Mobil bertenaga listrik bagaikan dua sisi mata pisau. Di satu sisi, mobil jenis ini dianggap ramah lingkungan karena nihil emisi karbon. Di sisi lain, energi baterai mobil ini bersumber dari pembangkit listrik yang mayoritas masih berbahan bakar fosil.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Pengendara sepeda motor listrik mengikuti konvoi di Jalan MH Thamrin, Jakarta, akhir Agustus 2019. Kegiatan yang diprakarsai Kementerian Perhubungan tersebut bertujuan menyosialisasikan program percepatan penggunaan kendaraan berbasis listrik.
Kehadiran mobil listrik bukan hal baru. Sekitar tahun 1900-an, ketika awal era kendaraan bermotor, mobil listrik cukup populer di Amerika Serikat. Populasinya bahkan lebih banyak dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak atau tenaga uap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kala itu, mobil listrik diminati karena memiliki berbagai keunggulan. Keunggulan itu mulai dari tidak banyak getaran, tidak bising, dan proses menghidupkannya lebih mudah dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak (BBM). Waktu itu, menghidupkan mesin mobil berbahan bakar minyak masih menggunakan starter jenis pedal.
Jalan raya juga baru tersedia di daerah kota sehingga jarak tempuh antarlokasi tak terlalu jauh. Karena itu, mobil listrik cocok dengan karakteristik kemampuan baterainya. Saat itu kapasitas baterai mobil listrik masih terbatas sehingga hanya dapat digunakan untuk menempuh jarak relatif pendek.
Popularitas mobil listrik mulai redup diperkirakan pada 1912. Di periode ini, ruas-ruas jalan di AS kian bertambah hingga menuntut kendaraan yang dapat menempuh jarak lebih jauh. Hal ini hanya bisa diakomodasi oleh mobil ber-BBM, mengingat kemampuan baterai mobil listrik masih sangat terbatas. Proses menyalakan mesin mobil ber-BBM juga sudah menjadi lebih mudah karena starter pedal digantikan starter listrik temuan Kettering.
Penemuan cadangan minyak di negara bagian Texas ikut menyebabkan harga minyak lebih terjangkau. Ditambah lagi, teknik produksi massal ban berjalan yang dikembangkan Ford semakin meningkatkan produksi kendaraan bermotor. Sistem kelistrikan di AS saat itu juga belum diatur sedemikian rupa sehingga tegangan listrik di tiap wilayah berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan minat mobil listrik karena pengisian ulang baterai tak bisa dilakukan di sembarang tepat.
Periode di atas merupakan satu dari tiga periode kebangkitan mobil listrik hingga tahun 2000-an. Hal ini tertuang dalam jurnal karya Nyoman S Kumara dan I Wayan Sukerayasa pada 2009, yakni Tinjauan Perkembangan Kendaraan Listrik Dunia Hingga Sekarang. Periode kedua terjadi tahun 1970 ketika AS mengalami krisis minyak akibat embargo OPEC terhadap ekspor minyak ke negara tersebut. Mobil listrik waktu itu kembali bergaung sebagai kendaraan alternatif pengganti mesin ber-BBM.
Meski demikian, perkembangan mobil listrik tidak melaju cepat di periode ini. Berlanjut ke periode ketiga yang terjadi sejak 1990-an. Kebangkitan mobil listrik pada periode ini masih dipicu isu ketersediaan sumber energi, selain keinginan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Pada periode tersebut, diselenggarakan berbagai program internasional untuk mengurangi emisi gas buang, seperti Protokol Kyoto.
Mobil listrik di Indonesia
Pengembangan mobil listrik di Indonesia semakin menggeliat sejak tahun lalu. Tepatnya tanggal 5 Agustus 2019, ketika Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019. Perpres ini mengatur Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Umum.
Kemunculan peraturan ini membantu sejumlah agen tunggal pemegang merek (APTM) mobil listrik di Indonesia. Bantuan itu berupa intensif fiskal dan nonfiskal yang berpotensi menurunkan harga jual mobil listrik. Sebelumnya, mobil listrik masih masuk kategori mobil mewah dengan harga rata-rata lebih mahal 40 persen dari mobil konvensional.
Selain itu, para pengguna kendaraan berbasis listrik (KBL) akan semakin dimudahkan dengan percepatan penyediaan infrastruktur pengisian listrik. Program ini meliputi kemudahan penyesuaian instalasi listrik di rumah dan pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di sejumlah tempat.
Pada 2025, Pemerintah Indonesia pun menargetkan pengembangan KBL, antara lain mobil listrik hingga 2.200 unit, mobil hibrida 711.000 unit, dan sepeda motor listrik 2,1 juta unit. Target ini diikuti ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Tahun 2019 hingga 2023, TKDN untuk KBL beroda empat atau lebih minimum 35 persen. Angkanya terus naik hingga tahun 2030 dan seterusnya, yakni minimum 80 persen.
Penggunaan mobil listrik untuk transportasi umum diinisiasi perusahaan transportasi swasta, PT Bluebird Tbk. Pada 22 April 2019, Bluebird meresmikan 25 mobil produksi China, BYD e6 A/T, untuk e-Bluebird, dan empat mobil produksi AS, Tesla model X 75D A/T, untuk e-Silver Bird. Sejak pertengahan Juni 2019, mobil BYD e-Bluebird melayani keberangkatan dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Setelah Tesla, sejumlah ATPM dari pabrikan besar otomotif lainnya akan menyusul menjajakan produk mobil listrik di Indonesia tahun ini, seperti Toyota, Nissan, DFSK, Hyundai, dan Wuling. Sebagian pabrik otomotif ini bahkan sudah memperkenalkan produk mobil listrik mereka pada tahun lalu. Contohnya, DFSK dengan mobil E3, Toyota dengan mobil Prius PHEV, dan Nissan dengan mobil Leaf.
Belum lepas dari bahan bakar fosil
Meski mobil listrik tidak menghasilkan emisi gas buang, pengisian baterainya masih bersumber dari pembangkit berbahan bakar tak terbarukan. Hal ini terlihat dari data PLN tahun 2018. Pada tahun itu, energi listrik yang diproduksi PLN ialah 267.100 GWh. Angka ini terdiri dari produksi sendiri dan sewa genset 188.700 GWh, sedangkan sisanya dari pembelian dan proyek.
Sementara itu, sebagian besar listrik yang diproduksi PLN masih menggunakan bahan bakar fosil. Sebesar 174.400 GWh atau 92,4 persen dari total energi yang dihasilkan PLN masih mengandalkan bahan bakar jenis ini. Energi terbesar berasal dari bahan bakar batubara, yakni 63,1 persen, disusul gas alam 29,5 persen, high speed diesel (HSD) 5,3 persen, serta Marine Full Oil (MFO) 1,4 persen.
Sejatinya energi yang dipakai untuk mengisi baterai mobil listrik juga mengeluarkan emisi gas buang. Contohnya, mobil listrik berkapasitas baterai 55 kWh dengan jarak tempuh 354 km. Jika sumber energinya berasal dari pembangkit berbahan bakar batubara, total emisi CO? yang dihasilkan setiap pengisian baterai mencapai 62,7 kg.
Angka ini berasal dari laporan UNDP tahun 2007 yang menyebutkan faktor emisi CO? PLTU batubara di Indonesia sebesar 1,14 kg per kWh. Adapun untuk jarak 354 km, jika ditempuh mobil konvensional dengan konsumsi BBM 1:12, akan menghabiskan 29,5 liter premium. Penggunaan BBM sebanyak itu menciptakan emisi CO? 76,7 kg. Jika menggunakan BBM jenis solar, emisi CO? yang dihasilkan untuk jarak tempuh yang sama lebih kecil, yaitu 64,9 kg.
Dua angka ini diperoleh dari petunjuk teknis pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Bappenas. Faktor emisi CO? untuk BBM premium sebesar 2,6 kg CO? per liter dan BBM solar 2,2 kg CO? per liter. Melalui perbandingan antara mobil listrik, mobil BBM premium, dan mobil BBM solar ini terlihat bahwa emisi CO? yang dihasilkan tak jauh berbeda.
Salah satu solusi jitu mengatasi masalah ini, yakni meningkatkan produksi listrik di pembangkit dengan sumber energi terbarukan. Contohnya, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Namun, berdasarkan data PLN, hingga 2018, energi yang dihasilkan dari pembangkit ini masih sangat kecil, sebesar 4,6 GWh. Angka ini setara 0,002 persen dari total listrik yang diproduksi PLN.
Selain PLTS, ada juga pembangkit listrik tenaga bayu atau angin (PLTB) yang sejak 2018 dioperasikan PLN. Pertama, PLTB di Sidenreng Rappang dan PLTB di Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang dioperasikan tahun 2019. Energi yang dihasilkan jauh lebih besar daripada PLTS. Jika digabung, keduanya dapat menghasilkan listrik sekitar 400 GWh per tahun.
Meski demikian, angka itu masih 0,2 persen dari total produksi listrik PLN. Kehadiran mobil listrik di tengah masifnya perkembangan teknologi perlu terus didukung. Namun, jika misi yang ingin digapai adalah menciptakan lingkungan lebih hijau, sejumlah hal perlu kembali diluruskan, terutama sumber energi pengisi baterai yang mayoritas masih menggunakan bahan bakar fosil.
Selain itu, pemanfaatan mobil listrik untuk transportasi umum merupakan langkah baik dalam rangka mengurangi kepadatan kendaraan di jalan raya. (Litbang Kompas)
Oleh ALBERTUS KRISNA
Sumber: Kompas, 3 Maret 2020