Bekantan Balikpapan di Era Kota 4.0

- Editor

Rabu, 20 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penggerak konservasi belajar mengedit video untuk konten kanal Youtube-nya demi meluaskan jangkauan kampanye konservasi mangrove. Upaya melek digital sejati yang perlu ditularkan di era masyarakat supercerdas.

Berkemeja hitam berpadu celana panjang warna senada, perawakan kecil Agus Bei nyaris tak terlihat di antara rombongan ibu-ibu yang baru usai berkegiatan di Mangrove Center, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (10/3/2021) sore. Ketika ia menyapa dan mulai berbincang, barulah suara lantang ceplas-ceplosnya membuat semua perhatian terpusat pada pria pelopor kawasan konservasi Mangrove Center Graha Indah di Teluk Balikpapan itu.

Agus yang mengelola konservasi mangrove di lahan seluas 150 hektar selama dua dekade terakhir itu tak pernah merasa puas. Tua-tua keladi. Bagi ayah dua anak berusia 52 tahun ini, tidaklah cukup menguasai teknik menanam mangrove dan pengalaman merehabilitasi area sabuk hijau pesisir yang kritis menjadi rimbun kembali. Beberapa waktu terakhir, ia tak henti belajar sampai mahir mengambil dan mengedit video untuk diunggah di laman Youtube-nya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Saya belajar semuanya. Sendiri,” kata Agus Bei. Tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat, pepatah lawas itu menjadi prinsip hidupnya. Terlebih peraih Kalpataru 2017 ini memiliki pergaulan cukup luas yang membuka wawasan baru, termasuk literasi dan khususnya literasi digital.

Sore itu, kebetulan ada tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur Seksi Konservasi Wilayah II Tenggarong yang hendak melepasliarkan bekantan muda di Mangrove Center. Bekantan berusia sekitar empat tahun itu terpisah dari induknya di polder Air Hitam, Kelurahan Air Hitam, Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Selasa (9/3/2021) siang.

Bekantan muda itu bisa diselamatkan karena warga urban setempat yang sudah cukup terbiasa berinteraksi dengan satwa liar segera menghubungi Samarinda Animal Rescue (SAR). Setelah ditangkap SAR, bekantan itu diserahkan kepada BKSDA terdekat yang langsung mencarikan tempat terbaik bagi monyet berhidung panjang dan berbulu coklat kemerahan yang biasa hidup di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai itu.

Agus Bei dengan senang hati meluluskan permintaan BKSDA tersebut. Mangrove Center telah menjadi habibat bekantan sejak lama. Kawasan mangrove rimbun di tepian kepadatan Balikpapan telah menjadi oase bagi warga kota, selain bagi berbagai satwa liar di sana.

Dibantu sukarelawan di Mangrove Center, rangkaian kedatangan bekantan selama perjalanan menuju lokasi bakal habitat dan saat pelepasliaran direkam. Pada Kamis (11/3/2021) dini hari, video pelepasliaran hasil editan Agus Bei yang terlihat cukup profesional itu sudah bisa dinikmati di semua media sosialnya, termasuk Instagram @gus.bei.

Di kanal Youtube-nya, Agus Bei cukup banyak mengunggah serba-serbi merawat dan mengelola mangrove. Sebuah edukasi sekaligus hiburan bermutu yang bisa menjangkau siapa pun secara gratis. Agus sendiri senang karena berbagi ilmu ternyata tidaklah sulit meskipun berbagai aktivitas publik serba dibatasi di masa pandemi.

Bagi dia, ini adalah bagian dari kampanye tak henti tentang pentingnya mangrove. ”Lebih baik menjaga mangrove yang ada dan menambahnya daripada merusaknya. Nanti butuh biaya berkali-kali lipat untuk menggantinya. Kalau ada sabuk mangrove, pesisir terjaga. Manusia dan satwa terlindungi, ekosistemnya bagus,” katanya.

Era Revolusi 4.0 dan Society 5.0
Menguasai teknologi di masa sekarang ini telah menjadi keharusan. Penyebabnya, kita sekarang hidup di era Revolusi Industri 4.0 dan juga era masyarakat supercerdas 5.0.

Istilah Revolusi Industri 4.0 muncul pertama kali dalam Hannover Messe Trade Fair di Jerman pada 2011. Jejak awal Revolusi 4.0 sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Tagline 4.0 mengedepankan otomatisasi dan internet untuk optimalisasi proses industri. Sempat muncul kekhawatiran bahwa tenaga manusia bakal tergantikan mesin atau robot.

Meskipun demikian, sejatinya Revolusi 4.0 bukan sekadar soal teknologi. Dalam arti yang lebih mendasar, manusia-manusia zaman now justru harus bisa lebih unggul dalam memecahkan masalah yang kompleks.

Untuk itu, wajib memiliki kemampuan memahami sesuatu dan berpikir kritis. Biar makin mumpuni, perlu keterampilan berkomunikasi luwes dan mudah dipahami orang lain, berempati, memiliki pola pikir yang berkembang, serta adaptif. Singkatnya, manusia harus memakai akal serta budi yang tidak dimiliki mesin dan mengoptimalkannya demi keberlanjutan manusia itu sendiri.

Semangat itu membuat semua negara sampai pemerintah daerah mengadopsi esensi Revolusi 4.0. Muncullah istilah, antara lain, pemerintahan era 4.0 atau Kota 4.0 yang berupaya menyinergikan program kerja yang transparan dan melayani publik berbasis teknologi.

Tren kota cerdas sebenarnya tidak lepas dari Kota 4.0. Mimpinya adalah membuat layanan publik makin menjangkau masyarakat luas dengan teknologi dan di sisi lain membuat orang-orang yang menyandang predikat pelayan masyarakat makin mudah bertugas karena telah mengantongi data warga secara detail. Masyarakat juga kian berdaya karena memiliki kemampuan dan peran yang spesifik berkat mudahnya menjangkau pendidikan serta hak dasar lain.

Perkembangan Revolusi 4.0 seirama dengan masyarakat supercerdas (Society 5.0) yang pertama kali dicetuskan oleh Jepang. Istilah ini mengacu pada gagasan bahwa Masyarakat 5.0 adalah tahapan teranyar dari fase Masyarakat 1.0 (pemburu-pengumpul), Masyarakat 2.0 (pertanian), Masyarakat 3.0 (industri), dan Masyarakat 4.0 (informasi). Masyarakat 5.0 membayangkan sistem sosio-ekonomi inklusif berkelanjutan, didukung teknologi digital, seperti analitik mahadata, kecerdasan buatan (AI), internet untuk segala, dan robotika.

Masyarakat 5.0 menjadi andalan untuk mengatasi tantangan sosial kronis, seperti populasi yang menua, polarisasi sosial, termasuk banyak masalah terkait energi dan lingkungan.

Lalu, bagaimana dengan kita? Indonesia dan kota-kota di Nusantara telah berupaya mengikuti perkembangan dunia. Namun, ada pekerjaan rumah menumpuk yang belum bisa diatasi. Tingkat literasi atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup di negeri ini masih rendah. Tanpa meningkatkan literasi, penguasaan teknologi dan bisa memanfaatkannya dengan baik hanya jadi angan semata.

World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyatakan, Indonesia ada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Survei Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) yang dilakukan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta (2020), hasil pengukuran TGM nonbuku di DKI Jakarta, diperoleh skor 71,39 dan masuk kategori pembaca tinggi. Bacaan nonbuku yang paling digemari adalah artikel daring di media sosial.

Meskipun terbiasa mengakses informasi melalui perangkat elektronik, ternyata Digital Index Civility yang baru saja dirilis Microsoft pada 16.000 responden di 32 negara pada April-Mei 2020 menunjukkan, Indonesia ada pada peringkat ke-29 dengan skor 76. Semakin tinggi skor semakin rendah indeks keadaban digital. Jadi, tidak heran jika warganet Nusantara disebut paling tidak beradab, penyuka hoaks, dan menjadi sasaran empuk bagi para pendengung dengan agenda-agendanya sendiri.

Belum sentuh isu krusial
Di tengah maraknya kota-kota menerapkan berbagai teknologi dalam program pembangunannya, hal mendasar mendidik dan mendampingi warga bertransformasi menjadi masyarakat digital yang baik saja belum tercapai. Di sisi lain, program-program kota cerdas yang sudah sekitar 10 tahun banyak diterapkan di daerah di Indonesia juga belum berbuah manis.

Dari Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 yang dilakukan oleh Litbang Kompas, masing-masing tiga pemenang dari kategori kota kecil, sedang, besar, dan metropolitan memperoleh skor 51-67 dari skala nilai 1-100. Mudah disimpulkan bahwa kota-kota terbaik saja masih baru separuh lebih sedikit dalam mencapai target menjadi kota cerdas dilihat dari dimensi ekonomi, lingkungan, pemerintah, kualitas hidup, mobilitas, dan masyarakat.

Berkaca dari yang dilakukan Agus Bei dan masyarakat yang menyelamatkan bekantan muda di Air Hitam, memang dibutuhkan pula kesadaran individual untuk mengungkit ketertinggalan tingkat literasi. Namun, sebagian masyarakat tidak memiliki jejaring dan akses ke sana. Lagi-lagi, peran pemerintah diperlukan untuk benar-benar menyentuh dan menyelesaikan pekerjaan rumah itu.

Di tataran berbeda, kota cerdas selayaknya membuat kota makin mudah mendeteksi berbagai ketimpangan sosial ataupun kerusakan lingkungan. Dengan pendekatan data dan riset yang terjadi di Mangrove Center selama 20 tahun terakhir, misalnya, seharusnya menjadi lebih mudah mereplikasi upaya rehabilitasi kawasan pesisir di Balikpapan dan daerah lain di Indonesia.

Data Kementerian Dalam Negeri, Indonesia memiliki 416 kabupaten dan 98 kota. Yang tidak memiliki garis pantai hanya 131 kabupaten dan 32 kota atau lebih dari 60 persen wilayah dari Sabang sampai Merauke berbatasan dengan laut. Sebagian besar kabupaten, realitas di lapangan, sudah pula bertransformasi sebagai kota karena perlahan telah meninggalkan sifat kependudukan agraris yang menjadi ciri perdesaan.

Di area perkotaan yang selalu berkembang itu, dari berbagai pemberitaan, termasuk dari Kompas, kerusakan demi kerusakan terjadi di ujung barat hingga ujung timur Indonesia.

Jadi, bagian arus Revolusi 4.0 atau Masyarakat 5.0 dan menungganginya sebagai motor penggerak pembangunan kawasan tentu tidak salah karena itu bagian dari cara kita memanfaatkan perubahan global. Akan tetapi, target yang hendak dicapai perlu diperluas dan diperjelas. Manfaatnya akan semakin besar jika dimaksimalkan juga demi mengatasi masalah krusial yang menyentuh harkat hidup orang banyak dan demi keberlanjutan kita semua.

Oleh NELI TRIANA

Editor: GESIT ARIYANTO

Sumber: Kompas, 13 Maret 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB