Peneliti yang mendapatkan beasiswa luar negeri tidak lagi sekadar pulang ke Tanah Air membawa gelar akademik dan keahlian. Lebih dari itu, ”passion” sebagai peneliti harus dibawa hingga ke institusi masing-masing.
ASTHESIA DHEA UNTUK KOMPAS–Ilustrasi. Peneliti Departemen Fisika Universitas Airlangga Suryani Dyah Astuti melakukan pengenceran doksisiklin di Laboratorium Biofisika dan Fisika Medis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Kampus C, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Pemerintah meminta para peneliti lulusan luar negeri konsisten meneliti untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Atmosfer riset yang menjadi salah satu bagian dari ekosistem riset di Indonesia dinilai belum terbentuk secara optimal. Para penerima beasiswa luar negeri diminta mengadopsi atmosfer penelitian di universitasnya ketimbang mengincar gelar akademik semata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro menilai, tidak banyak mahasiswa penerima beasiswa luar negeri yang konsisten mengembangkan penelitian setelah menyelesaikan studi. Atmosfer penelitian di luar negeri yang mereka alami mandek setelah mengerjakan tugas akhir.
”Setelah meneliti untuk tesis atau disertasi, semangat riset itu tidak dibawa ke instansi mereka, baik sebagai dosen maupun peneliti,” katanya dalam Simposium Program Gelar di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Atmosfer riset yang dimaksud Bambang, antara lain, dedikasi tinggi dan ketelatenan mengembangkan penelitian secara berkelanjutan. Sebab, riset hanya akan berbuah menjadi inovasi jika peneliti mau sabar dan ulet.
”Inovasi bukan hal yang mudah. Butuh waktu yang lama untuk melakukan riset. Bahkan, tidak cukup hanya dengan satu tahun anggaran,” katanya.
Bambang berharap para peneliti yang mendapatkan beasiswa luar negeri tidak lagi sekadar pulang ke Tanah Air membawa gelar akademik dan keahlian. Lebih dari itu, passion sebagai peneliti harus dibawa hingga ke institusi masing-masing.
Hal tersebut nantinya akan mendorong tumbuhnya atmosfer riset di banyak lembaga riset Indonesia. ”Saya ingin melihat mereka pulang membawa passion peneliti. Mereka harus memiliki jiwa yang kompetitif dan berdedikasi,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bambang turut mengungkapkan pengalamannya saat menempuh pendidikan master di Universitas Illinois, Amerika Serikat. Menurut dia, dedikasi dosen untuk menciptakan atmosfer penelitian di sana tidak main-main.
Salah satu profesornya di Universitas Illinois, meski sudah berusia senja, terus mengembangkan laboratorium penelitiannya. Bahkan, dia merekrut para asisten peneliti dan membimbing mereka untuk menjadi spesialis di bidangnya masing-masing dengan sumber dana yang dicarinya.
”Bukan untuk menonjolkan profesinya, tetapi ia sadar bahwa ilmu pengetahuan bersifat statis. Para asisten peneliti dibimbing hingga melebihi kemampuannya sendiri,” ujarnya.
Bambang mengamati hal yang berbeda di Indonesia. Banyak universitas dianggap masih memiliki ego yang tinggi. Dalam pemilihan rektor, misalnya, tidak sedikit yang gagal hanya karena kandidat bukan merupakan lulusan dari universitas yang bersangkutan.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan iklim perekrutan dosen di Universitas Illinois. Di sana, lulusan perguruan tinggi yang ingin menjadi dosen di almamaternya diwajibkan mencari pengalaman di universitas lain terlebih dahulu.
Hal itu bertujuan agar calon dosen tersebut mendapatkan ilmu dan budaya yang berbeda dari tempatnya belajar. ”Para pelamar dosen diwajibkan mencari pengalaman dulu di universitas lain, seperti Universitas Harvard. Baru setelah itu kembali ke Illinois untuk menularkan budaya yang didapat,” katanya.
Penuhi SDM
Selain atmosfer riset, bagian lain dalam ekosistem riset yang juga perlu dikuatkan adalah sumber daya manusia (SDM) peneliti. Untuk itu, sejak 2013 Kemenristek/BRIN telah menggulirkan Riset and Innovation in Science and Technology Program (Riset Pro). Program ini merupakan program beasiswa luar negeri gelar dan non-gelar untuk para peneliti dan perekayasa.
Kendati program akan berakhir tahun ini, dana Riset Pro yang digelontorkan Bank Dunia masih menyisakan 9 juta dollar AS. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristek/BRIN Ali Ghufron Mukti berharap agar program Riset Pro dapat diperpanjang pada tahun depan.
”Memang masih ada sisa, tetapi perlu ada dana pendamping nasional. Kami berharap bisa diperpanjang,” katanya.
Harapan tersebut direspons positif oleh Menristek/Kepala BRIN Bambang. Menurut dia, program ini menjadi program yang tepat untuk menularkan atmosfer riset dari luar ke dalam negeri. Selanjutnya, Bambang akan membicarakan mekanisme perpanjangan tersebut dengan Bank Dunia.
Menurut Ali, Riset Pro juga relevan dengan fokus pemerintah dalam menguatkan kapasitas SDM. Sebab, para peneliti dan perekayasa berpeluang untuk belajar di universitas ternama atau lembaga penelitian terbaik di dunia.
Manfaat Riset Pro juga tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga lembaga penelitian tempatnya mengabdi. Berdasarkan analisis Webometric, misalnya, untuk pertama kalinya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berhasil menduduki peringkat kedua. Hal itu merupakan hasil kontribusi dari peneliti alumnus Riset Pro.
Pendanaan Riset Pro sendiri nilainya 85 juta dollar AS atau lebih dari Rp 1 triliun. Menurut Ali, program ini sebelumnya terancam ditutup lantaran daya serapnya dinilai tidak optimal. Sebab, hingga 2015, dana dukungan ini baru digunakan 33 persen.
Sebelumnya, Sekretaris Proyek Riset Pro Adhi Putranto menyebutkan, sejak 2013 setidaknya sudah ada 460 peneliti yang dikirim untuk program gelar. Adapun untuk program non-gelar 1.670 peneliti (Kompas, 9/10/2019).
Keterbatasan anggaran
Dalam implementasi di lapangan, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, mengatakan, salah satu kelemahan peneliti Indonesia adalah masih berkutat pada riset-riset aplikasi. Dalam riset aplikasi tersebut, metode yang digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh peneliti luar negeri sebelumnya.
”Baik di perguruan tinggi maupun lembaga riset, kita masih menjadi konsumen metode tersebut karena kita tidak mengembangkan riset-riset advance,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Menurut Eko, selama peneliti di Indonesia masih berkutat pada riset-riset aplikasi, bisa dipastikan kompetensi riset yang dihasilkan rendah. Sebab, mereka tidak mampu menelurkan ide untuk mendorong munculnya metode-metode baru sehingga peneliti nasional akan kalah bersaing dengan peneliti negara lain.
”Hal itu menjadi pekerjaan rumah terbesar kalau kita ingin mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor riset,” ujarnya.
Sementara itu, para peneliti saat ini juga masih terkendala dengan keterbatasan anggaran riset. Meski begitu, tidak serta-merta pemerintah harus meningkatkan anggaran riset nasional. Eko menilai, skema penganggaran riset di luar negeri bisa dijadikan contoh ideal.
Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, hanya mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan nasional mereka 16 persen dari total anggaran. Sebanyak 84 persen lainnya disediakan pihak swasta untuk riset pengembangan dan riset maju.
”Sebanyak 16 persen dari pemerintah tadi sebagian besar dialokasikan untuk riset dasar. Hasilnya dimuarakan ke industri dan dilanjutkan menjadi riset maju,” katanya.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 3 Desember 2019