Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Kamis (28/6/2018), menginstruksikan agar seluruh ikan arapaima peliharaan segera dimusnahkan untuk menghindari pelepasliaran ke alam liar oleh pihak tak bertanggung jawab. Ikan eksotis karnivora ini bisa jadi predator puncak pada perairan darat bila terlepas ke alam, sehingga membahayakan sumber daya ikan lokal dan endemis.
Petugas Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan 30 ekor ikan arapaima (Arapaima gigas) peliharaan di dua kolam terpisah di Sidoarjo, Jawa Timur. Ikan-ikan berukuran panjang 2-4,5 meter ini diketahui petugas saat menginvestigasi kasus pelepasan 8 ekor ikan arapaima di Kali Brebes.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Ikan arapaima (Arapaima gigas) ini dipelihara di kolam galeri Gedung Mina Bahari IV Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta. Ikan invasif ini disita petugas karantina tahun 2016 saat akan dibawa masuk ke Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Saat itu petugas menyita dua ekor arapaima yang salah satunya mati. Ikan arapaima yang hidup dipelihara di galeri KKP sebagai sarana edukasi kepada masyarakat akan bahaya ikan invasif asal Sungai Amazone, Amerika Selatan ini.–Foto diambil Kamis (28/6/2018) di galeri Gedung Mina Bahari IV KKP, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus itu bermula dari video pelepasan ikan arapaima yang diunggah di media sosial. Saat dikritik, pemilik mengatakan telah berkonsultasi dengan aparat serta tindakannya tidak salah. Namun hal ini dibantah KKP. “Pemilik itu bukan orang amatir dan pasti tahu ikan arapaima dilarang dilepaskan ke perairan,” kata Menteri Susi Pudjiastuti, dalam konferensi video dari Pangandaran, Jawa Barat.
Jangankan dilepaskan, pemeliharaan ikan itu pun dilarang kecuali dengan izin dan pengawasan khusus. Pemilik wajib melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan KKP terdekat. Pemeliharaan wajib memakai akuarium atau kolam tersertifikasi untuk mencegah perbanyakan dan penularan penyakit.
Susi memerintahkan agar masyarakat yang hobi memelihara ikan hias dan telanjur memelihara ikan ini untuk segera melaporkan ke BKSDA atau KKP. Ia meminta aparatnya tak memberikan sanksi bagi warga yang berinisiatif melaporkan dan menyerahkan koleksi ikan invasif peliharaan.
Ia pun meminta kepada aparatnya untuk memusnahkan ikan-ikan itu agar tak berisiko terlepas atau dilepas ke perairan oleh pihak tak bertanggung jawab. “Kalau barang bukti foto dan video sudah ada, minta ketetapan hukum untuk dimusnahkan. Harus dimusnahkan, jangan dipelihara, takut dipindahtangankan nanti hilang lagi dilepas lagi,” ujarnya.
Kalau barang bukti foto dan video sudah ada, minta ketetapan hukum untuk dimusnahkan. Harus dimusnahkan, jangan dipelihara, takut dipindahtangankan nanti hilang lagi dilepas lagi.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Kamis (28/6/2018) melalui konferensi video dari Pangandaran, Jawa Barat, memberi keterangan pers terkait kasus pelepasan delapan ikan arapaima (Arapaima gigas) di Sungai Brantas Jawa Timur. Pelaku dijerat UU Perikanan. Ikan arapaima tergolong ikan invasif yang dilarang masuk dan dipelihara di Indonesia.
Kuantitas pakan
Pada tahun 2016, Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan KKP menyita dua ekor arapaima berukuran 1,2 meter yang hendak dibawa masuk ke Indonesia melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta. Satu ekor mati dan seekor lagi dipelihara di galeri Gedung Mina Bahari IV, Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai bahan edukasi kepada pengunjung.
Kepala BKIPM Rina mengatakan dalam dua tahun, ikan itu kini memiliki panjang 2 meter. Dalam satu hari, ikan itu memangsa 5 kilogram lele atau 5 ekor ayam. Tingginya biaya pakan ini diduga jadi alasan pelaku melepasnya ke alam.
Selain itu, dengan kuantitas pakan amat tinggi ini, bila berada di perairan darat, ikan asal Sungai Amazone, Amerika Selatan, ini membahayakan populasi ikan air tawar lokal atau endemis setempat. Ikan ini memiliki cara makan dengan cara menyedot target ke dalam mulut.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nilanto Prabowo mengatakan, sampai kini ikan ini belum bisa dibudidayakan (artificial breeding). Namun, itu dipastikan tak melemahkan pengawasan. Ia meminta warga untuk menginfokan pihak-pihak di sekitar rumah atau kantor yang masih memelihara ikan ini.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Rina (kanan) dan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo, Kamis (28/6/2018) di Jakarta, memberi keterangan pers terkait kasus pelepasan delapan ikan arapaima (Arapaima gigas) di Sungai Brantas Jawa Timur. Pelaku dijerat UU Perikanan. Ikan arapaima tergolong ikan invasif yang dilarang masuk dan dipelihara di Indonesia.
Dilarang masuk ke Indonesia
Ikan tersebut dilarang masuk ke Indonesia maupun dilepas ke alam dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014. Aturan-aturan sebelumnya yakni Keputusan Menteri Pertanian tahun 1982 dan Permen KP Nomor 14 Tahun 2009 belum melarang ikan ini masuk ke Tanah Air.
Secara terpisah, peneliti ikan pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Renny Kurnia Hadiaty mengatakan keberadaan ikan arapaima di perairan darat memberi tekanan kepada populasi ikan lokal atau endemis. “Masih banyak ikan air tawar belum dikenal dan kondisinya terancam alih fungsi serta aktivitas yang mencemari perairan. Kalau ada ikan invasif, akan semakin tertekan,” ujarnya.
Masih banyak ikan air tawar belum dikenal dan kondisinya terancam alih fungsi serta aktivitas yang mencemari perairan. Kalau ada ikan invasif, akan semakin tertekan.
Ia mendukung langkah Menteri Susi untuk segera memusnahkan ikan arapaima – maupun ikan invasif lain seperti alligator dan ikan piranha – hasil sitaan maupun serahan warga. Ikan ini di habitat aslinya terancam punah karena penangkapan di alam untuk diperjualbelikan maupun dikonsumsi masyarakat.
Terkait kasus pelepasan ikan arapaima di Kali Brantas, hingga saat ini tujuh dari delapan ekor yang dilepaskan telah ditangkap. Ketujuh ekor arapaima itu enam diantaranya dikonsumsi warga dan satu ekor ditemukan mati.
Tanpa izin
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina menyebut pemilik ikan bernama Pursetyo, warga Perum Citra Harmoni Blok A 23 Taman Trosobo, Surabaya. Pelaku memelihara 30 ekor arapaima (tanpa izin). Sejumlah 18 ekor di Mojokerto, 4 ekor diberikan ke warga (dua ekor mati), dan 8 ekor dilepaskan ke perairan Sungai Brantas.
Saat menginvestigasi kasus ini, petugas BKIPM Surabaya menemukan tambahan ikan arapaima yang dimiliki pelaku di kolam pemeliharaan di Sidoarjo. Ada 18 ekor (dipindahkan dari Mojokerto) pada kolam pertama dan 12 ekor di kolam kedua (stok lama di penampungan). Total 30 ekor ikan arapaima di tempat itu.
Ikan arapaima merupakan satu dari 152 jenis ikan terlarang untuk diintroduksi ke Indonesia menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 tahun 2014 tentang Larangan Pemasukan jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam daftar Permen KKP no 41/2014, terdapat dua jenis ikan arapaima yang dilarang, yaitu (A gigas dan A leptosome).
Rina menekankan pelaku diancam dengan UU nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-undang nomor 31 tahun 2004 (diperbarui dengan UU 45/2009), pasal 12 (2) menyebutkan, “Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”.
Kedua pasal itu, Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Pada ayat 2, disebutkan, “Setiap orang yang sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar”.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 29 Juni 2018