”Harapan dan optimisme adalah esensi dari kemandirian.” Demikian RW Emerson, filsuf transendentalis abad ke-19 pertengahan, dalam esainya, ”Self- Reliance” (1841).
KOMPAS/PRIYOMBODO–Mobil listrik produksi Tesla dipamerkan dalam acara Electric Vehicle Indonesia Forum and Exhibition 2019 di Gedung Tribata, Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2019). Forum internasional terkait kendaraan listrik ini diharapkan dapat mempertemukan para pemangku kepentingan lintas negara, termasuk di dalamnya para investor mancanegara yang berkaitan dengan kendaraan bermotor listrik. Pameran berlangsung selama tiga hari hingga 28 November 2019.
Isu industri mobil listrik nasional dapat menghadirkan dilema atau justru sinergi antara kemandirian nasional versus kebutuhan akan investasi asing langsung (FDI). Menjadi dilematik ketika FDI harus mematikan potensi karya anak bangsa. Sebaliknya, menjadi sinergis ketika FDI dan investasi berbasis kemandirian nasional tumbuh bersama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan kendaraan listrik nasional terdorong oleh kepedulian terhadap isu-isu lingkungan, antara lain pencemaran udara terutama akibat emisi gas buang dan kemacetan di kota-kota besar, serta isu perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia menargetkan produksi dan penggunaan mobil listrik nasional berbasis baterai 400.000 unit pada 2022. Sah-sah saja jika kita beranggapan atau setidaknya berharap sebagian dari produk industri mobil listrik itu akan bermerek nasional, karya anak bangsa dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tinggi, dan harga terjangkau.
Dari sisi permintaan, potensi pasar cukup besar dan atraktif bagi para investor. Dari sisi pasokan, sumber daya cukup berlimpah, termasuk aluminium, nikel, serta SDM. TKDN yang tinggi dimungkinkan karena secara umum struktur mobil listrik (murni bukan ”hibrida”) tidaklah serumit mobil berbasis internal combustion engine.
Kalah cepat
Satu langkah nyata yang perlu segera dilakukan dalam merealisasikan mobil listrik nasional adalah membentuk konsorsium nasional untuk membuat desain dan prototipe, kemudian diuji coba sebelum masuk fase produksi.
Namun, Korea Selatan (Hyundai Motor) sudah bergerak cepat dengan meneken MOU investasi untuk pembangunan pabrik mobil listrik di Indonesia senilai 1,5 miliar dollar AS, 26 November 2019. Investasi asing tak keliru, tetapi diharapkan tak menyurutkan tekad dan langkah mewujudkan mobil listrik sendiri.
Sebelumnya, China berkomitmen berinvestasi senilai 4 miliar dollar AS dengan mendirikan pabrik baterai litium di Morowali, Sulawesi Tengah. Korporasi China juga menjadi anggota konsorsium pembangunan smelter-grade alumina refinery di Kalimantan Barat dan menandatangani kontrak engineering, procurement, and construction pada 11 Januari 2020. Aluminium atau alumina (aluminium yang masih tercampur dengan oksida, hasil ekstraksi dari bijih bauksit) merupakan salah satu material utama untuk pembuatan mobil listrik.
Investasi oleh China ini sekaligus memberikan akses pada negara itu atas dua sumber daya penting dalam industri mobil listrik, yakni bahan baku baterai dan bahan baku bodi mobil listrik. Dengan dukungan sangat besar dalam modal, teknologi, dan sumber daya mineral pendukung, China dipastikan menjadi salah satu pemain terkuat mobil listrik dunia, di samping Uni Eropa dan AS. Pabrikan otomotif Tesla (AS) bahkan sudah menciptakan mesin raksasa yang mampu membuat bingkai mobil listrik secara nyaris utuh.
Sebagai catatan, industri kilang alumina di China sendiri sudah dibatasi, bahkan ada yang ditutup lantaran sifatnya yang merusak lingkungan akibat material limbah beracun dan beralkalin tinggi. Setiap ton alumina secara rerata akan menghasilkan residu ”lumpur merah” sebanyak 1,5 ton, tergantung dari jenis bauksit yang diolah.
Selain litium (Li) dan kobalt (Co) sebagai material pembuatan baterai, pembangunan industri mobil listrik nasional perlu pasokan material aluminium atau campuran antara aluminium dan material lain (baja), terutama untuk rangka mobil. Menurut informasi yang ada, setiap mobil listrik rata-rata membutuhkan aluminium 250 kilogram. Hal ini berarti, jika kapasitas produksi mobil listrik nasional Indonesia mencapai 400.000 unit pada 2022, dibutuhkan aluminium 100.000 ton per tahun. Kebutuhan aluminium sebesar itu tampaknya dapat dipenuhi oleh industri aluminium nasional, apalagi jika target kapasitas smelter nasional terealisasi 2 juta ton per tahun pada 2022.
MURAT CETINMUHURDAR / TURKISH PRESIDENTIAL PRESS SERVICE / AFP–Salah satu purwarupa mobil listrik TOGG buatan Turki berbentuk sedan kompak. TOGG dikabarkan bekerjasama dengan rumah desain Pininfarina untuk merancang dua purwarupa mobil pertamanya.
Turki sudah bergerak
Dalam mewujudkan mimpi mobil listrik nasional, Indonesia kalah ”selangkah” dari Turki yang sudah membuat prototipe mobil listrik nasional, yakni model sedan dan sport utility vehicle (SUV), dan menyiapkan infrastruktur, terutama lahan untuk pembangunan pabrik di Bursa, kota terbesar keempat Turki di selatan Istanbul. Presiden Turki sudah mencoba menyetir sendiri prototipe mobil listrik itu. Pabrik direncanakan memasuki lini produksi pada 2021 dengan tingkat produksi kapasitas penuh 175.000 unit pada 2022 dan menyerap 4.000 pekerja.
Konsorsium beranggotakan lima perusahaan holding Turki siap menginvestasikan 22 miliar lira (3,7 miliar dollar AS). Pemerintah Turki menyokong dengan menyediakan lahan untuk fasilitas produksi, pembebasan pajak, jaminan pembelian 30.000 unit per tahun selama 15 tahun, menyiapkan infrastruktur charging station di seluruh Turki, dan membangun pabrik baterai litium.
Tidak harus IR 4.0
Hiruk pikuk perkembangan teknologi Revolusi Industri (IR) 4.0 yang belum dikuasai pelaku industri nasional dan berbiaya mahal untuk mengimpor teknologinya tak perlu menghambat upaya mewujudkan industri mobil listrik nasional. Untuk memulai produksi mobil listrik nasional, tak harus dengan membangun pabrik yang menerapkan teknologi industri canggih IR 4.0 lebih dulu. Dengan tingkat teknologi IR 3.0 pun jadilah guna merintis kemandirian industri otomotif. Belum semua negara Eropa mampu mengakuisisi teknologi IR 4.0. Dari foto-foto lini produksi di pabrik yang terpampang di internet, industri otomotif Turki tampak belum menggunakan teknologi IR 4.0.
Indonesia sebaiknya tak ragu untuk segera mengikuti langkah Turki dengan menyiapkan prototipe standar/model mobil listrik nasional untuk diuji coba dan lahan untuk pabriknya. Penyiapan infrastruktur charging station perlu memperhitungkan perkembangan, jumlah, dan sebaran mobil listrik, durasi pengisian, serta kapasitas jelajah dengan baterai penuh. Tumbuhnya industri mobil listrik akan mendorong permintaan turunan (derived demand) terhadap charger mobil listrik.
Kita berharap, baik FDI maupun investasi berbasis kemandirian nasional, dapat tumbuh bersama untuk meramaikan industri mobil listrik di Indonesia. Dalam waktu dekat, semoga terdengar kabar baik terkait kebijakan dan penyiapan pembangunan industri mobil listrik nasional.
Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB UGM; Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi
Sumber: Kompas, 14 Februari 2020