CATATAN IPTEK
Seri buku Magic Tree House memang fenomenal. Sejak debutnya tahun 1992, kisah petualangan ini sudah terjual lebih dari 130 juta buku di seluruh dunia. Magic Tree House yang sudah diterjemahkan dalam 33 bahasa, termasuk bahasa Indonesia, telah menyihir anak-anak untuk terus tekun membaca, berkeliling dunia, menjelajah sejarah, dan belajar ilmu pengetahuan dengan sukacita.
Mary Pope Osborne, sang penulis buku, tidak hanya mendapatkan penghargaan seri buku terlaris, tetapi juga seri buku terbaik pilihan orangtua, guru, maupun pustakawan. Buku yang saat ini terdiri dari 54 jilid seri Magic Tree House, 34 Fact Trackers, 20 Research Guides, bahkan juga sebuah Journal dan Survival Guide, telah berjasa mengenalkan anak-anak dengan berbagai periode kehidupan di Bumi.
Melalui Jack dan Annie, dua bersaudara berusia 8 dan 7 tahun, anak-anak bisa berkenalan dengan dinosaurus, bangsa Viking, ninja, bahkan merasakan letusan Gunung Vesuvius di Pompeii. Pada kali lain, mereka bertemu dengan para penemu yang mengubah peradaban dunia: Alexander Graham Bell, Thomas Alfa Edison, Louis Pasteur, dan Gustave Eiffel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pengarang yang hebat, buku yang luar biasa, memerlukan pembaca untuk mengapresiasinya. Maka setiap tanggal 23 April—Senin lalu—dunia memperingati Hari Buku. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) merancang Hari Buku sebagai perayaan. Perayaan atas para pengarang yang inspiratif, ilustrator buku yang mencerahkan, dan terutama adalah perayaan untuk para pembacanya.
Berlangsung sejak 1995, sebenarnya UNESCO lebih meneruskan perayaan tradisi literasi yang sudah berlangsung di Spanyol jauh sebelumnya. Tanggal 23 April dipilih untuk menghormati pengarang Miguel de Cervantes, penulis buku legendaris Don Quixote, yang meninggal 23 April 1616. Ketika ditelusuri lebih lanjut, ternyata William Shakespeare—penulis buku, drama, puisi—juga meninggal pada tanggal dan tahun yang sama.
Di Inggris dan Irlandia, Hari Buku adalah momentum untuk mengajak anak-anak mengeksplorasi imajinasi dan menikmati dunia baca, sekaligus membuka peluang agar anak-anak gemar membaca dan bisa memiliki bukunya. Sayang, di Indonesia, Hari Buku berlalu begitu saja. Bahkan, buku semacam Magic Tree House yang bisa meningkatkan pengetahuan anak-anak dengan cara yang menyenangkan, tidak besar gaungnya.
Persoalannya ada pada indeks minat baca di Indonesia yang masih sangat rendah. Menurut data UNESCO tahun 2012, indeks Indonesia 0,001. Ini berarti hanya ada satu dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki minat baca. Bahkan, dalam World’s Most Literate Nations tahun 2016, Indonesia hanya satu tingkat di atas Botswana, urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
Rendahnya minat baca memengaruhi daya nalar bangsa, apalagi di tengah serbuan informasi di era digital ini. Akibatnya, hoaks, kampanye hitam, dan berbagai kabar menyesatkan lainnya dengan mudah dipercaya, bahkan direplikasi sebelum tuntas dibaca, ke seluruh kelompok media sosial yang diikuti. Bagaimana memutus mata rantai ini?
Galakkan kembali budaya baca. Cara yang ditempuh Sekolah Global Jaya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, barangkali bisa menjadi contoh. Sejak TK, bahkan sebelum anak-anak bisa membaca, guru selalu menyisipkan sebuah buku untuk dibaca di rumah bersama orangtua.
Buku yang diberikan tidak hanya berselang-seling, tetapi tingkat kesulitannya juga disesuaikan dengan kemampuan baca masing-masing anak. Ada buku belajar membaca, mengenali lingkungan, dan tentu saja cerita-cerita fiksi yang imajinatif. Secara paralel, orangtua di rumah juga harus ikut berperan. Membaca koran, majalah, buku, harus terus dihidupi setiap hari agar anak melihat dan meniru contoh nyata di sekitarnya.
Ada pelbagai keuntungan bila daya baca ini meningkat, mulai dari kemampuan untuk fokus, mendalami teks, hingga berkembangnya daya nalar dalam mengikuti kompleksitas teks. Oleh karena itu, Indonesia perlu membangun budaya baca agar menjadi habitus baru bangsa.
Hari Buku seharusnya bisa menjadi momentum untuk menyediakan buku-buku yang baik dengan harga terjangkau, mempermudah akses buku di mana pun rakyat berada, dan membuat lomba-lomba baca serta resensi buku dengan hadiah yang menarik dan mendidik.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 25 April 2018