Indonesia bakal mengalami peningkatan suhu dan kelembaban akibat pemanasan global. Dua risiko yang dihadapi adalah menurunnya produktivitas pada jenis pekerjaan di luar ruangan dan meningkatnya risiko banjir.
Studi terbaru dari McKinsey telah menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang bakal mengalami peningkatan suhu dan kelembaban akibat pemanasan global. Dua risiko utama yang diperkirakan bakal memukul ekonomi Indonesia adalah menurunnya produktivitas pada jenis pekerjaan di luar ruangan dan meningkatnya risiko banjir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Mendung tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ) memperkirakan, sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem. Kondisi itu diprediksi berlangsung pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Perubahan cuaca ekstrem ditengarai berlangsung pada siang hingga sore hari. Siklon phanfone di Samudra Pasifik, sebelah timur Filipina, meningkatkan ekstremitas cuaca.
Ancaman berikutnya yang berpeluang meningkat adalah bertambahnya durasi kekeringan, bertambahnya populasi yang berpotensi terdampak gelombang panas, dan bertambahnya lahan yang terdegadrasi.
Studi yang dirilis di Singapura pada Kamis (16/1/2020) malam ini juga mendorong agar para pembuat kebijakan dan pemimpin bisnis mengintegrasikan risiko iklim ke dalam pengambilan keputusan. Mereka juga dituntut beradaptasi terhadap perubahan dan berkontribusi terhadap pengurangan karbon untuk mencegah penambahan risiko lebih lanjut.
Untuk perusahaan, integrasi risiko iklim dalam pengambilan keputusan berarti mempertimbangkannya dalam alokasi modal, pengembangan produk atau layanan, dan manajemen rantai pasokan. Untuk pemerintah, iklim harus jadi pertimbangan penting dalam memutuskan perencanaan kota. Sementara lembaga keuangan dapat mempertimbangkan risiko dalam portofolio mereka.
Kurangnya pemahaman terhadap perubahan iklim bakal meningkatkan risiko dan potensi dampak di pasar keuangan dan sistem sosial ekonomi. Misalnya, dengan mengarahkan aliran modal ke aset berisiko di wilayah berisiko akan menyebabkan kerugian besar. Contoh lain, pemangku kepentingan yang tidak siap menghadapi eskalasi iklim bakal meningkatkan risiko masyarakat yang menjadi korban dan membesarnya kerugian.
–Survei dari McKinsey menempatkan Indonesia sebagai negara yang berisiko terdampak peningkatan suhu dan kelembaban. Hal ini akan berimplikasi terhadap sektor sosial ekonomi. Sumber: McKinsey, 2020
Peningkatan suhu dan kelembaban ini memengaruhi produktivitas sekaligus secara langsung berdampak terhadap meningkatnya cuaca ekstrem. Sejalan dengan laporan McKinsey, kajian dari ratusan ilmuwan dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2018 menunjukkan, cuaca ekstrem yang secara historis terjadi sekali dalam 100 tahun bisa menghantam kota-kota pesisir setiap tahun pada 2050.
Peningkatan cuaca ekstrem pun terdeteksi di Indonesia. Peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari mengatakan, perubahan iklim menyebabkan jeda antar-kejadian ekstrem memendek.
”Pada kondisi iklim zaman dulu, hujan 200 milimeter (mm) per hari periode ulangnya 100 tahun. Kini hujan sebesar itu periode ulangnya jadi 50 tahun atau lebih cepat,” ungkapnya. Hujan ekstrem hingga 377 milimeter per hari di Halim yang merupakan curah tertinggi sepanjang sejarah menjadi bukti nyata perubahan iklim itu. Situasi ini diperkirakan bakal lebih kerap berulang.
Berbagai gambaran suram kondisi bumi ini telah diperingatkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam Konferensi Iklim (COP25) di Madrid, akhir tahun lalu. ”Saya menyerukan semua delegasi agar memperhatikan sains dan memastikan suhu bumi tak akan meningkat di atas 1,5 derajat celsius sebagaimana Perjanjian Paris 2015,” kata Antonio Guterres saat membuka perundingan.
Namun, perundingan itu berakhir tanpa komitmen kuat dari semua bangsa untuk mencegah laju pemanasan global. Padahal, para ilmuwan telah menunjukkan segunung bukti bahwa tren peningkatan gas rumah kaca bakal membawa bumi pada penambahan suhu hingga di atas 3 derajat celsius akhir abad ini dan itu artinya bakal terjadi disrupsi di berbagai bidang kehidupan.
Proyeksi di Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang dikepung lautan, sejumlah studi yang lain telah menunjukkan risiko Indonesia terhadap dampak perubahan iklim sangat besar. Misalnya, dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Nasional Adaptation Plan 2019 menyebutkan adanya tantangan besar di empat sektor yang dikaji, yaitu kelautan dan pesisir, ketersediaan air, pertanian, dan kesehatan.
–Proyeksi dampak perubahan iklim pada 2045. Sumber: Bappenas dalam Nasional Adaptation Plan 2019
Proyeksi tinggi gelombang hingga 2045 menunjukkan, 5,8 juta km² atau sekitar 90 persen dari total wilayah perairan Indonesia menjadi berbahaya untuk kapal di bawah 10 gros ton. Sementara sekitar 102.000 kilometer garis pantai Indonesia memiliki beragam tingkat kerentanan dan 1.800 km di antaranya termasuk kategori sangat tinggi. Provinsi Sulawesi Selatan adalah garis pantai terpanjang (573 km) dengan indeks kerentanan pantai yang sangat tinggi.
Penurunan ketersediaan air diproyeksikan akan terjadi merata di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara hingga 2045. Pada 2024, rata-rata penurunan ketersediaan air di Jawa akan mencapai 439,21 meter kubik per kapita per tahun dan 1.654,82 meter kubik per kapita per tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Produksi beras diproyeksikan menurun lebih dari 25 persen di Provinsi Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara hingga 2045. Pada saat yang sama, kejadian demam berdarah diperkirakan akan sangat tinggi hingga di kota-kota berikut, yaitu Pekanbaru, Palembang, Banjarbaru, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Kolaka, Ambon, Semarang, Bali, dan Kupang.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 17 Januari 2020