Isu bahan bakar minyak terbarukan alias biofuels makin menghangat seiring dengan kembali naiknya harga (petro-) BBM. Namun, sebenarnya bioetanol dan biodiesel bukanlah biofuels yang ideal.
Bioetanol digadang-gadang sebagai pengganti bensin, padahal sifat fisika-kimianya bagai bumi dan langit dengan bensin. Sifat higroskopik dan korosifnya mampu merusak mesin kendaraan serta pipa penyalur bensin.
Jika bersikeras mengganti bensin dengan etanol, kita perlu merombak (atau membangun baru) semua pipa penyaluran, stasiun pengisian, dan mesin kendaraan yang ada. Ini tentu saja sangat mahal. Kandungan energi etanol pun hanya 70 persen bensin. Akibatnya, untuk jarak tempuh yang sama, mesin perlu bahan bakar sekitar dua kali lebih banyak.
Biodiesel (metil- atau etil- ester asam lemak) mirip dengan zat kimia penyusun solar dan avtur (bahan bakar pesawat terbang). Berbeda dari bioetanol, biodiesel lebih baik dari petrosolar dan petroavtur dalam hal tidak melepas emisi aromatik yang karsinogenik, melepas lebih sedikit karbon dioksida, serta bersifat melumasi mesin sehingga mudah dinyalakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, biodiesel lebih mudah mengental ketimbang solar dan avtur sehingga bisa merusak mesin diesel tua, tak dapat digunakan di negara bermusim dingin, dan meski berpotensi, tidak bisa dijadikan bioavtur karena suhu di langit sangat dingin.
Kedua biofuels itu belum ideal ditinjau dari bahan baku pembuatannya, yakni jagung dan gula untuk bioetanol serta kelapa sawit untuk biodiesel. Penggunaan tanaman pangan untuk biofuels bisa menimbulkan kelangkaan dan naiknya harga pangan, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk berlebih, alih fungsi hutan dan lahan lain untuk perkebunan monokultur, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Khusus biodiesel sempat diusulkan pemanenan bahan baku minyak dari mikroalga, tetapi ini pun terkendala biaya terkait proses budidaya, pemanenan mikroalga, dan pengutipan minyaknya.
Masalah terkait sifat fisika-kimia calon pengganti BBM bisa diatasi dengan pembuatan zat yang serupa, atau sama persis dengan komponen tiga petro-BBM, yakni berbagai hidrokarbon berbentuk lurus, bercabang, siklik, dan aromatik. Panjang rantai hidrokarbon penyusun bensin adalah 4-12 atom C; solar 9-23 atom C (rata-rata 16); avtur 8-16 atom C.
Masalahnya, di alam belum pernah ditemukan organisme yang bisa membuat mereka. Bakteri Clostridium penghasil butanol (alkohol C4) adalah satu dari sedikit pengecualian. Namun, produksinya terlalu sedikit, sementara peningkatannya lewat rekayasa genetika sukar.
Rekayasa metabolisme
Solusinya adalah melakukan rekayasa metabolisme (metabolic engineering) pada mikroba yang cepat bereproduksi
serta mudah direkayasa sistem genetiknya, yakni Escherichia coli.
Teknologi rekayasa metabolisme mampu menciptakan strain E coli penghasil alkohol C3-C10 lurus ataupun bercabang (dari rekayasa jalur biosintesis asam amino dan jalur penghancuran asam lemak). Selain itu juga biodiesel, alkohol lemak, hidrokarbon jenuh, dan hidrokarbon tak jenuh C12-C18 (dari rekayasa jalur biosintesis asam lemak); serta berbagai senyawa golongan isoprenoid seperti farnesen—senyawa C15 komponen wangi apel dan feromon serangga—serta bisabolen, yakni C15 dengan gugus siklik (dari rekayasa jalur mevalonat).
Masalahnya, E coli yang diisolasi dari alam tak bisa membuat semua zat itu. Jika zat-zat tersebut dicampur dengan komposisi yang tepat, bisa menghasilkan zat baru yang mirip dengan tiga macam petro-BBM yang sudah ada (bensin, solar, dan avtur).
Berbagai krisis yang berakar dari penggunaan tanaman/mikroalga sebagai bahan baku biofuels bisa diatasi dengan rekayasa metabolisme. Dalam hal ini di jalur ”makan” E coli. Jalur yang bertugas menyediakan ”bahan bangunan” bagi berbagai reaksi biosintesis di atas berhasil direkayasa hingga mampu mengonsumsi zat lignoselulosa dalam sampah organik rumah tangga, sampah pertanian, dan sampah hutan. Lebih ekstrem lagi, sejumlah strain E coli mampu menghasilkan ”bahan bangunan” hanya dengan ”memakan” gas karbon dioksida serta listrik.
Seluruh fenomena itu dimungkinkan oleh kehadiran teknologi biologi-sintetik yang memungkinkan para ahli menciptakan berbagai macam enzim sintetik. Enzim-enzim itu unik karena mereka mampu mengatalisis berbagai macam reaksi yang belum pernah dijumpai di alam.
Sebagian strain E coli hasil rekayasa telah dicobagunakan dalam industri biofuels yang bersesuaian. Berbagai upaya optimasi strain maupun teknologi bioproses masih diperlukan karena sejauh ini mayoritas proses belum seekonomis pembuatan BBM dari minyak bumi.
Yang pasti, kita sudah punya strain bakteri penghasil biofuels yang ideal, yang takkan merusak mesin dan lingkungan serta takkan memicu kenaikan harga pangan.
(Wasti Nurani, Guru Biologi Bilingual di SMA 1 BPK Penabur Bandung; MS in Biomedical Engineering University of California, Los Angeles)
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2013