Sabtu, 27 Mei 2006, pukul 05.53. Guncangan hebat mengejutkan warga Yogyakarta. Lindu, demikian orang Jawa menyebutnya, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berkekuatan 6,4 Mw (moment magnitude).
Dari segi kekuatan, gempa ini memang tak terlalu besar. Namun, pusat gempa di darat, sekitar 15 kilometer (km) sebelah timur Sungai Opak, berkedalaman 33 kilometer sehingga tergolong dangkal. Apalagi tanah Yogyakarta yang dilapisi endapan aluvial menguatkan daya guncangan gempa. Intensitas gempa ini mencapai VII MMI (Modified Mercalli Intensity).
Ribuan bangunan ambruk, termasuk Bangsal Trajumas di Keraton Yogyakarta. Candi Prambanan pun rusak berat. Lebih dari 6.000 jiwa tewas dan 40.000 orang luka-luka. Inilah bencana alam penyebab kematian terbesar yang tercatat dalam sejarah modern Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dibandingkan dengan letusan Gunung Merapi, yang kerap terjadi, gempa bumi Yogyakarta jauh lebih mematikan. Bahkan, letusan Gunung Merapi tahun 2010—yang dianggap salah satu terbesar dalam 100 tahun terakhir—korban jiwanya 347 orang.
Pralaya Mataram
Gunung Merapi, yang tampak menjulang dari Yogyakarta, memang menakutkan. Merapi pula alasan Wangsa Sanjaya dan Syailendra, pendiri Candi Borobudur dan Prambanan, memindahkan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur.
Geolog Belanda, Van Bemmelen, termasuk yang mendukung teori itu. Mengacu pada Prasasti Pucangan yang menyebut pralaya di Medang, ibu kota Kerajaan Mataram Kuno sekitar tahun 1006, Bemmelen menyimpulkan kekacauan disebabkan letusan hebat Merapi. ”Letusan menghancurkan kejayaan kerajaan Hindu di Jawa Tengah, mengubah daerah yang semula subur menjadi lautan abu dan padang pasir,” tulis Bemmelen dalam The Geology of Indonesia, 1949.
Namun, penelitian Andreastuti, 1999, menemukan tak ada bukti geologis tentang letusan Merapi tahun 1006. Jika bukan Merapi, mengapa Mataram Kuno pindah?
Selain huru-hara politik, gempa bumi bisa menjadi teori baru penyebab kekacauan bumi Mataram di masa lalu. Apalagi, Yogyakarta ternyata menyimpan jejak panjang gempa bumi.
Sebelumnya, gempa kuat pernah melanda Yogyakarta pada 23 Juli 1943, menghancurkan 15.275 rumah dan menewaskan 213 orang. Gempa kuat di Yogyakarta juga tercatat pada 10 Juni 1867, merusak Tamansari dan Tugu Yogyakarta. Lebih dari 500 orang tewas dan ribuan rumah rusak.
Jejak gempa lebih tua juga terekam dalam berbagai tinggalan candi. Misalnya, pada Candi Kedulan, Tirtomartani, Kalasan, Yogyakarta. Dasar candi yang seharusnya simetris dan solid, saat ditemukan pada 1993, ternyata bergelombang. Batu-batu fondasi candi rusak parah bekas diguncang gaya lateral yang kuat.
Jejak gempa juga ada di Candi Plaosan. Kerusakan fondasi dan tanah yang bergelombang juga ditemukan. Di batu-batu penyusun fondasi, lantai, dan halaman terdapat pola retakan dengan arah sama. Pagar candi juga miring ke arah barat karena ambles, yang menandai adanya gaya tektonik sangat kuat.
Dengan menganalisis foto-foto lama Borobudur saat baru ditemukan, kita bisa melihat bahwa candi itu juga rusak parah karena gempa. Foto Borobudur sebelum pemugaran 1907-1911 menunjukkan lantai teras di tingkat 8, 9, dan 10 bergelombang dan batu-batu penyusun stupa berjatuhan. Hanya gempa besar yang bisa membuat lantai candi melengkung seperti itu.
Dengan melihat jejak kerusakan di candi-candi, jelas bahwa gempa bumi pernah membawa kehancuran besar dan berskala regional di bumi Mataram masa lalu. Bahkan, jejak di Candi Kedulan menunjukkan candi itu ditinggalkan karena gempa.
Tentu saja, penduduk Yogyakarta kini tak bisa begitu saja meninggalkan kotanya. Apalagi, gempa bumi sebenarnya bisa dimitigasi. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari gempa bumi beruntun di Kumamoto, Jepang, pada Kamis (14/4/2016) malam dan Sabtu (16/4/2016) dini hari. Apalagi yang memakan korban bukanlah gempa, melainkan bangunan yang roboh.
Gempa pertama berkekuatan 6,4 Mw dan kedua 7 Mw. Dua gempa di darat ini memiliki intensitas hingga IX, jauh lebih tinggi dibandingkan gempa Yogyakarta 2006. Namun, rumah yang hancur tak seberapa banyak dan korban jiwa tak lebih dari 50 jiwa. Itu karena penerapan standar bangunan tahan gempa.–AHMAD ARIF
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Gempa Yogyakarta”.