Tren produk makanan dan minuman halal di dunia meluas hingga ke negara-negara berpenduduk mayoritas non-Muslim. Sementara teknologi pangan terus berkembang. Untuk membantu memastikan produk itu halal atau tidak, perlu riset dan fasilitas laboratorium memadai.
Direktur Lembaga Internasional Pelatihan dan Riset Halal (INHART) Prof Irwandi Jaswir mengemukakan hal itu di sela-sela World Halal Summit (WHS) 2015, Jumat (3/4), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Adhitya Ramadhan, dari Kuala Lumpur Convention Center (KLCC), Kuala Lumpur, Malaysia.
Irwandi mengatakan, perkembangan industri pengolahan pangan yang kompleks jadi tantangan lembaga sertifikasi halal. Tantangan lain, diversifikasi bahan pangan yang dipakai industri dalam membuat produk.
Setiap tahapan produksi makanan olahan berisiko terkontaminasi. Sementara konsep halal yang disyaratkan semua lembaga sertifikasi halal ialah pada semua tahapan produksi memenuhi standar halal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mencontohkan, standar halal diterapkan mulai dari rumah potong hewan, pemakaian logistik, transportasi, pengemasan, hingga distribusi. “Jadi, tak ada kontaminasi komponen yang dilarang seperti alkohol pada minuman,” ujarnya.
Sertifikasi halal
Pada situasi seperti itu, peran teknologi jadi penting untuk membantu proses sertifikasi halal. Irwandi mencontohkan, fourier transform infrared (FTIR), teknik spektroskopi yang dipakai untuk analisis cepat kontaminasi kandungan lemak babi.
Contoh lain, hidung elektronik (electronic nose/e-nose) yang dikembangkan International Islamic University of Malaysia (IIUM). E-nose dipakai untuk deteksi kandungan etanol terutama dalam minuman.
Selain penggunaan teknologi untuk membantu proses sertifikasi halal suatu produk, ada juga riset bahan pangan yang halal. Misalnya, muncul inisiatif mencari bahan pengganti pembentuk gelatin selain dari babi. Selain itu, ada studi karotenoid yang sedang berlangsung. Karetonoid berpotensi tinggi menjadi salah satu bahan makanan yang halal di kemudian hari.
Associate Profesor Dzulkifly Mat Hashim dari Lembaga Riset Produk Halal Universiti Putra Malaysia (UPM) mengatakan, dalam proses sertifikasi halal, konsep halal harus diturunkan ke dalam ukuran ilmiah tertentu sehingga bisa terukur. Contohnya, ketika dinyatakan alkohol haram, ilmuwan harus memperjelas definisi alkohol dan dampaknya yang memabukkan ke perhitungan senyawa kimiawi.
Oleh karena itu, lanjut Dzulkifly, proses sertifikasi produk halal memerlukan keberadaan laboratorium forensik halal. Hal itu bertujuan membantu lembaga sertifikasi memutuskan suatu produk halal atau tidak.
Sementara itu, Direktur Hahal Science Center Chulalankorn Unversity Winai Dahlan memaparkan, dalam proses setifikasi halal, ilmuwan berperan membantu lembaga akreditasi dalam menetapkan halal atau tidaknya suatu produk. Lembaga itu harus diisi oleh tokoh agama yang mengerti hukum agama.
Dengan demikian, produk yang lolos sertifikasi halal telah memenuhi kaidah agama dan ilmiah. Jadi, produk yang lolos sertifikasi halal juga secara ilmiah terukur secara jelas.
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Pengembangan Produk Halal Butuh Riset”.