“Buzzer,” Bisnis Dengungan di Era Digital

- Editor

Kamis, 10 Oktober 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Semakin gaduh, semakin memancing rasa ingin tahu. Jurus lama ini jamak di dunia pemasaran. Laksana tukang obat yang memancing keramaian di pasar tradisional dengan sulap, di media sosial “buzzer” menciptakan kegaduhan agar dilirik warganet.

Keberadaan buzzer sesungguhnya tidak asing lagi di ranah media sosial. Penelitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017 mencatat, di Indonesia, buzzer mulai terlibat dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012.

Berkembangnya buzzer di Indonesia tidak lepas dari popularitas media sosial yang semakin meningkat. Pasar dan ekosistem digital itu membuka peluang bisnis. Di Indonesia, buzzer kembali meramaikan media sosial pada Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, dan Pilpres 2019. Dari sini, istilah buzzer kian sering disebut dan berani menunjukkan diri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tingkatkan citra
Awalnya, buzzer digunakan perusahaan-perusahaan untuk mendongkrak penjualan produk. Namun, partai-partai politik, politisi, dan pemerintah ikut memanfaatkan buzzer untuk meningkatkan citra.

Sebagai istilah, buzzer sering disamakan dengan influencer hingga penyebar hoaks. Akan tetapi, dua hal itu dapat dibedakan dari cara kerjanya. Keduanya sama-sama bertujuan membawa pesan agar sampai kepada khalayak, bahkan memengaruhi opini publik.

Bedanya, seorang buzzer menyampaikan pesan secara berulang-ulang sehingga menimbulkan dengungan (buzz: mendengung) agar menarik perhatian lebih banyak orang. Hal ini dikonfirmasi dalam wawancara The Guardian pada 23 Juli 2018 terhadap seorang buzzer di Indonesia. Ia mengaku disewa untuk kepentingan politik pada 2017 di Jakarta dengan melibatkan 20 orang. Tim yang dikoordinasi melalui Whatsapp ini diberi konten dan tagar harian untuk dipublikasikan di media sosial.

Tommy F Awuy, di Kompas edisi 16 Januari 2017, mengingatkan bahwa buzzer tidak hanya akun-akun media sosial yang memiliki banyak pengikut. Buzzer dadakan tanpa identitas yang tak dikenal pun mampu meramaikan warganet dengan berbagai informasi yang menarik sampai memancing emosi.

Adapun influencer lebih menekankan kredibilitas akun untuk meyakinkan publik. Semakin banyak pengikut dan mendapatkan kepercayaan tinggi, semakin besar pula efek pengaruh dari influencer dalam menyampaikan pesan. Harapannya, pesan yang disampaikan dapat mengubah pandangan orang lain.

Dengan pasar dan ekosistem digital yang mendukung, tak heran buzzer menjadi bisnis yang menjanjikan. Lingkup pekerjaan buzzer tak lagi terbatas dalam mengiklankan produk, tetapi juga masuk ke ranah politik.

Penelitian CIPG menampilkan empat karakteristik seorang buzzer. Ia memiliki jaringan yang luas. Selain jaringan, buzzer biasanya memiliki kemampuan memproduksi konten. Buzzer juga memiliki kemampuan persuasi untuk mendistribusikan konten, melakukan perlawanan isu, atau memengaruhi khalayak.

Perekrutan “buzzer”
Buzzer yang bekerja dalam tim direkrut layaknya pekerja profesional melalui seleksi. Temuan CIPG, awalnya perekrut memantau akun-akun media sosial yang aktif. Beberapa yang memenuhi kriteria dimasukkan ke dalam grup Whatsapp dan Telegram. Di situlah seleksi utama dilakukan.

Pendekatan langsung ke buzzer dilakukan agen komunikasi melalui pencarian dan pemetaan. Platform, seperti Sociobuzz dan Go-Viral, digunakan untuk membantu agen menemukan buzzer.

Selain itu, dibuka lowongan pekerjaan buzzer oleh agen atau biro komunikasi. Jika kita mengetik kata kunci “lowongan pekerjaan buzzer” pada mesin pencarian Google, muncul banyak lowongan pekerjaan yang terkait.

Seperti digambarkan CIPG, setidaknya ada dua jenis klien yang menggunakan jasa buzzer. Pertama, perusahaan yang ingin mempromosikan produk untuk penjualan. Kedua adalah partai politik atau tokoh politik yang bertujuan mempromosikan diri dan mendongkrak popularitas.

Proses jual-beli jasa buzzer pun diatur apik dan rapi. Berdasarkan hasil penelitian CIPG, klien yang membutuhkan buzzer dihubungkan agen atau biro komunikasi sebagai perantara. Perantara bertugas menawarkan dan memutuskan tarif proyek bersama klien. Sementara agen atau biro komunikasi mempunyai pemantau media, penulis konten, serta tim buzzing internal.

Tim dalam kisaran 20 orang itu digolongkan sebagai tim berskala kecil. Hasil penelitian Oxford Internet Institute, The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation mengategorikan pasukan siber yang memanipulasi media sosial dalam skala besar, menengah, kecil, dan mini.

Strategi
Setelah mendapatkan proyek, buzzer akan menetapkan strategi dalam menyampaikan pesan di media sosial. Penelitian CIPG menyebutkan, minimal tiga strategi yang digunakan buzzer, terutama dalam ranah politik.

Buzzer akan menggunakan tagar yang unik untuk membangun percakapan. Isu yang digunakan bisa saja sedang hangat dibicarakan warganet sehingga buzzer akan mendompleng isu tersebut. Namun, dapat pula buzzer merekayasa isu baru sebagai materi yang akan disebarkan.

Selain menggunakan tagar yang unik, buzzer dapat memanfaatkan kredibilitas dari produsen konten lain, entah pesohor ataupun situs berita tepercaya. Tujuannya, isu yang disebarluaskan akan lebih didengarkan dan diikuti jika disampaikan orang atau media yang tepercaya. Di sini keahlian buzzer mencuplik berbagai pendapat orang dan media tepercaya menjadi kunci guna mendompleng pesan yang ingin disampaikan.

Strategi lain yang digunakan buzzer adalah menyebarkan konten dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki, entah melalui berbagai grup yang diikuti di berbagai platform, seperti Whatsapp, Facebook, dan Telegram. Dengan berbagai strategi ini, diharapkan isu yang dibawa mampu dibicarakan banyak orang dan memancing rasa ingin tahu.

Ukuran keberhasilan
Dengan impresi atau keterlibatan yang semakin besar, tujuan pertama buzzer guna memancing rasa ingin tahu khalayak dapat terwujud. Akan tetapi, memancing rasa ingin tahu warganet hanyalah tahap pertama dari strategi yang dimainkan buzzer.

Tujuan selanjutnya yang lebih penting adalah membuat mereka yang terpancing ikut di dalam arus besar isu yang dimainkan para buzzer, bahkan mengikuti narasi yang dimainkan.

Di titik inilah, keberhasilan buzzer paripurna. Artinya, keberhasilan buzzer yang utama diukur dari perubahan opini atau paradigma orang tentang produk atau isu tertentu. Justru di sinilah letak problematika buzzer, di sisi konten.

Ketika konten yang “digarap” buzzer merupakan iklan layanan masyarakat ataupun produk tertentu, Kerja buzzer dinikmati hasilnya oleh semakin banyak orang.

Namun, ketika konten yang dilemparkan buzzer merupakan hoaks, menjatuhkan, memojokkan seseorang, efek kegiatan buzzer bisa menimbulkan keresahan di dunia nyata. Bahkan, efek tindakan buzzer buzzer menghasilkan kerusuhan dan perpecahan. Hal ini menguak wajah ganda media sosial sebagai ekosistem para buzzer.

Di awal kemunculannya, media sosial digembar-gemborkan sebagai kekuatan bagi kebebasan dan demokrasi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, media sosial menampakkan wajahnya yang malah memperkuat disinformasi, hasutan untuk kekerasan, serta menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan lembaga-lembaga demokrasi. Inilah sebabnya, buzzer pun perlu diatur.—Debora Laksmi Indraswari, Mahatma Chryshna. (LITBANG KOMPAS)

Sumber: Kompas, 10 Oktober 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB