TULISAN ini dimaksudkan untuk mengimbau pemuda lulusan SMA yang kuat fisiknya, cinta olahraga air, dan kuat dalam bidang MIPA, untuk mempertimbangkan menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan. Selain itu, juga ingin ditunjukkan perlunya pemerintah daerah yang wilayahnya bersifat maritim, mengupayakan adanya sarana olahraga air dan olahraga laut yang terjangkau bagi anak-anak dan remaja.
Berkat pemikiran para pakar tanaman bebijian, yang dipelopori oleh pemenang Hadiah Nobel, Norman Borlaug, pemuliaan tanaman bebijian penghasil energi mengalami revolusi metodologi. Hasilnya ialah penemuan tanaman bebijian yang dapat menghasilkan produksi yang tinggi pada masukan sarana produksi pertanian yang tiggi pula. Akibatnya, walaupun lahan pertanian menciut karena populasi manusia bertambah, tambahan keperluan akan makanan penghasil energi dapat ditutup dari peningkatan produksi serealia itu, termasuk gandum, jagung, dan pagi. Inilah yang dikenal sebagai Revolusi Hijau di bidang pertanian dan yang masuk ke Indonesia pada akhir dasawarsa enam puluhan.
Ingin protein
Di mana-mana di dunia, keperluan pangan pertama yang diusahakan agar mencukupi ialah sumber energi, seperti gandum, jagung, dan beras. Dari sumber energi ini juga diperoleh komponen pemenuh keperluan akan protein. Kalau misalnya orang makan nasi sekenyangnya, maka 60 persen dari keperluan hariannya akan protein akan terpenuhi dari nasi yang dimakannya itu. Sisanya biasanya harus dilengkapinya dengan makanan pelengkap yang mengandung protein.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Makanan pelengkap mengandung protein yang paling terjangkau berasal dari kekacangan, seperti kedelai dan kacang merah. Di setiap masyarakat, pemenuhan pertama keinginan makan protein selalu melewati makanan kekacangan. Karena itu, juga kekacangan di kalangan ahli ekonomi rumah tangga pernah disebut ”daging bagi orang miskin”.
Tahapan perkembangan itu masih dapat kita amati di pedesaan Indonesia. Lihat saja lepat ketan, yang dicampuri dengan biji kacang panjang atau kacang tanah, dan rempeyek yang merupakan kombinasi kreatif tepung beras atau terigu dengan kacang tanah atau kacang kedelai.
Tetapi juga di Indonesia pada waktu ini, dengan menjadi cukupnya sumber pangan energi, muncul tambahan keperluan akan protein hewani. Kalau kita hanya mempertimbangkan protein hewani yang berasal dari hewan di darat, maka sumber protein dari yang termurah ke yang termahal ditinjau dari segi efisiensi penggunaan pakan ialah telur, susu, ayam pedaging, kerbau, sapi, dan kambing serta domba. Apabila babi juga hendak diperbandingkan oleh mereka yang dapat memakannya, maka letaknya di antara ayam dan kerbau.
Berebutan lahan
Semua bahan penghasil sumber protein manusia itu juga harus dihasilkan di atas lahan pertanian. Karena itu, lahan yang ditanami dengan pakan ternak, akan tertutup bagi produksi bahan pangan manusiai. Seringkali pula bahan pembuat pakan itu sebenarnya dapat pula digunakan sebagai makanan manusia, seperti jagung, gabah, dan kedelai.
Karena itu, dengan bertamabah padatnya populasi penduduk Indonesia, selain lahan pertanian menyempit pemanfaatannya untuk menghasilkan bahan-bahan yang tidak langsung digunakan sebagai makanan oleh manusia, dapat menimbulkan masalah berkurangnya produksi bahan pangan. Dengan perkataan lain, peningkatan produksi sumber protein hewani bagi manusia dapat menjadi penghambat produksi bahan pangan sumber energi, karena keduanya sama-sama memerlukan lahan pertanian.
Oleh karena itu, kalau kita ingin lebih meningkatkan persediaan bahan pangan sumber protein hewani, kita harus berpaling dari daratan ke tempat yang tidak dapat dipakai bercocok-tanam. Tempat itu adalah perairan bebas dalam lingkungan daratan dan perairan bebas di luar daratan, yaitu laut, yang menghubung-hubungkan pulau-pulau di Indonesia ini menjadi Kepulauan Nusantara, yang luasnya jauh lebih besar daripada luas daratannya.
Revolusi biru
Perairan bebas kita baik yang tawar, payau maupun asin, adalah bagian permukaan bumi Indonesia, yang hasil pengikatan energi mataharinya menjadi energi kimia belum dimanfaatkan secara penuh. Kalau di daratan pengikatan energi surya menjadi energi kimia dilakukan oleh fotosintesis tanaman hijau, maka di perairan bebas fotosintesis itu dilakukan oleh fitoplankton. Sebagian fitoplankton dimakan terlebih dahulu oleh zooplankton, sebagian lagi langsung dimakan ikan. Kemudian ikan dapat dijadikan makanan sumber protein hewani bagi manusia sebagai konsumen pertama atau kedua.
Peralihan energi ini dari satu mata rantai ke mata rantai lain rantai makanan, seperti kita tahu, berlaku sangat tidak efisien, dengan faktor konversi sebesar rata-rata hanya sepersepuluhnya. Karena itu, apabila manusia makan daging dari saipi yang pakannya adalah rumput dan jagung, energi fotosintesis yang sampai kepada manusia hanyalah seperseratusanya, sehingga dari segi pemanfaatan energi, jagung lebih efisien dikonsumsi langsung oleh manusia daripada diubah terlebih dahulu menjadi daging sapi.
Kalau manusia ingin makan daging juga sebagai sumber protein, jauh lebih menguntungkan apabila daging itu diambil dari hewan yang hidup dari pakan yang tidak tumbuh di darat. Hewan itu adalah ikan dan hewan air lainnya. Walaupun dari segi peralihan energi untuk setiap 1000 kg fitoplankton akan terbentuk 100 kg zooplankton, yang akan menjadi 10 kg daging ikan, dan dari daging ikan ini hanya 1 kg yang dapat dimanfaatkan sebagai energi oleh manusia, sehingga transmisi energi menjadi lebih tidak efisien lagi.
Hal itu kurang menjadi masalah, karena tanpa makan ikan itu manusia tidak akan mungkin memanfaatkan energi surya, yang telah diikat oleh fitoplankton tadi di dalam air. Masalahnya menjadi serupa dengan menggembalakan kambing di bukit batu. Pemanfaatan energi hasil fotosintesis rumput oleh kambing sangat tidak efisien dibandingkan dengan kerbau dan sapi. Akan tetapi, kita tetap memeliharanya di bukit-bukit yang hampir tandus, karena hanya melalui kambing itulah kita dapat memanfaatkan rumput yang tersebar di sana-sini untuk diubah menjadi daging.
Jadi, untuk masa depan kita dengan lebih dari 200 juta penduduk pada permulaan tahun 2000, pencarian sumber protein hewani terutama harus ditujukan ke usaha perikanan di laut bebas. Usaha yang tekun menuju sasaran ini akan dapat meningkatkan produksi protein perairan kita berlipat ganda, seperti dahulu pada tahun-tahun tujuh puluhan terjadi dengan produksi beras. Kalau hal itu dijuluki Revolusi Hijau, maka yang akan kita hadapi berkat usaha yang tekun, adalah Revolusi Biru melalui modernisasi pandangan mengenai budidaya perikanan dan teknologi penangkapan ikan.
Tempat untuk mempersiapkan Revolusi Biru ini ialah di setiap fakultas perikanan yang ada di Indonesia. Yang harus dipersiapkan adalah perangkat lunak yang siap melaksanakan budidaya dan teknologi baru ini, dengan menggunakan pandangan yang baru pula. Pandangan baru ini terutama berkaitan dengan cara pemanfaatan hasil fotosintesis yang terjadi di lautan kita.
Cinta laut
Kapal-kapal penangkap ikan asing dengan nakoda yang terlatih sebagai ahli penangkap ikan, sekarang berkeliaran masuk perairan Indonesia, kebanyakan tanpa izin. Semuanya berupaya memanfaatkan kekayaan ikan lautan Indonesia, terutama di sekitar Laut Arafura, tempat terjadinya riakan ke atas di dalam laut, yang memungkinkan adanya pertukaran air laut lapisan dalam dan atas, yang sekaligus membawa pakan ikan ke permukaan.
Untuk menyaingi mereka itulah kita harus punya cukup nakoda ahli penangkapan ikan yang terdidik dan tahan melaut. Untuk dapat merambah lautan itulah mahasiswa fakultas perikanan sejak masa kanak-kanak harus cinta pada olahraga air dan olahraga laut, karena sebagai lulusan fakultas perikanan yang ahli menangkap ikan, ia nanti harus bekerja di laut lepas sebagai nakoda kapal penangkap ikan.
Karena itu, juga bagi pemerintah daerah yang wilayahnya bersifat maritim, adalah suatu keharusan menyediakan sarana olahraga air, seperti kolam renang dan olahraga laut, dan sungai seperti olahraga dayung dan layar. Bagi sekolah-sekolah di wilayah seperti itu, adalah juga suatu keharusan memupuk cinta laut dan cinta perairan pada peserta didiknya.
Andi Hakim Nasoetion, guru besar, mantan Rektor IPB, Bogor
Sumber: Kompas, 25 April 1990