Alam Semesta; Gelombang Gravitasi

- Editor

Minggu, 11 Mei 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PENEMUAN gelombang gravitasi yang dilaporkan oleh kolaborasi eksperimen Background Imaging of Cosmic Extragalactic Polarization 2 (dikenal sebagai BICEP2) dapat dikategorikan sebagai penemuan besar fisika dekade ini setelah penemuan partikel Higgs. Penemuan ini mendukung teori inflasi yang mengisyaratkan adanya pengembangan drastis sesaat setelah jagat raya tercipta melalui proses Dentuman Besar (Big Bang).

Syahdan, 380.000 tahun setelah itu radiasi atau foton yang tersisa dapat bebas bergerak karena energinya tidak cukup besar untuk menciptakan pasangan partikel-antipartikel. Radiasi ini menjadi fosil Big Bang yang terdeteksi pertama kali pada 1964 dalam bentuk cosmic microwave background (CMB) pada antena teleskop radio Arno Penzias dan Robert Wilson, dua ilmuwan AS yang saat itu bekerja di laboratorium Bell, New Jersey. CMB kemudian dapat diukur luar biasa akurat mulai 1990-an.

Namun, belakangan disadari bahwa CMB memiliki pola-pola halus yang menunjukkan ketidakseragaman temperatur serta polarisasi radiasinya. Guna mendeteksi polarisasi CMB, yang disebut polarisasi modus-B sebagai akibat gelombang gravitasi dari proses inflasi di awal jagat raya tercipta, BICEP2 mengumpulkan data selama dua tahun di Kutub Selatan. Kondisi Kutub Selatan yang dingin, kering, dan terpencil sangat cocok untuk eksperimen ini karena kurangnya gangguan dari derau dan aktivitas manusia.

Gravitasi dan inflasi
Semua benda bermassa memiliki gaya tarik gravitasi. Gaya tarik ini, menurut Teori Relativitas Umum, akan melengkungkan ruang-waktu empat dimensi. Jika benda tersebut bergerak, lengkungan yang diakibatkannya akan bergerak pula sehingga menimbulkan gelombang tarikan atau gelombang gravitasi, merambat seperti riak di permukaan air jika kita menjatuhkan sebuah batu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

10116344hTentu saja gelombang ini sangat kecil dampaknya. Bahkan, nyaris tidak bermakna kecuali jika benda itu sangat masif dan memiliki percepatan sangat besar. Yang terakhir ini sangat logis terjadi saat alam semesta mengalami inflasi.

Teori inflasi pertama kali diajukan Alan Guth pada 1980, saat ia menjadi peneliti pascadoktoral di Stanford. Guth, yang kini menjadi profesor di MIT, mengajukan teori ini untuk memodifikasi teori Big Bang konvensional karena memiliki banyak kelemahan. Ide ini mendapat sambutan hangat, tetapi ternyata memiliki masalah karena tidak dapat menjelaskan beberapa data pengamatan.

Tahun 1983, Andrei Linde dari Lebedev Institute di Rusia mengajukan solusi untuk mengatasi masalah ini yang ia sebut sebagai Chaotic Inflation. Dalam makalahnya yang terbit di jurnal Physics Letters B tahun 1983 ia menjelaskan bahwa proses
inflasi adalah konsekuensi alami dari kondisi awal semesta yang sangat semrawut (chaotic). Linde yang kini profesor fisika di Universitas Stanford tentu saja tidak dapat menahan kegembiraannya atas temuan BICEP2.

Multi-jagat raya
Besarnya nilai polarisasi yang terukur oleh BICEP2 mengakibatkan tumbangnya sejumlah varian teori inflasi yang diajukan dalam tiga dekade terakhir. Dapat dimaklumi karena kebanyakan teori tersebut memprediksi nilai polarisasi yang kecil. Namun, tidak demikian halnya dengan teori inflasi kaotik Linde.

Selain itu, teori Linde juga sangat menarik karena meramalkan bahwa inflasi tidak berhenti di satu kantung jagat raya saja. Namun, berlanjut di tempat lain menghasilkan kantung-kantung jagat raya lain sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai multiverse, alih-alih sebuah universe. Konsekuensinya, setiap jagat raya dapat memiliki hukum fisika sendiri, yang berbeda dengan jagat raya lain.

Silang pendapat tentang multiverse sebenarnya telah lama berlangsung. Banyak ilmuwan yang tidak suka dengan ide ini, bahkan menganggap ide ini tidak ilmiah. Hal ini didasari fakta bahwa jagat raya lain tidak dapat diakses melalui hukum fisika yang berlaku di jagat raya kita. Akibatnya, ide multiverse tidak dapat diperiksa melalui eksperimen baku. Semua teori yang tidak dapat diperiksa eksperimen tentu saja dapat digolongkan sebagai teori yang tidak ilmiah.

Terlebih lagi, ide multiverse sangat lekat dengan prinsip antropik yang dianggap penganutnya dapat menyelesaikan semua pertanyaan yang tidak dapat dijawab fisika. Sebagai contoh, hingga saat ini tidak ada teori yang dapat menjelaskan, mengapa muatan dan massa elektron begitu spesifik sehingga jika dituliskan dengan angka numerik dapat mencapai sembilan angka di belakang koma.

Pada masa mendatang, dengan kemajuan teknologi, jumlah angka tersebut dapat terus bertambah. Banyak ilmuwan yakin bahwa parameter-parameter alam, seperti muatan dan masa elektron, tersebut tidak akan pernah dapat dijelaskan oleh satu teori. Ketidakmampuan fisika tersebut memberikan angin segar pada prinsip antropik.

Menurut prinsip ini, muatan dan masa elektron memang ditala secara halus (fine-tuned) sedemikian rupa agar ada intelektual yang dapat mengamatinya. Jika nilainya sedikit saja lebih kecil atau lebih besar, atom tidak akan pernah terbentuk. Akibatnya, tidak akan ada jagat raya seperti yang kita amati sekarang serta tidak akan ada intelektual yang pernah mengamatinya.

Berbeda dengan para penentangnya, para pendukung prinsip antropik dan ide multiverse malah bertambah yakin. Bahkan, Linde menyatakan bahwa penemuan gelombang gravitasi ini seharusnya membuat para penentang ide multiverse menjadi khawatir. ”Jika penemuan gelombang gravitasi dapat dikonfirmasi oleh eksperimen lain serta, sebagai tambahan, konstanta kosmologi dapat pula dikonfirmasi realitasnya, kita akan memperoleh bukti solid keberadaan multi-jagat raya,” kata Linde.

Sebagai catatan, konstanta kosmologi pertama kali dicetuskan Einstein untuk menghentikan pengembangan alam semesta dalam teorinya seabad lalu. Konstanta ini sempat dibuang setelah Hubble mengamati pengembangan alam semesta melalui fenomena pergeseran merah (red shift) pada bintang dan galaksi.

Namun, konstanta tersebut kembali diperlukan, meski dengan tanda dan dampak berbeda, untuk menjelaskan percepatan pengembangan jagat raya yang teramati pada awal abad ke-21 ini. Realita konstanta kosmologi akan membuktikan keberadaan energi gelap yang mengisi mayoritas jagat raya kita serta menghasilkan gaya repulsif untuk mempercepat pengembangannya.

Steven Weinberg, fisikawan pemenang Nobel bersama-sama Abdus Salam tiga dekade lalu, menengarai ada empat alasan mengapa multi-jagat raya tidak teramati, yaitu mungkin jagat-jagat raya tersebut terletak di lokasi yang berbeda, di era yang berbeda, di ruang-waktu (empat dimensi) berbeda, atau di ruang Hilbert (kuantum) yang berbeda.

Selain Andrei Linde, ahli kosmologi Martin Rees termasuk ilmuwan yang sangat yakin akan keberadaan multi jagat raya. Rees berani mempertaruhkan anjing kesayangannya untuk keyakinan ini. Linde bahkan lebih ekstrem lagi, ia berani mempertaruhkan seluruh hidupnya. Sementara bagi Weinberg, keyakinannya terhadap multijagat raya hanya membuatnya berani untuk mempertaruhkan anjing kesayangan Rees serta kehidupan Linde saja!

Terry Mart, Fisikawan UI dan Anggota AIPI

Sumber: Kompas, 10 Mei 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 46 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB