Pengembangan vaksin Covid-19 dapat dikatakan sebagai pengembangan vaksin terbesar dan tercepat dalam sejarah. Pengembangan vaksin Covid-19 juga mencatatkan pencapaian besar dalam hal penggunaan teknologi baru.
Pandemi Covid-19 membuat lembaga, instansi, dan negara-negara berpacu untuk menemukan vaksin secepat-cepatnya. Inovasi dan teknologi baru pengembangan vaksin Covid-19 mewarnai perlombaan penemuan vaksin. Pengembangan vaksin dengan teknologi baru ini membutuhkan usaha lebih keras untuk transfer teknologi, peningkatan produksi, dan pembiayaan.
Pengembangan vaksin Covid-19 dapat dikatakan sebagai pengembangan vaksin terbesar dan tercepat dalam sejarah. Berdasarkan data WHO, hingga 28 Agustus terdapat 176 vaksin yang dikembangkan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Sebanyak 33 calon vaksin di antaranya sudah masuk uji klinis, sedangkan 143 calon vaksin masih dalam proses uji praklinis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengembangan ini ditargetkan selesai dalam 12-18 bulan. Upaya pembuatan vaksin dimulai dengan penguraian genom virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2, pada Januari, tidak lama setelah China melaporkan keberadaan virus itu. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, uji coba keamanan vaksin pada manusia dilakukan.
Berkembang dengan sangat cepat, sejumlah kandidat vaksin kini mencapai tahap pengujian terakhir. Bahkan, tiga kandidat vaksin dari China dan Rusia sudah digunakan dalam peruntukan darurat.
Pengembangan tersebut jauh lebih cepat dibandingkan rata-rata pengembangan vaksin pada umumnya, yaitu 10-13 tahun. Vaksin untuk polio membutuhkan tujuh tahun pengembangan. Vaksin campak ditemukan setelah sembilan tahun dikembangkan. Demikian pula vaksin cacar yang membutuhkan waktu hingga 34 tahun pengembangan.
Saat ini, vaksin Covid-19 dikembangkan oleh lebih dari 100 instansi di lebih dari 20 negara. Beberapa negara yang mengembangkan banyak jenis vaksin Covid-19 adalah Amerika Serikat, China, Australia, Inggris, dan Rusia.
Dalam pengujian berbagai jenis vaksin tersebut dibutuhkan lebih banyak sukarelawan dibandingkan uji klinis vaksin pada umumnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan lembaga riset dan media Nature, dari 32 calon vaksin Covid-19 yang berada dalam tahap uji klinis, dibutuhkan lebih dari 280.000 sukarelawan pengujian vaksin dari 470 lokasi di 34 negara.
Ragam pendekatan baru
Pengembangan vaksin Covid-19 juga mencatatkan pencapaian besar dalam penggunaan teknologi baru. Sejumlah vaksin dikembangkan menggunakan pendekatan anyar yang menjanjikan kinerja vaksin lebih efektif.
Lembaga riset dan media Nature mencatat, hingga 2 September 2020, penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19 mencapai 321 kandidat vaksin. Vaksin-vaksin tersebut dikembangkan dengan lebih dari sepuluh platform vaksin. Dari sepuluh tersebut, dua di antaranya dikembangkan dengan pendekatan tradisional, sedangkan lainnya menggunakan pendekatan baru.
Platform dengan pendekatan tradisional terdiri dari virus hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine/LAV) dengan 11 kandidat vaksin, dan virus inaktif dengan 16 kandidat vaksin.
Jenis pertama, yaitu LAV, berasal dari patogen hidup yang sudah dilemahkan dan disuntikkan ke tubuh manusia, tetapi tidak menyebabkan sakit penerima vaksin. Vaksin jenis ini sudah ada sejak 1950 dan digunakan untuk mengembangkan vaksin polio, BCG, campak, dan rotavirus.
Pada jenis kedua, yaitu vaksin inaktif, patogen dimatikan terlebih dahulu sebelum disuntikkan ke tubuh pengguna. Teknologi ini digunakan untuk vaksin polio dan pertusis (batuk rejan) sel utuh.
Adapun pendekatan teknologi baru yang digunakan dalam pengembangan vaksin Covid-19 adalah non-replicating viral vector (30 kandidat vaksin), replicating viral vector (38 kandidat vaksin), rekombinan protein (65 vaksin), vaksin berbasis peptida (24 vaksin), Virus Like Particle (28 vaksin), DNA (27 vaksin), RNA (31 vaksin), dan lainnya (51 vaksin).
Pendekatan baru tersebut menggunakan beberapa bagian patogen (virus), seperti kode genetik dan protein virus. Vaksin berbasis kode genetik seperti DNA dan RNA berfungsi dengan mengirimkan instruksi genetik (DNA dan mRNA) pada tubuh sehingga dapat memicu respons imun. Adapun vaksin berbasis protein terdiri dari rekombinan protein, vaksin berbasis peptida, dan Virus Like Particle.
Jenis non-replicating dan replicating viral vector termasuk dalam vaksin vektor viral. Teknologi ini menggunakan virus rekayasa yang disisipkan protein untuk dibawa masuk ke dalam sel tubuh.
Revolusi vaksin
Dari sejumlah ragam platform teknologi pengembangan vaksin tersebut, vaksin berbasis kode genetik DNA dan mRNA disebut-sebut memulai revolusi pengembangan vaksin. Jika berhasil, pengembangan vaksin di masa depan akan beralih menggunakan teknologi ini.
Vaksin berbasis DNA dikembangkan dengan mengirim bagian DNA virus yang direkayasa ke dalam sel. Sel membaca gen virus dan membuat salinannya dalam molekul mRNA. Molekul ini akan menyusun protein virus yang akan terdeteksi sistem kekebalan dan direspons untuk meningkatkan pertahanan.
Adapun vaksin berbasis mRNA bekerja dengan lebih efektif lagi. Tanpa harus mengirim gen DNA, peneliti langsung mengirim mRNA untuk membentuk protein yang dideteksi sistem kekebalan tubuh. Sejumlah perusahaan dan instansi yang mengembangkan vaksin kode genetik ini adalah Inovio, Moderna, Pfizer dan BioNTech, serta CureVac.
Vaksin ini menjanjikan dampak yang lebih efektif dibandingkan dengan platform pengembangan vaksin lainnya. Waktu produksi lebih cepat. Vaksin yang dihasilkan jauh lebih banyak dibandingkan pengembangan vaksin tradisional. Vaksin mRNA bahkan dapat memiliki khasiat lebih kuat hanya dengan sedikit dosis.
Meski demikian, vaksin berbasis kode genetik belum pernah mencapai tahap produksi massal. Vaksin berbasis RNA hanya pernah dikembangkan hingga tahap uji klinis pada kasus MERS dan beberapa penyakit lainnya. Adapun vaksin berbasis DNA sudah digunakan untuk penyakit hewan, seperti canine melanoma dan virus West Nile pada kuda, tetapi belum digunakan pada manusia.
Salah satu pengembang vaksin jenis ini, yaitu Moderna, pun dikritik karena memprediksi keberhasilan vaksinnya yang hanya berbasis data sejumlah pasien tanpa ada data valid. Selain itu, rekayasa yang digunakan untuk pengembangannya juga tidak mudah dilakukan. Proses memasukkan mRNA ke dalam sel sangat sulit dilakukan dengan tingkat kegagalan tinggi.
Teknologi baru yang digunakan memang memiliki banyak kelebihan, tetapi proses transfer teknologi untuk produksi massal perlu diperhatikan. Tanpa transfer teknologi yang matang, target jutaan vaksin yang diproduksi dalam 12-18 bulan akan gagal dicapai.
Transfer teknologi sulit dilakukan karena pengembangan vaksin membutuhkan standar keamanan, kualitas, dan keberhasilan yang tinggi. Prosesnya pun cukup berbahaya, mengingat produk yang dihasilkan berasal dari mikroorganisme (virus, bakteri) yang dapat menular. Maka, prosesnya membutuhkan kontrol penuh dan sangat detail.
Virus atau materi vaksin lainnya, seperti protein, memiliki susunan yang kompleks yang mencapai 2.500 hingga 25.000 atom. Materi ini sangat sensitif terhadap panas, derajat keasaman (pH), dan pelarut organik. Sel materi perlu disimpan dalam bank sel dengan suhu minus 120 derajat celsius.
Distribusinya juga berisiko tinggi. Ruangan penyimpanan selama didistribusikan harus berada di suhu 2-8 derajat celsius dan harus steril. Karena itu, pembangunan pabrik vaksin dan infrastruktur setiap prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tinggi.
Dibutuhkan pula banyak ahli dalam setiap proses manufaktur, kontrol kualitas, regulasi, teknisi, hingga logistik. Dengan banyak ahli yang bekerja, produksi vaksin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Namun, mereka harus bekerja ekstra karena ada tekanan waktu dan produksi yang lebih banyak.
Oleh karena itu, dibutuhkan keterbukaan antarinstansi atau lembaga untuk bekerja sama baik dalam pengembangan maupun produksi vaksin. Kolaborasi ini dapat dimulai dari lembaga internasional, seperti Global Alliance for Vaccines and Immunizations (GAVI) dan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), serta WHO yang tergabung dalam COVAX.
Pemerintah, lembaga, dan perusahaan pengembang juga perlu memastikan ketersediaan investasi serta biaya pengembangan vaksin. Menurut CEPI, dibutuhkan pendanaan global hingga 2 miliar dollar AS untuk pengembangan dan produksi uji coba. Dari jumlah itu, sebanyak 690 juta dollar AS telah dijanjikan tercukupi oleh pemerintah. Sisanya dan 1 miliar dollar AS lagi untuk produksi dan distribusi masih diupayakan.
Target penemuan vaksin dalam waktu singkat sangat sulit dicapai. Masih banyak proses yang harus dikerjakan. Karena itu, sangat bijak apabila kita tetap berjaga-jaga dengan mengikuti protokol kesehatan. (LITBANG KOMPAS)
Oleh DEBORA LAKSMI INDRASWARI
Editor: A TOMY TRINUGROHO
Sumber: Kompas, 12 September 2020