Sejak tiga tahun terakhir, peluang mendapatkan beasiswa ke luar negeri kian terbuka lebar. Setiap tahun tersedia sekitar 1.000 beasiswa bagi mahasiswa S-2 dan S-3 universitas negeri dan swasta. Syaratnya sederhana, bisa berbahasa asing!
Demikian penegasan Widyastuti Purbani, Kepala Kantor Internasional Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pertengahan April di Yogyakarta. Menurut Widyastuti, dari 1.000 beasiswa yang disiapkan pemerintah, hanya sekitar 50 persen yang terserap.
”Kemampuan berbahasa menjadi kendala terbesar. Keterampilan berbahasa sepertinya hal sepele, tetapi justru lewat kemampuan berkomunikasi inilah proses transfer ilmu pengetahuan bisa dilakukan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menguasai bahasa asing, mahasiswa atau dosen yang berminat belajar ke luar negeri dengan fasilitas beasiswa wajib menguasai TOEFL dengan skor minimal 550 serta mengantongi nilai indeks prestasi kumulatif rata-rata 3,0. Adapun persyaratan lain hanyalah kelengkapan administratif ditambah beberapa pertanyaan mendasar, seperti tujuan dan motivasi belajar ke luar negeri serta alasan pemilihan negara tujuan.
Tak hanya pemerintah, agen-agen beasiswa luar negeri pun bergairah memberikan beasiswa bagi para mahasiswa ataupun dosen Indonesia. Beberapa agen beasiswa luar negeri yang membuka program beasiswa, antara lain, Australian Development Scholarships (ADS) dari Australia, Fulbright Scholarships dari Amerika Serikat, dan Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) dari Jerman.
”Setiap tahun agen-agen beasiswa luar negeri selalu membuka kesempatan bagi mahasiswa atau dosen yang ingin mengenyam pendidikan ke luar negeri gratis (beasiswa). ADS sendiri menyiapkan sekitar 300 beasiswa, Fulbright Scholarships sekitar 100 beasiswa, dan DAAD sekitar 50 beasiswa,” kata Widyastuti.
Khusus untuk beasiswa luar negeri, calon penerima beasiswa wajib mendapatkan surat penerimaan (letter of acceptance/LOA) dari universitas tujuan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kesempatan tersebut, calon penerima beasiswa harus mampu berkomunikasi dan memiliki jaringan yang kuat dengan para pengajar di universitas tujuan.
Memperkuat jaringan
Lobi dan memperkuat jaringan komunikasi dengan sejumlah universitas di luar negeri telah dilakukan Widyastuti. Tidak heran, gelar Master of Literary Studies pun ia raih di Universitas Deakin, Melbourne, Australia. Lewat beasiswa Fulbright, ia juga pernah mengenyam summer course di beberapa negara bagian AS, seperti di Illinois, New York, dan Colorado.
Ketika jaringan ke luar negeri semakin kuat, terjadilah proses transfer ilmu pengetahuan yang timbal balik antara sivitas akademika dalam negeri dan luar negeri. Widyastuti, yang secara khusus menggeluti ilmu sastra, berulang kali diundang ke luar negeri untuk mengisi seminar internasional.
”Juni nanti saya memberikan presentasi dalam Conference of Children’s Literature Association di Virginia, AS. Sebelumnya, saya juga pernah memberikan presentasi ke beberapa kota lain, seperti Melbourne, Australia; Bangkok, Thailand; dan Illionis, AS,” paparnya.
Widyastuti mengungkapkan, belajar di luar negeri memiliki nilai lebih. Sebab, universitas di negara maju selalu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu terbaru, memiliki iklim akademik yang kondusif, serta fasilitas perpustakaan yang lengkap.
”Di beberapa negara maju, riset dan penelitian sudah menjadi bagian hidup. Selain itu, pola hubungan antara dosen dan mahasiswa setara. Dosen benar-benar menjadi pelayan sehingga proses transfer ilmu benar-benar terjadi,” ucapnya.
Terlepas dari hal itu, menurut Widyastuti, kini kebutuhan dosen-dosen S-3 segar di setiap universitas semakin mendesak. Setiap universitas menargetkan minimal 75 persen dosennya adalah lulusan S-3.
”Sekarang tidak ada lagi alasan untuk tidak berwawasan internasional. Kesempatan belajar ke luar negeri terbuka lebar. Jangan sampai kita menjadi katak dalam tempurung,” ungkapnya.
Penulis: Aloysius B Kurniawan
Sumber: Kompas-Ekstra, Edisi Mei – Juni 2011