Bagi Indonesia musnahnya 100 jenis makhluk hidup penghuni bumi setiap harinya (Kompas, 3 Agustus 1992) tidak dapat dipandang sepele. Apalagi setelah Indonesia turut menandatangani konvensi mengenai keanekaragaman hayati pada KTT Bumi di Rio de Janeiro. Hal ini mengingat terlalu banyak kekayaan jenis hayati kita yang belum diketahui potensinya. Bahkan jenis-jenies flora-fauna yang sudah teridentifikasi saja masih terlalu kecil jumlahnya, ketimbang yang belum dikenal.
Bukan hal yang mustahil di antara makhluk hidup yang punah itu terdapat jenis-jenis yang sangat berguna bagi umat manusia, baik dalam segi ekonomi, kesehatan maupun aspek-aspek kehidupan lainnya. Akan sangat disayangkan jika dari jenis-jenis tersebut berasal dari Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan musnahnya makhluk hidup, tetapi salah satu yang penting yang dapat dan harus dikendalikan adalah faktor aktivitas manusia.
Usaha pelestarian keanekaragaman hayati memang menjadi konsekuensi logis Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam tersebut. Kekayaan Indonesia dalam hal keragaman hayati mencolok sehingga dunia pantas merasa ikut berkepentingan dalam kelestariannya. Jika kepadatan dan keragaman hayati Indonesia berkurang bukan hanya lndonesia saja yang rugi, tetapi dunia juga akan turut merasakan akibatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejauh ini Indonesia merupakan negura dengan biodiversitas terbesar di Asia untuk hampir semua kategori flora dan fauna, dan dalam beberapa kategori menempati urutan atas dunia. (lihat tabel)
Adanya hutan tropik basah –nomor dua terluas di dunia setelah Brazil– memungkinkan Indonesia menyimpan sejumlah besar flora-fauna endemlk. Hutan tropik basah memang hanya menempati sekitar 7 persen permukaan dataran bumi, tetapi lebih dari separuh kekayaan flora-fauna tersimpan di dalamnya.
Kalimantan, misalnya, sebagai pulau terkaya akan floristik merupakan rumah asal jenis-jenis meranti dan keruing, keluarga Dipterocarpancense. Keluarga ini mempunyai arti komersial sangat penting sebagai pemasok utama kebutuhan kayu dunia, dengan total sekitar 262 spesies, 34 persen dari seluruh tumbuhan yang ada di Kalimantan merupakan tumbuhan endemik, yaitu terdiri dari sekitar 59 marga (Sumatera mempunyai 17 marga tumbuhan endemik atau sekitar 12 persen tumbuhan yang ada). Belum lagi kekayaan faunanya, dari Avertebrata sampai Mammalia endemiknya.
Kelestarianmakhluk-makhluk hidup itu, yang memang sebagian besar menjadi penghuni hutan, sangat tergantung pada sistem pengelolaan hutan maupun masyarakat pengelola hutan itu sendiri. Pemerintah telah mengkonversikan sebagian hutan alam menjadi hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada para pemegang ijin HPH. Salah satu sistem pengelolaan yang sampai sekarang masih digunakan adalah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Dalam pedomam pelaksanaan TPTI telah dicantumkan tahapan-tahapan pelaksanaan secara rinci mulai dari persiapan, penebangan sampai tahapa pemeliharaan dan pengayaan sampai rotasi penebangan berikutnya.
Orientasi ekonomi
Berdasarkan sistem silvikultur (budi daya hutan) TPTI pohon yang boleh ditebang minimal berukuran 50 cm dbh (diameter at breast height). Untuk keperluan regenerasi tiap hektarnya harus disisakan mnimal 25 pohon inti yang berukuran 20-49 cm dbh, atau rata-rata 35 cm. Pohon-pohon itu diharapkan sudah dapat ditebang pada rotasi penebangan berikutnya.
Dengan tidak dirincinya jenis-jenis yang harus disisakan sebagai pohon inti, permudaan tingkat tiang (anakan pohon dengan diameter 10-19 cm), permudaan tingkat pancang (diameter kurang dari 10 cm dan tingginya tidak lebih dari 1,5 m) dan jenis-jenis yang harus ditanam sebagai permudaan tingkat semai, memungkinkan pohon-pohon jenis komersial tertentu akan musnah. Bahkan dengan diadakannya pembebasan akan membuka peluang bagi punahnya tumbuhan yang saat ini dinilai kurang berguna atau belum diketahui potensinya.
Hasil penelitian di hutan alami (unlogged forest) Gunung Palung Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tiap 2 hektar terdapat lebih dari 75 pohon Dipterocarp dan 40 pohon non Diptercarp yang berukuran lebih dari 40 cm dbh. Atau sekitar 62 pohon per hektar. Jika dari 62 pohon tersebut yang terdiri dari 10 jenis, hanya 25 pohon inti yang disisakan –karena tidak adanya ketentuan jenis dan jumlah pohon perjenis yang harus disisakan—ternyata hanya terdiri dari 5 jenis saja., sudah berarti terjadi kehilangan 5 jenis pohon dalam areal yang hanya seluas satu hektar itu.
Pada umumnya hutan Dipterocarp didominasi oleh pohon-pohon jenis besar yang baru akan berbuah setelah mencapai lebih 50 cm dbh. Bahkan untuk jenis-jenis meranti-keruing tertentu (Shorea dan Dipterocarpus) rata-rata baru berbuah detelah berukuran dua kali ukuran minimal yang diijinkan untuk ditebang. Jadi dari 25 pohon inti belum sempat dilakukan regenerasi pada 35 tahun berikutnya ketika pohon-pohon tersebut sudah dinyatakan layak tebang. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa pertambahan diameter pohon per tahun sekitar 1 cm dan waktu 35 tahun merupakan jangka rtasi penebangan.
Adanya hal-hal seperti periode reproduksi yang tidak teratur, ketersediaan dan efektivitas pollinator dan agen dispersal dan predator biji serta perubahan lingkungan akibat operasi penebangan seperti pemadatan tanah, kekeringan dan peningkatan suhu turut memperkecil keberhasilan regenerasi hutan konsesi. Untuk menjadi buah, bunga Dipterocarp harus mendapat kunjungan serangga penyerbuk seperti lebah (Apis dan Trigona) atau jenis-jenis Thysanoptera tertentu (Keluarga Dipterocarpaceae dan beberapa jenis non-Dipterocarpaceae hanya berbuah setiap 4-5 tahun sakali secara serentak). Jika populasi pohon yang tersisa terlalu jarang dan saling berjauhan satu sama lain akan menyulitkan terjadinya penyerbukan. Bila penyerbukan gagal berarti gagal pula proses regenerasi.
Selama ini belum ada data ekologis yang mendukung bahwa pohon inti yang disisakan akan mampu memproduksi anakan pohon. Justru karena ukurannya yang relatif kecil maka luas tajuknya juga kecil. Apalagi masih ditambah dengan kerusakan tajuk akibat penebangan, maka jumlah buah yang dapat diproduksi (seandainya sempat) juga akan sangat kecil dibanding sebelum hutan tersebut ditebang. Berdasarkan teori Pemuasan Predator-nya D.H. Jansen, buah yang terbentuk terlebih dahulu dipakai untuk mengenyangkan predator biji, baru sisanya boleh menjadi generasi baru. Jika untuk mengenyangkan predator saja tidak cukup, bagaimana bisa buat regenerasi?
Penjarangan pohon yang di maksudkan untuk menghasilkan gelondongan kayu bulat yang utuh justru akan dapat mengakibatkan volume kayu yang dihasilkan berkurang. Pohon tidak terpacu untuk tumbuh tinggi karena tidak ada persaiangan antar tajuk. Penjarangan juga menyulitkan hewan-hewan arboreal bergerak dari pohon ke pohon.
Posisi keragaman hayati Indonesia
Kategori | Jumlah spesies | Ranking di dunia | Ranking di Asia | Negara ranking di atasnya |
Mamalia | 515 | 1 | 1 | – |
Burung | 1519 | 4 | 1 | Kolombia, Peru, Brasil |
Amphibian | 270 | 5 | 1 | Brasil, Kolombia, Ekuador, Meksiko |
Reptilian | ±600 | 3 | 2 | Meksiko, Australia |
Kupu-kupu | 121 | 1 | 1 | – |
angiospermae | 20.000 | 7 | 2 | Brasil, Kolombia, Cina, Meksiko, Australia, Afrika Selatan |
Sumber: Gunalan (1991), Disertasi universite Claude Bernard Lyon I, Francaise, pp.32
Akhirnya sistem silvikutur TPTI lebih cenderung mengubah hutan alam dengan beribu-ribu jenis tumbuhan menjadi menjadi “perkebunan” yang hanya ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan kayu komersial. Masih mendingan jenis-jenis rotan, palem dan buah-buahan tidak boleh dimatikan. Meskipun demikian jelas kelestarian keragaman hayati di hutan konsesi tidak dapat dipertahankan. Belum lagi ulah sebagian pemegang HPH yang demi mengeruk keuntungan tidak lagi mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi Dephut tahun 1989/90, dari 527 pemegang HPH hanya 5 yang melaksanakan sistem TPTI dengan ketegori baik. (Kompas, 3 Agustus 1992).
Tak cukup dengan Taman Nasional
Hutan Indonesia memang tidak semua dikonversikan menjadi hutan konsesi. Sebagian masih dinyatakan sebagai hutan lindung, atau Taman Nasional, dimana keragaman hayatinya masih terjaga. Sekalipun demikian taman-taman nasional yang ada terlalu sempit untuk dapat menampung seluruh keragaman hayati Indonesia. Masing-masing habitat hutan yang tersebar di bumi Nusantara ini mempunyai kondisi dan keragaman hayati yang spesifik yang tidak dapat diwakili oleh habitat lainnya.
Jika keragaman hayati Indonesia ingin tetap dipertahankan maka sistem pengelolaan hutan harus dipenuhi. Sistem TPTI yang sekarang masih berlaku terlalu berani mengambil risiko kehilangan berbagai jenis flora dan fauna yang belum banyak diketahui potensinya. Direktur Kebun Raya Indonesia Dr. Suhirman pernah menyatakan dalam wawancara di televisi, seyogyanya sebelum suatu kawasan hutan di-HPH-kan, tim Kebun Raya harus melakukan ekspedisi terlebih dahulu untuk mengoleksi tumbuh-tumbuhan endemik yang belum teridentifikasi.
Dalam ekosistem hutan terdapat berpuluh-puluh jenis pohon ara (Ficus sp) dan Ptenandra spp. Kedua marga inilah yang berfungsi sebagai spesies kunci yang sangat menentukan kestabilan ekosistem hutan.Buah Ficus merupakan makanan alternatif terutama bagi hewan besar seperti orangutan, gibbon, kera, beruang madu, dan jenis-jenis burung besar, sedang Ptenandra menjadi makanan alternatif terutama bagi hewan dan burung-burung kecil. Spesies kuncilah yang menyelamatkan hewan penghuni hutan dari kelaparan dan kematian di kala makanan “hariannya” menipis. Karena cara hidupnya epifit maka kedua marga spesies kunci tersebut akan turut tercabut dari habitatnya dam bahkan dimatikan karena termasuk tumbuhan ”pengganggu”.
Maka jika kedua marga ini habis bersamaan dengan menipisnya hutan berarti kepunahan faunannya sudah diambang pintu. Dan jika faunanya sudah habis atau menipis maka tidak aka nada lagi lagi agen penyerbuk, tidak akan ada lagi hewan penyebar biji. Regenerasi tumbuhan akan gagal, yang berarti juga, tidak perlu menunggu lama lagi, kekayaan floranya juga akan tinggal kenangan.
Banyak memang yang harus dipertimbangkan dan dilakukan jika selain ingin mendapatkan keuntungan secara ekonomi dengan tetap menjaga keragaman hayati hutannya. Namun dengan niat dan kerja yang sungguh-sungguh dari semua pihak, baik pemerintah, klangan LSM, mapun, terutama masyarakat sekitar hutan dan pemegang HPH, niscaya anak cucu kita akan masih dapat menikmati. Kita memang punya telenta untuk mengubah tema KTT Bumi, save the Earth, Last turn, your turn menjadi Save the Earth, last turn is ours.
Priyo Budiasmoro, peneliti hutan hujan tropis, alumnus Fakultas Biologi UGM
Sumber: Kompas, Jum’at, 12 Maret 1993