Nadiem Anwar Makarim kini memimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selain pendidikan hingga kebudayaan, kompleksitas permasalahan penelitian dan inovasi membutuhkan penanganan yang tepat.
Presiden Joko Widodo melantik Nadiem Anwar Makarim yang sebelumnya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Rabu (28/4/2021), di Jakarta. Keputusan tentang pengangkatan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Pembentukan dan Pengupahan Kementerian serta Pengangkatan Beberapa Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim dalam sambutan mengucapkan terima kasih kepada Presiden. Dia mengatakan, riset dan teknologi sudah ia tekuni sebelum ditunjuk menjadi Mendikbud. Pengangkatan dirinya sebagai Mendikbud Ristek akan dia manfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan inovasi perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Riset hingga transformasi pendidikan tinggi akan berada di bawah satu kementerian sehingga lebih mudah koordinasi. Saya akan mengerjakan sebaik mungkin dengan hati nurani yang tulus,” ujarnya.
Nadiem menyampaikan, pihaknya siap berkolaborasi dengan Badan Riset dan Teknologi Inovasi (BRIN). Kebijakan Kampus Merdeka hingga link and match akan terus dijalankan.
Menanggapi pelantikan itu, Ketua Forum Rektor Indonesia Arif Satria saat dihubungi terpisah menyebutkan, ada tiga hal yang mendesak dilakukan pemerintah. Pertama, Indonesia memerlukan desain peta jalan riset yang komprehensif dengan sinergi lembaga riset pemerintah, lembaga riset swasta, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Hal tersebut sudah termasuk pembagian peran pengembangan riset dasar dan terapan.
Riset terapan pun perlu dipertajam lagi dengan riset untuk menghasilkan teknologi tinggi dan tepat guna. Peta jalan harus disusun dengan mempertimbangkan tren revolusi industri 4.0, SDGs, dan prioritas sektor pembangunan ekonomi. Sebagai contoh, riset agromaritim untuk biomaterial alternatif didorong untuk subtitusi impor.
”Kemendikbud Ristek dan BRIN harus bersinergi untuk memastikan payung riset bersama yang menjadi acuan riset di perguruan tinggi sehingga riset lebih terarah,” ujarnya.
Hal ketiga yang mendesak dimiliki Indonesia adalah integrasi antara agenda riset perguruan tinggi dan organisasi lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian dan lembaga riset di bawah koordinasi BRIN, yang diikuti dengan resources sharing antarlembaga, termasuk akses fasilitas laboratorium. Di Belanda, misalnya, lembaga riset kampus dan litbang kementerian sudah semakin terintegrasi.
Pemerhati pendidikan dari Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa, Darmaningtyas, mengkhawatirkan kelanjutan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi jika Kementerian Riset dan Teknologi dibubarkan. Kurun waktu 3,5 tahun untuk mengubah sampai mematangkan rencana strategis sebuah organisasi kementerian (nomenklatur) tentu tidak mudah.
”Potensi pemborosan anggaran seperti itu semestinya tidak perlu terjadi selama pandemi Covid-19,” katanya.
SCREENSHOT VIDEO REKAMAN SEKRETARIAT PRESIDEN—Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim memberikan keterangan pers seusai dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/04/2021). Berdiri di sebelah kanan dan kiri adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia serta Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko.
Kebijakan kontroversial
Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia ( JSDI) Muhammad Ramli Rahim berpendapat, beban kerja Kemendikbud selama ini sudah berat karena menangani tantangan pendidikan dasar, menengah, tinggi, sampai isu-isu lainnya yang berhubungan dengan perkembangan edukasi anak. Kini, Kemendikbud harus ditambah urusan riset dan teknologi yang tidak mudah ditangani.
Ditambah lagi, dia menilai, selama kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim, Kemendikbud kerap mengeluarkan kebijakan yang kontroversial ataupun paradoks bagi masyarakat yang sering diikuti dengan klasifikasi dan revisi.
Sebagai contoh, Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud sempat mengundang polemik dari organisasi masyarakat pendidikan tahun 2020. Hasil kajian dan evaluasi telah disetor oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud, tetapi dia mengamati tidak ada perubahan signifikan.
”Gebrakan dan perubahan yang ditawarkan seolah ’baru’, tetapi kenyatannya program pendidikan belum bertumpu pada kebutuhan kontekstual pendidikan Indonesia. Kebijakan Merdeka Belajar, sekalipun diklaim baru, kami melihatnya bukanlah hal baru,” kata Ramli.
Contoh kebijakan lainnya ialah program Guru Penggerak. Menurut dia, program ini bukan sesuatu yang baru. Mekanisme pengimbasan hasil pendampingan peserta program kepada guru lain pernah dilakukan pada pemerintahan terdahulu. Organisasi guru, seperti Ikatan Guru Indonesia, pun pernah mempunyai program serupa tanpa bergantung pada anggaran pemerintah.
Sebelumnya, penasihat di Centre for Innovation Policy and Governance dan Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Yanuar Nugroho, mengatakan, dari aspek tata kelola kebijakan publik, struktur organisasi Kemendikbud telah mempunyai direktorat jenderal sebagai pelaksana kebijakan. Apabila mau dibentuk direktorat jenderal untuk mengimplementasi kebijakan di fungsi ristek dalam kementerian baru, hal itu bertabrakan dengan fungsi BRIN yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan.
”Idealnya, Kemendikbud Ristek (kementerian penggabungan) hanya berperan sebagai perumus kebijakan, sementara pelaksana kebijakan ada di BRIN,” ujarnya.
Perlu sinergi
Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Pranoto menyampaikan, tantangan penggabungan Kemendikbud dan Ristek adalah menerjemahkan kebijakan pendidikan, riset, dan teknologi hingga sampai dapat terealisasi. Strategi setiap sektor dan tataran dalam kementerian itu harus menunjang gagasan besar yang sama.
”Misalnya, kurikulum sekolah dasar sampai sekolah menengah atas seperti apa yang mendukung strategi pendidikan tinggi serta riset dan teknologi,” ujar Iwan.
Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi harus disinergikan dengan fungsi Kemendikbud Ristek ke depan. Menurut dia, fungsi Ristek dari Kemristek tidak boleh ngotot dengan tidak mau melihat cakrawala yang lebih luas. ”Resources Indonesia terbatas sehingga perlu terpadu dan bersinergi. Tidak lari sendiri-sendiri,” katanya.
Mengawal bersama ke depan
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brojonegoro memandang, secara substansi, penggabungan Kemendikbud dan Kemristek tidak bermasalah. Selama ini, perguruan tinggi telah memperoleh dana penelitian dari Kemristek. Dengan penggabungan ini, urusan itu menjadi semakin dimudahkan.
”Penggabungan ini (Kemendikbud dengan Kemristek) merupakan masalah biasa di pemerintahan. Tidak ada isu besar dan hal seperti ini merupakan sesuatu yang pernah bangsa Indonesia tempuh,” ujarnya.
Satryo menyampaikan, hal terpenting sekarang adalah mengawal proses administratif pascapenggabungan. Selain itu, masyarakat perlu mengawal proses tata kelola dan penganggaran ke depan.
Oleh MEDIANA
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 29 April 2021