Polemik terkait dengan legalitas uji kompetensi sarjana kesehatan masyarakat mesti segera diakhiri. Karena itu, pemerintah diminta segera menetapkan kesehatan masyarakat sebagai pendidikan profesi bidang kesehatan.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Suasana acara The 3rd Science Festival yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Senin (9/9/2019). Kegiatan ini merupakan ajang pertemuan antara mahasiswa, praktisi dan profesional, serta peneliti dan para ahli dari dalam dan luar negeri untuk membahas program-programm serta layanan inovatif di bidang kesehatan masyarakat.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) menyatakan uji kompetensi yang diselenggarakan dua organisasi profesi itu memiliki landasan hukum. Mereka bernaung pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/110/2016 tentang Keanggotaan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, Ombudsman RI menyatakan bahwa Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) tidak memiliki dasar hukum untuk melaksanakan Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia atau UKSKMI. (Kompas, 22 Oktober 2019)
“Kami menyayangkan pernyataan Ombudsman yang menyatakan bahwa uji kompetensi yang kami lakukan tidak punya dasar hukum,” kata Ketua IAKMI Ridwan Thaha saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Ridwan mengatakan, IAKMI dan AIPTKMI sudah mengantongi Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/110/2016 tentang Keanggotaan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Melalui SK tersebut, salah satu anggota IAKMI yakni Agustin Kusumayati ditunjuk menjadi anggota MTKI sebagai wakil organisasi profesi tenaga kesehatan masyarakat.
Saat itu, MTKI minta IAKMI dan AIPTKMI melakukan standardisasi lulusan sebelum mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) bagi lulusan kesehatan masyarakat. ”Menurut aturan Kemenkes, untuk mendapat STR, lulusan harus menunjukkan sertifikat kompetensi lewat uji kompetensi,” ujarnya.
Ketua MTKI Trihono menegaskan, organisasi profesi didorong melakukan standardisasi lulusan kesehatan. IAKMI yang mendapat pelatihan uji kompetensi oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti) memilih uji kompetensi. ”Yang terpenting ialah standardisasi karena ada disparitas mutu lulusan,” katanya.
Menjamin mutu
Agustin, yang juga Ketua AIPTKMI mengatakan, uji kompetensi IAKMI dan AIPTKMI bahkan mendapat dukungan langsung dari Kemenkes dan Kemristek Dikti melalui surat pada 2018. Dalam surat tersebut, Kemenristekdikti meminta agar uji kompetensi tidak digunakan sebagai syarat kelulusan. “Uji kompetensi tersebut juga menjadi langkah untuk menjamin mutu tenaga kesehatan yang diinisasi sejak 2010 oleh Kemristek Dikti,” katanya.
Menurut Ridwan, solusi terbaik dalam mengakhiri polemik uji kompetensi saat ini ialah segera menetapkan kesehatan masyarakat sebagai pendidikan profesi. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan disebutkan bahwa uji kompetensi diwajibkan bagi pendidikan vokasi dan profesi. “Supaya kita tidak lagi dianggap melanggar undang-undang, kami berharap pemerintah membantu memercepat prosesnya,” tambahnya.
Saat ini, naskah akademik pendidikan profesi itu sudah dikirimkan dan menanti tindak lanjut Kemristek Dikti. “Sejak dua bulan lalu kami sudah memasukkan naskah akademik lengkap dengan kurikulumnya untuk meminta nomenklatur,” kata Ridwan.
Direktur Penjaminan Mutu, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti Aris Junaidi mengaku sudah menerima naskah akademik dari IAKMI dan AIPTKMI. Saat ini, naskah tersebut sedang melalui tahapan peninjauan internal Kemristek Dikti. “Selanjutnya akan dibahas dengan pemangku kebijakan yang lain,” katanya.
Adapun berdasarkan keputusan bersama antara IAKMI, AIPTKMI, Kemristek Dikti, dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Ombudsman, uji kompetensi tetap dilakukan sembari menunggu pelaksanaan pendidikan profesi tersebut.
Terkait dengan rencana dibentuknya kesehatan masyarakat sebagai jenis tenaga kesehatan baru, Augustin mengatakan, hal tersebut bisa saja dilakukan. Kepastian jenis tenaga kesehatan baru tersebut memberikan peluang yang adil kepada sarjana kesehatan masyarakat yang ingin bekerja.
“Hal itu bisa saja dilakukan. Bagi kami, yang penting para sarjana kesehatan masyarakat mendapatkan kemudahan prosedur untuk bekerja sebagai tenaga kesehatan,” katanya.–FAJAR RAMADHAN
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 23 Oktober 2019