SETELAH musim kemarau berkepanjangan, hujan selalu dinanti-nantikan. Peristiwa hujan sebenarnya menyangkut masalah kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif berarti, kalau kebanyakan bisa banjir, dan terlalu sedikit tidak cukup untuk bercocok tanam,
Untuk kualitas, ditentukan melalui pH air hujan. Mungkin masih segar dalam ingatan, hujan asam yang terjadi di Eropa Barat dan Amenka yang mengakibatkan tercemarnya ribuan hektar danau sehingga ikan-ikan musnah, rusaknya berbagai bangunan akibat pelapukan, serta rusaknya ribuan hektar kawasan hutan pinus di Skandmavia.
Hujan asam adalah akibat penurunan kualitas air hujan. Keasaman ini dapat dipantau dan dideteksi dari contoh air hujan. Hujan asam telah terjadi sejak abad XVIII, bermula dari meletusnya revolusi industry. Hasil kegiatan industri berupa gas buangan ke atmosfer terutama yang berasal dari bahan bakar fosil seperti NO, S02, CO, C02 –ternyata bersenyawa dengan oksigen di udara dan jatuh kembali ke bumi sebagai hujan asam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tingkat keasaman air hujan dapat mempengaruhi apa saja yang ada di muka bumi. Seperti air cuka atau air aki, maka hujan asam yang menetesi permukaan kain, logam dan kayu mempercepat pelapukan.
Tergantung oksida
Tinggi rendahnya tingkat keasaman air hujan, tergantung sedikit banyaknya oksida-oksida asam di udara. Jika oksida asam di udara in meningkat, garam-garam yang terlarut bersama air hujan manmade lebih banyak mengakibatkan hujan bersifat makin asam.
Tingkat keasaman air, lazim dinyatakan dengan criteria pH, yakni harga negative logaritma ion H+ dalam air, di mana nilai pH normal berkisar antara 6-7. Jika pH lebih besar dari 7, berarti air bersifat basa. Jika pH makin kecil, kurang dari 6 air bersifat remaking asam. Namun kriteria ini tidak berlaku bagi hujan asam.
Berdasar kesepakatan dari Badan Meteorologi International (BMI), hujan asam mempunya tolok ukur pH yang lebih rendah, yakni 6,6. Pada nilai pH yang lebih kecil 6 air hujan baru disebut bersifat asam.
Air hujan ber-pH rendah dapat merusak bangunan karena korosi, sedang pada tanaman dapat mempengaruhi keseimbangan buffer. Bila kesetimbangan itu terpengaruh, penyerapan air oleh akar tanaman akan terganggu.
Kalau sudah begini, muncul pertanyaan: Mungkinkah hujan asam terjadi di Indonesia?
Mengambil sampel
Pengambilan contoh air hujan bisa dilakukan dangan cara sederhana. Misalnya ditampung di sebuah botol bersih yang dilengkapi corong plastik dan dipasang di tempat terbuka. Kemudian botol contoh air hujan itu ditutup rapat-rapat.
Penelitian kualitas air hujan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), dilakukan dengan alat penampung contoh air hujan otomatis (automatic rain gauge). Alat ini membuka secara otomatis setiap terjadi hujan dan menutup setelah hujan reda, karena ada sensor dalam sistem peralatannya.
Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kontaminasi debu-debu di udara tarhadap contoh air hujan yang tertampung. Dari contoh air hujan yang diperoleh, dilakukan analisa pH dengan pH meter.
Laju perkembangan teknologi di berbagai negara berkembang dewasa ini, membuat semakin banyak gas-gas buangan di udara. Dapat dipastikan, akan muncul dampak negatif terhadap lingkungan yang serius, baik secara regional maupun global.
Jadi sorotan
Saat ini, penumpukan gas-gas buangan di atmosfer sudah menjadi sorotan badan-badan internasional, termasuk BMI. Bekerja sama dengan negara-negara anggotanya, didirikan jaring-jaring stasiun pengamat yang tersebar di seluruh bumi.
Kini lebih dari 102 buah stasiun, terdiri atas stasiun regional yang mengawasi rata-rata suatu daerah, stasiun benua yang mengawasi sebagian atau seluruh benua , dan stasiun dasar yang mengawasi pencemaran secara global.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sebagai salad sate anggota BMI, juga memonitor masalah keasaman air hujan di berbagai kota besar di Indonesia. BMG terus mengadakan pengamatan terhadap air hujan di Jakarta, dan beberapa daerah di luar Jawa.
Dari berbagai penelitian yang dimulai sejak 1981 diketahui tingkat keasaman air hujan Jakarta (nilai pH umumnya ) di atas 6,3. Namun tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, bahkan untuk tahun 1985 nilai pH mencapai kisaran 5,4 hingga 5,5.
Tahun 1986 hingga tahun 1990 nilai pH berfluktuasi, juga tahun 1991-1994. Namun yang pasti nilai pH cenderung dalam katagori hujan asam. Penyumbang utama pH air hujan yang rendah di Jakarta in adalah ion nitrat.
Ion-ion itu terutama dihasilkan dari transportasi, sebagai basil pembakaran minyak/bensin. Bensin merupakan senyawa hidrokarbon dengan rumus kimia CxHy, di mana salah satu sumber hidrokarbon adalah minyak bumi.
Telah lama diketahui,udara yang kita hisap tiap hari mengandung 78 persen nitrogen (N2) sebagai persentase terbesar, dan 21 persen oksigen (O2). N2 dan O2 bersama-sama dapat bereaksi karena
pengaruh sinar matahari menjadi 2NO. Selain itu CxHy yang bereaksi dengan oksigen di udara akan membentuk karbon dioksida (C02) dan air (H2O).
Total dari reaksi-reaksi itu CxHy + udara, akan menjadi CO2 + H2O + 2NO. Kemudian NO + oksigen melalui proses fotosintesis akan membentuk NO2. Selanjutnya NO2 yang tersapu air hujan akan membentuk asam nitrat dengan rumus kimianya HNO3.
Jaring-jaring pemantau
Untuk memperoleh gambaran tingkat pencemaran yang sudah ada dan penyebaran polutan yang dihasiikan akibat laju perkembangan industri maupun transportasi, BMG telah mengembangkan jarring-jaring stasiun pemantau air hujan yang tersebar di wilayah nusantara.
Dari data yang terkumpul terIihat, nilai pH umumnya berfluktuasi naik turun dari waktu ke waktu. Analisis derajat keasaman menunjukkan hasil yang kadangkala di atas atau di bawah kriteria hujan asam yang 5,6.
Nilai mininum tampak pada tabel tahun 1994 yang secara menyeluruh nilainya di bawah 5,6. Bahkan pada beberapa stasiun pemantau, nilainya jauh di bawah standar hujan asam yang disepakati. Dari sini dapat disimpulkan, beberapa kota besar Indonesia mulai terguyur hujan asam.
Untuk mangatasinya, terpulang pada penanggulangan pencemaran dari indus tri dan transportasi. Rusaknya ekosistem bisa teratasi jika setiap individu dan segala bentuk perusahaan yang ada mematuhi dan merealisasi segala peraturan yang ada.
Trioyono Abas, Staf Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta
Sumber: Kompas, 2 Februari 1995