kompas, 25 Februari 2015
Posted from WordPress for Android