Pemerintah Indonesia harus menunjukkan bukti produk sawit dari kebun dan industrinya yang berkelanjutan dengan bukti nyata di lapangan. Jika tidak, masyarakat dan dunia internasional tak akan percaya.
ANTARA FOTO/FB ANGGORO–Pekerja mengangkut tandan buah segar kelapa sawit hasil panen di PT Ramajaya Pramukti di Kabupaten Siak, Riau, Rabu (2/10/2019).
Pemerintah Indonesia harus menunjukkan bukti produk sawit dari kebun dan industrinya yang berkelanjutan dengan bukti nyata di lapangan. Penyelesaian konflik sosial, persoalan sawit di dalam kawasan hutan, deforestasi dan penggunaan lahan bernilai konservasi tinggi harus bisa dibuktikan di lapangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia telah memiliki momen berupa moratorium sawit yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Momen setahun telah berlalu, namun pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan presiden bagi jajarannya tersebut belum menunjukkan hasil.
Presiden didesak mengevaluasi kinerja jajarannya dan meminta agar para pembantunya tersebut memberikan laporan. Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tersebut, Presiden memerintahkan agar jajarannya memberikan laporan rutin setiap enam bulan sekali.
Demikian benang merah pendapat para pegiat kelapa sawit yang dihubungi di Jakarta, Rabu (20/11/2019). Tanpa bukti nyata di lapangan yang bisa diukur dan disaksikan publik, upaya memperbaiki citra sawit melalui sosialisasi dan “kampanye putih” hanya akan berakhir pada sekadar slogan dan jargon.
“Kata kuncinya sebenarnya yaitu berbenah. Pencitraan Indonesia sebagai produsen sawit untuk berbenah itu salah satu yang bisa ditunjukkan itu moratorium sawit,” kata Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.
Namun sayangnya selama setahun moratorium tersebut berjalan – dan akan berakhir pada 2021 atau tersisa kurang dari dua tahun lagi – pembenahan tersebut tak tampak. Ia mencontohkan berbagai persoalan seperti penyelesaian penggunaan sawit pada kawasan hutan tanpa izin pelepasan tak bisa dieksekusi hingga kini.
Data Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan hasil identifikasi kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan seluas 3.177.014 hektar. Contoh nyata, kata Surambo, yaitu kasus Padang Lawas di Sumatera Utara yang sudah inkraht atau berkekuatan hukum tetap. Hingga kini kebun tersebut masih eksis dan pemerintah tak bisa menjalankan putusan Mahkamah Agung tersebut.
Catatan Kompas, dalam kegiatan Festival Gakkum di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa bulan lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo yang hadir sebagai narasumber pun menargetkan kasus Padang Lawas bisa diselesaikan sebelum jabatannya berakhir (Kompas.id, 24 Juli 2019).
Ahmad Surambo juga menunjukkan contoh lain yaitu perizinan perkebunan sawit PT HIP di Buol, Sulawesi Tenggara yang izin pelepasan kawasan hutannya dikeluarkan pada masa moratorium. Meski hal ini ditampik pihak KLHK – yang dalam beberapa pernyataan berikutnya masalah ini akan dicek ulang – sejumlah pihak menunjukkan bukti citra satelit bahwa kebun tersebut ditanam sebelum izin pelepasan kawasan hutan diterbitkan.
“Kalau begini-begini masih diteruskan, bagaimana publik bahkan masyarakat internasional bisa diyakinkan keberlanjutannya,” kata dia.
Ia juga mencontohkan semangat menciptakan sawit berkelanjutan yang seharusnya mendorong peningkatan produktivitas tanpa ekspansi hingga kini minim perkembangannya, terutama bagi pekebun kecil. Persoalan peremajaan sawit yang mencapai 2,4 juta ha hingga kini tersendat-sendat dan pencapaiannya jauh dari target.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Jajaran tanaman kelapa sawit tua kebun PT Ramajaya Pramukti pada Rabu (2/10/2019). Kebun itu sudah siap untuk diremajakan.
Sisi keberlanjutan lain, kata dia, berusaha dibuktikan Indonesia dengan menciptakan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Hingga kini pelaksanaannya secara wajib masih ditolak sejumlah pihak karena alasan pekebun kecil kesulitan memenuhi persyaratan tersebut, terutama dari sisi legalitas kebun.
Ahmad Surambo mengatakan pada awalnya penyusunan ISPO melibatkan masyarakat madani, tetapi masukan-masukan yang disampaikan tidak masuk dalam sistem. Ia menyebutkan keinginan agar sertifikasi ISPO membuka data hak guna usaha (seperti telah diputuskan juga oleh Mahkamah Agung) serta pelibatan masyarakat sipil sebagai pemantau independen, tak masuk dalam sistem tersebut.
Secara terpisah, Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, mengatakan pihaknya tak pernah berkampanye antisawit. Pihaknya sejak awal mendorong sawit berkelanjutan, yaitu sawit menerapkan prinsip No Deforestation, No Peat Development, and No Exploitation (NDPE).
No Deforestation yaitu sawit dihasilkan bukan dari kegiatan deforestasi atau penghilangan hutan bernilai konservasi tinggi, No Peat Development yaitu bukan berasal dari hutan/lahan gambut, dan No Exploitation yaitu di antaranya tak melanggar hak masyarakat atau hak ulayat masyarakat adat.
“Kalau Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia (yang daerahnya penghasil sawit utama dunia) ingin melawan yang disebut kampanye hitam itu, ya buktikan bahwa mereka (industri dan perkebunan) tidak melakukan deforestasi dan seluruh rantai pasoknya bersih,” kata dia.
Rantai pasok ini penting karena pada umumnya perusahaan sawit besar tak menyebutkan darimana perusahaan-perusahaan pengumpul sawit mendapatkan bahan-bahannya. Karena itu, hal ini agar dibuka ke publik untuk bisa dicek di lapangan.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sebaran kebun sawit di Indonesia yang dipaparkan oleh Kepala Komisi Sekretariat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) Azis Hidayat, Kamis (12/9/2019) di Jakarta.
Namun yang terjadi saat ini, kata dia, industri sawit masih belum bisa menunjukkan bukti keberlanjutannya. Setidaknya pada kasus kebakaran akhir-akhir ini, sebagian besar areal perusahaan berbasis lahan yang disegel oleh aparat penegak hukum adalah perkebunan sawit.
Dan catatannya lagi, terkait kebakaran hutan seperti ini, temuan Greenpeace Indonesia menunjukkan pada kasus 2015 sampai 2018, tak satu pun konsesi sawit grup-grup besar yang terbakar itu mendapatkan sanksi hukum, baik pidana, perdata, dan administrasi. Hal ini menunjukkan Indonesia belum tegas dan serius untuk mendorong perusahaan menjaga konsesi maupun meniadakan pembersihan lahan dengan cara membakar.
Oleh ICHWAN SUSANTO DARI KUALA LUMPUR, MALAYSIA
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 21 November 2019