Berbagai negara memberikan anjuran kepada warganya untuk mengonsumsi ikan dan produk turunannya, termasuk makerel kalengan. Anjuran ini dilakukan karena penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ikan memberikan manfaat yang besar, jauh lebih besar dibandingkan potensi risiko kesehatan yang mungkin ditimbulkannya.
Risiko kesehatan ini umumnya berkaitan dengan cemaran pada ikan; baik cemaran fisik, kimia ataupun biologi. Cemaran fisik berupa materi asing yang dapat membuat ikan menjadi tidak layak konsumsi. Cemaran kimia pada ikan dapat berupa senyawa anorganik (arsen, cadmium, timbal, merkuri, selenium), senyawa organik (dioksin, insektisida) serta berbagai senyawa lain seperti nitrosamine, antibiotika dan hormon. Sementara cemaran biologi dapat berupa bakteri patogen, virus, dan parasit.
Parasit dan standar keamanan pangan
Keberadaan parasit pada ikan merupakan bagian normal ekosistem sebagian besar perairan. Lebih 50 jenis parasit pada ikan telah diidentifikasi. Beberapa jenis parasit pada ikan dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius, jika tertelan dalam kondisi hidup, atau jika mampu bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia yang mengonsumsi ikan mentah tanpa melalui proses penanganan dan pengolahan yang tepat. Dalam kondisi hidup, cacing dapat menempel di dinding esophagus, lambung, atau usus dan menyebabkan penyakit anisakiasis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jadi, risiko anisakiasis ini berhubungan dengan konsumsi ikan dalam kondisi segar dan mentah, yang mengandung cacing atau telur cacing anisakis. Karena itu, cara terbaik mencegah penyakit anisakiasis adalah dengan menghindari makan ikan segar dan mentah atau kurang matang.
–Anggota Satreskrim memeriksa sejumlah makanan saat razia makanan kedalurwarsa di salah satu pusat perbelanjaan di Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (31/3). Razia tersebut terkait temuan 27 merek ikan kalengan yang positif mengandung parasit cacing oleh BPOM, serta mengantisipasi beredarnya makanan dan minuman kemasan yang rusak dan telah melewati batas kedaluwarsa.–ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/kye/18.
Keamanan pangan merupakan hal yang sangat penting. Karena itu, pengendalian parasit pada ikan untuk mengurangi risikonya terhadap kesehatan terus dilakukan.
Lembaga standar pangan internasional, CODEX Alimentarius Commission (CAC), telah mengembangkan panduan penanganan dan pengolahan sebagai upaya manajemen risiko, khususnya untuk meminimisasi risiko berkaitan dengan parasit tersebut. Salah satu panduan CAC ini adalah Code of Practice For Fish and Fishery Products (CAC/RCP 52-2003). Industri perikanan dan pengolahan ikan komersial perlu mempraktikkan panduan ini dengan disiplin dan bertanggung jawab untuk meminimalisasi risiko parasit.
Namun demikian, karena keberadaan parasit pada ikan ini merupakan bagian normal dari ekosistem sebagian besar perairan, walaupun manajemen risiko dilakukan dengan ketat oleh nelayan, pengumpul dan industri, sulit dijamin bahwa produk ikan tidak akan mengandung parasit. Karena alasan itu, berdasarkan hasil kajian risiko, CODEX Alimentarius Commission telah menetapkan batas toleransi keberadaan parasit pada beberapa produk ikan.
–Salah seorang pegawai menyiapkan sekotak ikan lemuru yang akan dimasukkan ke tempat pendinginan (cold storage) UD Piala Indah di Desa Muncar, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (25/4/2009). Sebagian besar ikan berkualitas unggul diekspor ke Jepang dan Thailand.–Kompas/Aswin Rizal Harahap–
Pada (i) Standard for Quick Frozen Blocks of Fish Fillet, Minced Fish Flesh and Mixtures of Fillets and Minced Fish Flesh (CODEX STAN 165-1989), (ii) Standard for Quick Frozen Fish Fillets (CODEX STAN 190 –1995), dan (iii) Standard for Smoked Fish, Smoke-Flavoured Fish and Smoke-Dried Fish (CODEX STAN 311 – 2013) batas tolerasinya adalah dua parasit per kilogram daging ikan yang dapat dimakan. Untuk ikan yang dikonsumsi dalam bentuk mentah juga dipersyaratkan supaya dibekukan terlebih dulu untuk membunuh parasit, yang harus dilakukan pada (paling tidak) suhu minus 20 derajat Celsius selama tujuh hari, atau pada suhu (paling tidak) minus 35 derajat Celsius selama sekitar 20 jam (CAC/RCP 52-2003).
Ikan mentah yang dipasarkan untuk dimasak lebih lanjut, baik secara komersial (misalnya untuk proses pengalengan) atau rumah tangga, tidak dipersyaratkan untuk dibekukan karena nantinya akan dipanaskan. Pemanasan sampai pusat daging ikan mencapai suhu 70 derajat Celsius selama dua menit akan membunuh parasit. Proses pemasakan umumnya menggunakan suhu lebih tinggi dari 70 derajat Celsius. Proses pengalengan (umumya dilakukan pada suhu 115-121 derajat Celsius, selama 60-150 menit) jelas akan efektif membunuh parasit.
Jika parasit sudah terbunuh karena pembekuan maupun pemanasan, maka tidak lagi punya risiko terhadap kesehatan, kecuali kemungkinan kecil terjadi alergi pada orang yang sensitif. Akan menjadi permasalahan estetika, mengurangi wholesomeness, dan/atau filthy (menjijikkan) jika bahan bakunya tidak memenuhi persyaratan, khususnya jika mengandung lebih dari dua parasit per kilogram.
Kasus di Indonesia
Di Indonesia, kasus parasit ini menjadi “viral” ketika BPOM RI mengumumkan temuan cacing pada ikan makerel kalengan. Upaya BPOM untuk melakukan pengawasan ketat perlu diberi apresiasi. Walaupun tidak merupakan permasalahan keamanan pangan, cacing pada makerel kalengan dianggap oleh BPOM merupakan cacat mutu yang tak dibenarkan, sehingga perlu diambil langkah manajemen risiko, berupa penarikan produk.
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk sarden dan makerel dalam kemasan kaleng (SNI 8222:2016) sebetulnya tidak ada persyaratan mengenai cacing parasit ini. Namun, SNI tersebut menyatakan bahan baku ikan yang diolah, baik dalam bentuk segar atau beku, harus memenuhi persyaratan. Persyaratan bahan baku yang ada adalah SNI ikan segar (SNI 2729:2013) dan ikan beku (SNI 4110:2014). Pada kedua SNI tersebut, ternyata tidak memberikan toleransi terhadap keberadaan parasit pada ikan sama sekali, di mana dipersyaratkan bahwa kandungan parasit cacing adalah nol (0). SNI ini diduga merupakan salah satu landasan BPOM untuk menyatakan bahwa produk tersebut cacat mutu sehingga perlu ditarik.
Ada dua pelajar penting yang dapat diambil dari kasus ini. Pertama mengenai “achievability” suatu standar. Persyaratan kandungan parasit harus nol perlu diperdebatkan kembali. Karena parasit merupakan fenomena ekosistem normal, maka keberadaannya pada ikan adalah lumrah; asalkan sesuai dengan standar toleransi yang ada (misalnya, 2 parasit per kg ikan yang dapat dimakan; sesuai dengan CODEX STAN 165-1989; 190 –1995, dan 311 – 2013).
Penetapan standar yang terlalu ketat dapat berakibat tidak tercapainya tujuan dari penetapan standar itu sendiri; atau jika dipaksakan akan menyebabkan (i) terlalu banyak produk pangan (ikan) terbuang, atau (ii) biaya produksi menjadi terlalu mahal. Dalam hal penetapan standar yang berkenaan dengan fenomena alam, maka perlu ditetapkan adanya toleransi dengan pendekatan ALARA (as low as reasonably achievable). Lebih lanjut, sebagai negara anggota CAC dan khususnya dalam konteks perdagangan internasional, penetapan standar lebih ketat daripada standar CODEX perlu dilengkapi dengan analisis risiko yang memadai. Karena alasan tersebut di atas, maka peninjauan kembali SNI yang berkaitan dengan parasit ikan ini perlu dilakukan.
Kedua, mengenai pentingnya komunikasi risiko. Indonesia menggunakan pendekatan analisis risiko dalam manajemen keamanan pangannya, yang terdiri atas kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Setiap langkah manajemen risiko seyogyakan dilandasi kajian risiko dan disertai rancangan komunikasi risiko yang baik. Komunikasi risiko yang baik akan meningkatkan peluang tercapainya tujuan manajemen risiko, tanpa menimbulkan kehebohan dan biaya yang tidak perlu.
PURWIYATNO HARIYADI,GURU BESAR TEKNOLOGI PANGAN IPB
Sumber: Kompas, 6 April 2018