Kebakaran hutan dan lahan mulai berkurang sehingga kualitas udara di Kalimantan dan Sumatera membaik. Namun, perlu ada solusi permanen mengatasi bencana berulang ini karena dari aspek iklim, frekuensi kekeringan ekstrem semakin sering terjadi.
KOMPAS/PUSDALOPS BPBD BATU–Petugas masih memadamkan sisa api yang membakar lereng Gunung Arjuna, tepatnya di kawasan Taman Hutan Raya R Soerjo di Batu, Jawa Timur, Senin (30/9/2019).
Upaya untuk mencari akar masalah kebakaran hutan dan lahan itu didiskusikan dalam panel yang diprakarsai Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) di Jakarta, Selasa (1/10/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal, yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, fenomena El Nino dan Dipole Mode Positif yang bisa memicu kekeringan ekstrem di Indonesia semakin sering terjadi sejak tahun 1950-an. ”Jika dulu fenomena ini lima tahun sekali, sekarang bisa dua tahun sekali,” katanya.
Belajar dari kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 dan 2015, menurut Herizal, BMKG telah memperingatkan potensi kekeringan dan kerentanan kebakaran sejak jauh-jauh hari sebagai bagian dari upaya pencegahan.
Namun, peringatan dini cuaca hanya salah satu komponen untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Raffles B Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, kebakaran hanya bisa terjadi jika dipicu manusia.
”Kepentingannya beragam, bisa disengaja atau tidak. Ada yang buka sendiri untuk kebun, ada yang disuruh perusahaan. Selain itu, ada faktor politis, setiap menjelang pemilihan kepala daerah biasanya banyak yang dibakar,” katanya.
Kepentingannya beragam, bisa disengaja atau tidak. Ada yang buka sendiri untuk kebun, ada yang disuruh perusahaan. Selain itu, ada faktor politis, setiap menjelang pemilihan kepala daerah biasanya banyak yang dibakar.
Menurut dia, sudah ada ratusan pelaku pembakaran hutan yang ditangkap tahun ini. Selain itu, ada 62 perusahaan yang diduga terlibat kebakaran hutan di lahan konsesinya, termasuk perusahaan asal Malaysia dan Singapura.
Raffles menambahkan, banyak oknum pemerintah daerah yang turut bermain dalam kebakaran lahan ini, termasuk juga dari dinas kehutanan di daerah. ”Ada juga oknum aparat bermain, demikian juga DPRD. Mereka rata-rata punya kebun sawit dan untuk membersihkan lahannya juga dibakar,” ujarnya.
Yuyun Darmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Walhi, menyoroti tidak terbukanya KLHK mengumumkan data perusahaan yang diduga membakar lahan. ”Pada tahun 1997 saat terjadi kebakaran data perusahaan itu dibuka. Kenapa sekarang ditutup? Selain itu, banyak kasus pembakaran hutan oleh perusahaan yang kasusnya menguap. Meskipun sebagian ada putusan pengadilan yang inkrah, ada belasan triliun denda harus dibayar perusahaan tidak dijalankan,” ujarnya.
Yuyun juga menyoroti masih gagapnya pemerintah dalam mengatasi kabut asap dari kebakaran hutan, terutama dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Padahal, hal ini sudah berlangsung berkali-kali.
Raffles mengakui, hukuman untuk pelaku pembakaran hutan masih belum memberi efek jera. ”Ada perusahaan dari Malaysia yang beroperasi di Riau terbukti melakukan pembakaran hutan hanya dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Keluar penjara bakar lagi. Terlalu kecil hukumannya. Sebagian besar lainnya lolos dari hukuman,” katanya.
Namun, untuk nama-nama perusahaan yang terlibat pembakaran sudah ada namanya. ”Direktorat Penindakan yang bisa umumkan namanya, tetapi saya ada inisial perusahaan-perusahaan ini. Saat ini juga proses penyidikan masih berlangsung,” katanya.
Restorasi gambut
Deputi Badan Restorasi Gambut (BRG) Alue Dohong mengatakan, kebakaran lahan gambut perlu mendapat perhatian lebih karena tingkat kesulitan untuk mengatasinya lebih tinggi, selain dampaknya yang besar.
Kebakaran lahan gambut terjadi karena kita memanfaatkannya melawan kodratnya. ”Kodratnya gambut itu harus selalu basah dan lembab. Tetapi kita keringkan, akhirnya gambut jadi bahan bakar dan begitu terbakar sulit padam,” ungkapnya.
BRG/JANY TRI RAHARJO–Area target restorasi gambut di Kalimantan Barat yang terdapat titik api pada kebakaran lahan 2019.
Kehancuran lahan gambut terjadi sejak era penebangan hutan oleh pemilik HPH. Selain karena kualitas kayunya, pengangkutan hasil tebangan menjadi gampang karena melalui kanal-kanal. Namun, kanal-kanal inilah yang kemudian menghancurkan ekosistem gambut karena memeras airnya sehingga kering.
Kerusakan gambut semakin parah setelah ada pembukaan besar-besaran untuk proyek sejuta hektar, transmigrasi, dan belakangan dengan banyaknya izin perkebunan di lahan gambut. Sejak kebakaran hutan tahun 2015, pemerintah membentuk BRG, yang tugasnya di antaranya merestorasi gambut yang dianggap sudah rusak.
”Dari 2,7 juta ha target restorasi, sekitar 2 persen yang tahun ini terbakar. Apakah restorasi gambut menyelesaikan soal? Ya kalau holistik dan memperhatikan kesatuan hidrologinya. Seluruh kanal yang terbuka harus disekat lagi,” ujarnya.
Alue mengungkapkan, luasan gambut tropis di Indonesia 14,9 juta hektar (ha). Bahkan, versi sejumlah lembaga swadaya masyarakat mencapai 20 juta hektar. ”Simpanan karbon di gambut kita 20-30 giga ton. Sebagian riset menyebut 40 giga ton. Kalau terbakar bakal mengeluarkan emisi sangat besar,” katanya.
Ekosistem gambut juga tempat hidup beragam flora fauna. ”Hutan rawa gambut tropis kita ini terluas di dunia, dia bisa menjadi aset ekonomi dan lingkungan nasional, tapi bisa jadi pusat bencana nasional,” kata Alue.
Selain berperan penting bagi ekologi, menurut Alue, kawasan gambut juga memiliki peran vital bagi 3,4 juta penduduk. ”Sekitar 26 persen GDB di sebagian daerah Kalimantan dan Sumatera disumbang dari kawasan dataran rendah yang mayoritas gambut. Jadi, untuk mengatasi masalah gambut ini juga harus memperhitungkan aspek sosial ekonomi warga yang tinggal di kawasan ini,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2019