Pemerintah agar lebih fokus pada upaya pengendalian wawah melalui tes, pelacakan kasus, dan isolasi sejak dini.
Pemerintah Indonesia diminta mempriotaskan upaya pencegahan Covid-19 di hulu dibandingkan kuratif. Pendekatan kuratif bakal meningkatkan jumlah korban dan beban ekonomi, apalagi virus ini juga bisa berdampak jangka panjang bagi tubuh orang yang terinfeksi.
“Sampai saat ini yang diurus lebih banyak di hilir, seperti penambahan kapasitas rumah sakit dan ruang isolasi, serta obat-obatan. Ini juga penting, tetapi terlihat sektor hulu untuk pencegahan belum ada progres signifikan,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, di Jakarta, Jumat (2/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indikator tidak optimalnya upaya pencegahan ini terlihat dengan terus bertambahnya kasus penularan. “Gelombang pertama wabah pun belum sampai. Grafik terus naik dan susah dipastikan kapan akan landai,” kata dia.
Menurut Ari, pembatasan sosial yang ketat seperti dilakukan di Jakarta saat ini terbukti efektif menurunkan laju penularan. “Rumah sakit mulai berkurang pasiennya. Pembatasan ini merupakan salah satu bentuk pencegahan di hulu. Hal ini seharusnya dilakukan di daerah lain yang merah, jangan tunggu terlambat,” kata dia.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, angka kasus di Indonesia bertambah 4.317 kasus sehingga total menjadi 295.499 kasus. Sedangkan kematian bertambah 116 orang sehingga menjadi 10.972 orang.
Penambahan terbanyak terjadi di Jakarta mencapai 1.198 kasus, disusul Jawa Barat 544 kasus, Jawa Tengah 344 kasus, Jawa Timur 319 kasus, Kalimantan Timur 283 kasus, Aceh 188 kasus, Riau 181 kasus, dan Bali 130 kasus. Untuk penambahan korban meninggal dunia terbanyak di Jawa Timur 18 orang, Jawa Tengah 17 orang, Jawa Barat 15 orang, Kalimantan Timur 10 orang, Riau dan Bali masing-masing enam orang.
Dalam rapat koordinasi penanganan Covid-19, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mempresentasikan ada tujuh daerah yang memiliki tren kasus harian lebih tinggi dari rata-rata sepekan terakhir. Daerah tersebut adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali, dan Kalimantan Selatan.
Untuk keterpakaian tempat tidur di rumah sakit, 10 provinsi dengan kasus terbanyak masih berada di bawah 70 persen dengan yang tertinggi Jakarta 68 persen. Selain itu, dipastikan ketersediaan obat, meliputi oseltamvir sebanyak 7,3 juta kaps produksi dalam negeri, favipiravir sebanyak 3,7 juta tablet yang sebagian besar diproduksi dalam negeri. Sedangkan yang masih impor adalah remdesivir sebanyak 670 ribu vial dan Lopinovir 2,5 juta tablet.
Dalam presentasi Luhut ini, daerah dengan tingkat kematian di atas rata-rata nasional adalah Jawa Tengah dengan 7,7 persen; Jawa Timur 7,3 persen; Sumatera Utara 4,2 persen; dan Kalimantan Selatan 4,1 persen. Sedangkan daerah yang menunjukkan tren peningkatan tingkat kematian adalah Bali; yaitu dari 1,2 persen pada Agustus menjadi 3,1 persen pada September. Riau juga meningkat dari 1,5 persen pada pertengahan Agustus menjadi 2,1 persen pada akhir September.
Data ini berbeda dengan versi Kementerian Kesehatan (Kemkes), yang menyebutkan tingkat kematian tertinggi ada di Jawa Timur yaitu 7,3 dan Jawa Tengah hanya 6,2 persen. Perbedaan terjadi di Jawa Tengah, yang menurut data Kemenkes jumlah korban meninggal sebanyak 1.436 orang dengan total 23.078 kasus positif.
Data ini juga berbeda dengan yang dilaporkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di laman resmi mereka yang menyebutkan, korban meninggal di wilayah mereka sudah mencapai 2.002 orang dan total kasus 22.994, sehingga tingkat kematian sebesar 8,7 persen.
Sangat mahal
Ari mengatakan, jika pemerintah terus fokus pada upaya kuratif, biaya yang harus ditanggung akan sangat besar. “Biaya perawatan pasien Covid-19, terutama kalau sampai kritis dan butuh ventilator sangat mahal. Untuk ventilator saja sehari bisa Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta. Padahal, proses kesembuhannya bisa lama,” kata Ari.
Dokter spesialis emergensi Tri Maharani, yang pernah bertugas di RS Sulianti Saroso mengatakan, biaya perawatan pasien Covid-19 dengan gejala ringan masih berkisar Rp 5 – 10 juta hingga sembuh. Namun, untuk pasien kritis yang butuh penanganan ekstra, termasuk ventilator bisa ratusan juta rupiah.
“Dulu salah satu sejawat perawat yang sempat saya rawat dan kemudian meninggal habis Rp 800 juta, terutama karena biaya CRRT (continues renal replacement therapy) sangat mahal. Biaya semakin mahal tergantung lama dan kerusakan organ. Padahal, kalau sudah mendapatkan ventilator, peluang untuk pulih relatif kecil,” kata dia.
Wakil Kepala Lembaga Biolog Eijkman David Handojo Muljono mengatakan, biaya perawatan pasien Covid-19 dengan gejala berat memang relatif mahal. Misalnya, untuk pengobatan plasma konvalesen dibutuhkan dua kali pemberian, masing-masing Rp 4 juta dengan pemberian dua kali.
“Untuk biaya lain-lain seperti obat dan infus bisa sampai Rp 10 juta per hari,” kata David, yang menjadi peneliti utama dalam uji klinis plasma konvalesen di Indonesia. “Satu pasien yang butuh perawatan intensif minimal Rp 500 juta – Rp 700 juta,” lanjutnya.
Laporan Ketua Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin, hingga 28 September 2020, pemerintah telah mencairkan Rp 304,62 triliun atau 43,8 persen dari total Rp 695,2 triliun anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Selain penanganan kesehatan, program bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan miskin serta dunia usaha juga menjadi fokus (Kompas, 1/10/2020).
Dengan kondisi ini, Tri, menyarankan pemerintah lebih fokus pada upaya pengendalian wawah melalui tes, pelacakan kasus, dan isolasi sejak dini. Sedangkan masyarakat diminta taat protokol kesehatan. Apalagi, sejumlah penelitian juga menunjukkan, Covid-19 bisa memberikan dampak jangka panjang bagi pasien.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 September 2020 menunjukkan, Covid-19 dapat menyebabkan gangguan permanen meliputi kerusakan otot jantung, kerusakan jaringan paru-paru dan bisa memicu gagal paru restriktif, gangguan muskuloskeletal yang bisa memicu nyeri pada sendi dan otot. Bahkan, virus ini juga bisa menyebabkan gangguan kognitif dalam hal memori dan konsentrasi, serta kesehatan mental meliputi kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan tidur.
Sedangkan studi peneliti Italia, Angelo Carfi di jurnal JAMA pada 9 Juli 2020 menyebutkan, 87 persen dari pasien yang pernah dirawat di rumah sakit karena Covid-19 masih berjuang hingga dua bulan kemudian. Karena sifat penyakit ini masih baru, sejauh ini belum ada data seberapa jauh dampak jangka panjangnya, dan apakah Covid-19 akan memicu timbulnya penyakit kronis di masa depan.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2020