Pemanfaatan riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mulai menunjukkan kemajuan. Lewat kerja sama dengan PT Karya Anugerah Rumpin, sapi keturunan Belgia yang cepat gemuk bisa lahir dan tumbuh di Indonesia untuk pertama kali. Kerja sama akan dilanjutkan hingga gen bibit unggul asli Indonesia benar-benar dihasilkan.
Kerja sama sejak tahun 2011. ”Lima tahun pertama menjadi dasar hasil tahun-tahun berikutnya agar lebih baik guna berkontribusi pada swasembada daging,” kata peneliti reproduksi hewan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI, Syahruddin Said, Rabu (4/2), di sela-sela kunjungan Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain ke lokasi pembibitan PT KAR, Bogor.
Sapi keturunan Belgia yang lahir pertama di Indonesia lewat kerja sama ini keturunan belgian blue. Hasil terbaik diperoleh lewat inseminasi buatan sperma pejantan belgian blue pada sapi betina lokal sumba ongole.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sapi hasil silangan berusia 8 bulan sudah berbobot 264 kilogram. Sementara sapi-sapi lokal, seperti jenis sumba ongole, Bali, dan Madura, baru seberat itu saat berusia 1,5 tahun.
Menurut Syahruddin, itu buah penelitian panjang setelah persilangan diujicobakan pada beberapa jenis sapi, baik lokal maupun impor. ”Persilangan dengan sumba ongole melahirkan sapi dengan genetika lebih tahan pada kondisi Indonesia,” ucapnya.
Direktur Operasional PT KAR Karnadi Winaga menambahkan, tak ada myostatin (protein penghambat pertumbuhan otot daging) pada gen sapi belgian blue, sehingga daging tumbuh berlipat ganda. PT KAR masih terus menyilangkan dengan jenis-jenis selain sumba ongole agar keturunan dengan jumlah myostatin mirip pejantan belgian blue diperoleh. Data persilangan diberikan pada LIPI untuk penelitian.
Iskandar Zulkarnain menuturkan, kerja sama akan diperpanjang dengan mencakup aspek-aspek lain yang butuh inovasi teknologi LIPI. Kerja sama itu juga bertujuan menunjukkan kepada industri, hasil riset LIPI bisa diaplikasikan secara komersial. ”Hubungan dunia penelitian dengan industri masih tersendat-sendat sehingga muncul anggapan hasil penelitian tak banyak diserap,” katanya.
Salah satu faktor terkait kondisi itu, kata Iskandar, karena kecenderungan industri menggolongkan kegiatan riset sebagai pengeluaran, bukan investasi. Akibatnya, jarang industri peternakan mau meriset.
Syahruddin mengatakan, riset peternakan sapi memang mahal dan lama. Untuk pembibitan hingga menemukan bibit unggul, industri harus menginvestasikan waktu 15-20 tahun. Proses selanjutnya, yakni pengembangbiakan, juga mebutuhkan 3-5 tahun. (JOG)
Sumber: Kompas, 5 Februari 2015
Posted from WordPress for Android