Catatan Iptek; Predator di Sekitar Kita

- Editor

Kamis, 1 Mei 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pekan lalu, ketika kasus pelecehan anak di sebuah sekolah internasional merebak di media, saluran Fox Crime memutar serial Law & Order: Special Victim Unit. Episode ”Possessed” ini mengisahkan serangan terhadap seorang gadis yang semasa kanak-kanak menjadi korban pelecehan seksual.

Berbeda dengan upaya menangkap pelaku kejahatan dalam film yang begitu fokus, tetapi menjaga hak-hak korban, dalam dunia nyata penanganannya sungguh memprihatinkan.

Yang terjadi justru distorsi media yang menyudutkan sekolah, anak-anak, dan orangtuanya. Kemarin, organisasi perguruan tinggi diizinkan berdemonstrasi di depan Jakarta International School (JIS). Pihak terkait meminta foto dan darah semua murid TK untuk menanyai pelaku: mana yang pernah dicabuli, aparat pun berdatangan ke JIS memotret anak-anak tanpa izin. Semua hak anak dan keluarga dilanggar karena tak ada informed consent yang ditandatangani orangtua.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam acara bincang-bincang di televisi yang juga ditayangkan pada pekan lalu, yang mengemuka malah pendapat bahwa sekolah internasional itu buruk dan pantas dibubarkan karena tidak mengajarkan agama dan Pancasila.

281994_620Gunung es
Dalam laporan publik berkala, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, Januari-Juni 2013 ada 1.032 kasus pengaduan kekerasan terhadap anak. Kasus terbanyak, 535 atau 52 persen, adalah kekerasan seksual. Berikutnya, kekerasan fisik 294 kasus dan kekerasan psikis 203 kasus. Inilah puncak dari gunung es karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan.

Pelecehan seksual terhadap anak bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Menurut Prof Etty Indriati PhD dari Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dalam ”Child Sexual Abuse (Pencabulan terhadap Anak): Tinjauan Klinis dan Psikologis” di Berkala Ilmu Kedokteran, Vol 33, No 2, 2001, pencabul adalah orangtua kandung (3,3 persen), orangtua tiri (2,7 persen), saudara kandung (4,5 persen), saudara sepupu, paman, dan lain-lain (18,3 persen), orang yang dikenal dan pengasuh (47,8 persen), dan orang tak dikenal (23,4 persen).

Pencabul kronis pandai mencuri kesempatan, memanipulasi anak dengan memberi hadiah, mencabuli anak saat orangtua bekerja, membuat aktivitas seksual seolah permainan, dan mengancam anak agar tidak melapor. Anak-anak yang belum berkembang sempurna kognisi, sosial, fisik, dan mentalnya memang belum memahami norma aktivitas seksual sehingga tidak memiliki kosakata yang tepat untuk melaporkannya.

Oleh karena itu, perlu kemampuan observasi dari orangtua dan guru untuk mengenali simtom psikologis ataupun klinis. Anak-anak korban pelecehan seksual biasanya mengalami mimpi buruk, berteriak-teriak saat tidur, kemunduran pertumbuhan, ketakutan hanya berdua dengan orang yang dia kenal, menarik diri, menyakiti diri, bahkan ingin bunuh diri.

Secara klinis, berkembang gangguan kesehatan, seperti pusing, sakit perut, otot, dan tulang. Mereka juga sering mengeluh sakit saat buang air kecil dan besar serta ada gejala infeksi genital.

Untuk pencegahan, ada tiga hal utama yang harus dipahami masyarakat dan ditanamkan orangtua kepada anak: tidak menyakiti, menghargai orang lain, dan menjaga otonomi tubuh.

Maka, dalam kasus JIS, yang terpenting adalah bagaimana memulihkan korban dari trauma fisik dan psikisnya, meningkatkan kewaspadaan orangtua, guru, sekolah, dan meningkatkan standar keamanan di mana pun anak berada.

Penutupan TK JIS tentu bukan solusi tepat karena predator-predator itu masih berkeliaran di sekitar kita.

Oleh: Agnes Aristiarini

Sumber: Kompas, 1 Mei 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB