CATATAN IPTEK
“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan berdasar prinsip, memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang”– Gro Brundtland, 1987.
Siapa sangka, ayam bakal menjadi warisan kita, manusia-manusia pembentuk era geologi: anthropocene. Era ketika manusia menjadi penguasa tertinggi alam. Era ketika manusia menjadi sang penentu. Era ketika manusia mencipta, mengonsumsi, yang berakhir dengan perusakan rumah bersama bernama bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Sejumlah remaja menggelar aksi damai tentang bahaya bencana perubahan iklim di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (15/3/2019). Aksi mereka itu terinspirasi dari gerakan yang dilakukan oleh aktivis remaja asal Swedia, Greta Thunberg.
Carys E Bennet, ahli geologi dari University of Leicester yang menekuni paleoclimate dan fosil, bersama tim penelitiannya menerbitkan hasil penelitian mereka di jurnal Royal Society Open Science, pada Desember 2018. Dari penelitian tersebut disimpulkan, fosil ayam pedaging (broiler) atau Gallus gallus domesticus (Linnaeus, 1758) bisa menjadi pengenal Era Anthropocene.
Ayam pedaging yang waktu hidupnya hanya lima hingga 7 minggu itu memiliki morfologi, kolagen tulang yang amat berbeda dengan ayam di zaman Roma, Anglo-Saxon, dan Abad Pertengahan. Pada usia yang sama, tulang ayam pedaging tidak sekeras ayam liar.
Ayam pedaging menjadi biostratigrafi penanda era Anthropocene karena bakal mudah ditemukan. Saat ini populasinya tertinggi dibanding unggas mana pun, apalagi dibanding mamalia atau reptil. Jumlahnya mencapai 22,7 miliar ekor. Jumlah terdekat yaitu burung red-billed quelea-hidup di Sub-Sahara, Afrika, berjumlah 1,5 miliar ekor.
Manusia modern diketahui ada sekitar seratus ribu tahun dan dalam rentang waktu itu tak banyak perubahan yang tercatat. Namun di masa mendatang, jejak manusia modern pada era ini akan bisa dikenali selain dari fosil ayam pedaging juga dari sampah-sampah yang kita tinggalkan: plastik, kemasan makanan, zat karbon yang terperangkap pada lapisan es, elemen radio aktif sisa percobaan nuklir atau kebocoran nuklir.
Manusia pada era ini akan menjadi sejarah. Namun di antara rentang waktu itu, tak terpikirkan apakah manusia mampu beradaptasi mengatasi semua bencana yang muncul akibat ulah manusia dalam melakukan proses produksi-menggunakan energi fosil, memproduksi sampah yang tak mampu dikelolanya sendiri bahkan menghancurkan biosfer-membunuh mahluk yang hidup di laut.
Pertanyaan yang juga muncul, mampukah manusia mengatasi bencana perubahan iklim akibat penghancuran dan pencemaran alam: hutan, sungai, lautan dan udara. Semua perilaku tersebut telah mengakibatkan bencana berupa iklim ekstrim: panas yang memicu kebakaran hutan dan cuaca dingin yang membekukan. Generasi pelaku penghancuran tak mampu berpikir panjang melampaui era mereka. Mereka masih memiliki dan menjalankan pola pikir, birokrasi, dan negosiasi politis dengan cara-cara lama.
Munculnya sosok Greta Ernman Thunberg yang menggugat melalui aksinya “Mogok Sekolah Demi Iklim” (School Strike for Climate) di depan gedung parlemen Swedia pada Agustus lalu mewakili generasi mendatang yang mendesak dilakukannya aksi nyata para politisi. Jumat (15/3/2019), lebih dari 100.000 siswa di 122 negara melakukan aksi serupa mengikuti jejak Greta.
Greta Thunberg menolak kompromi. Dia menolak generasi tua bicara soal “memberi harapan pada generasi mendatang”. Bagi dia, generasi tua harus turut merasakan “kepanikan dan rasa takut mereka dan segera bertindak cepat seperti ketika rumah kita kebakaran”. Greta Thunberg benar, rumah bersama kita, bernama bumi, sedang terbakar oleh pemanasan global.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 20 Maret 2019