Beasiswa Luar Negeri; Widyastuti Purbani: Jangan Jadi Katak Dalam Tempurung

- Editor

Jumat, 20 Mei 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejak tiga tahun terakhir, peluang mendapatkan beasiswa ke luar negeri kian terbuka lebar. Setiap tahun tersedia  sekitar 1.000 beasiswa  bagi mahasiswa S-2 dan S-3 universitas negeri dan swasta. Syaratnya sederhana, bisa berbahasa asing!

Demikian penegasan Widyastuti Purbani, Kepala Kantor Internasional Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pertengahan April di Yogyakarta. Menurut Widyastuti, dari 1.000 beasiswa yang disiapkan pemerintah, hanya sekitar 50 persen  yang terserap.

”Kemampuan berbahasa menjadi kendala terbesar. Keterampilan berbahasa sepertinya hal sepele, tetapi justru lewat kemampuan berkomunikasi inilah proses transfer ilmu pengetahuan bisa dilakukan,” ucapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain menguasai bahasa asing, mahasiswa atau dosen yang berminat belajar ke luar negeri dengan fasilitas beasiswa wajib menguasai TOEFL dengan skor minimal 550 serta mengantongi nilai indeks prestasi kumulatif  rata-rata 3,0. Adapun persyaratan lain hanyalah kelengkapan administratif ditambah beberapa pertanyaan mendasar, seperti  tujuan dan motivasi belajar ke luar negeri serta alasan pemilihan negara tujuan.

Tak hanya pemerintah, agen-agen beasiswa luar negeri pun bergairah memberikan beasiswa bagi para mahasiswa ataupun dosen Indonesia. Beberapa agen beasiswa luar negeri yang membuka program beasiswa, antara lain, Australian Development Scholarships (ADS) dari Australia, Fulbright Scholarships dari Amerika Serikat, dan Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) dari Jerman.

”Setiap tahun agen-agen beasiswa luar negeri selalu membuka kesempatan bagi mahasiswa atau dosen yang ingin mengenyam pendidikan ke luar negeri gratis (beasiswa). ADS sendiri menyiapkan sekitar 300 beasiswa, Fulbright Scholarships sekitar 100 beasiswa, dan DAAD sekitar 50 beasiswa,” kata Widyastuti.

Khusus untuk beasiswa luar negeri, calon penerima beasiswa wajib mendapatkan surat penerimaan (letter of acceptance/LOA) dari universitas tujuan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kesempatan tersebut,  calon penerima beasiswa  harus mampu berkomunikasi dan memiliki jaringan yang kuat dengan para pengajar di universitas tujuan.

Memperkuat jaringan

Lobi dan memperkuat  jaringan komunikasi dengan sejumlah universitas di luar negeri telah dilakukan Widyastuti. Tidak heran, gelar Master of Literary Studies pun ia raih di Universitas Deakin, Melbourne, Australia. Lewat beasiswa Fulbright, ia juga pernah mengenyam summer course di beberapa negara bagian AS, seperti di Illinois, New York, dan Colorado.

Ketika jaringan ke luar negeri semakin kuat, terjadilah proses transfer ilmu pengetahuan yang timbal balik antara sivitas akademika dalam negeri dan luar negeri. Widyastuti, yang secara khusus menggeluti ilmu sastra, berulang kali diundang ke luar negeri untuk mengisi seminar internasional.

”Juni nanti saya memberikan presentasi dalam Conference of Children’s Literature Association di Virginia, AS. Sebelumnya, saya juga pernah memberikan presentasi ke beberapa kota lain, seperti Melbourne, Australia; Bangkok, Thailand; dan Illionis, AS,” paparnya.

Widyastuti mengungkapkan, belajar di luar negeri memiliki nilai lebih. Sebab, universitas di negara maju selalu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu terbaru, memiliki iklim akademik yang kondusif, serta fasilitas perpustakaan yang lengkap.

”Di beberapa negara maju, riset dan penelitian sudah menjadi bagian hidup. Selain itu, pola hubungan antara dosen dan mahasiswa setara. Dosen benar-benar menjadi pelayan sehingga proses transfer ilmu benar-benar terjadi,” ucapnya.

Terlepas dari hal itu, menurut Widyastuti, kini kebutuhan dosen-dosen S-3 segar di setiap universitas semakin mendesak. Setiap universitas menargetkan minimal 75 persen dosennya adalah lulusan S-3.

”Sekarang tidak ada lagi alasan untuk tidak berwawasan internasional. Kesempatan belajar ke luar negeri terbuka lebar. Jangan sampai kita menjadi katak dalam tempurung,” ungkapnya.

Penulis: Aloysius B Kurniawan

Sumber: Kompas-Ekstra, Edisi Mei – Juni 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB