Indonesia Tanpa Pusat Daur Ulang
Volume sampah elektronik terus bertambah, tetapi belum ada satu pun pusat daur ulangnya di Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014, tercatat 19.300 ton sampah elektronik dari sekitar 2.000 industri besar. Itu belum termasuk data dari sektor rumah tangga dan industri kecil-menengah.
“Selama ini, pengelolaan hanya secara dismantling, memisahkan komponen elektronik,” kata Sayid Muhadhar, Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Rabu (18/3).
Sampah elektronik yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3) dapat mencemari lingkungan dan membahayakan manusia jika dibiarkan terpapar di lingkungan tanpa pengelolaan. Baterai, aki, telepon seluler, televisi, dan pendingin ruangan yang rusak dan tak terpakai merupakan limbah mengandung B3, seperti timbal dan polychlorinated biphenyl (PCB).
Saat dibakar, PCB menghasilkan dioksin yang mengganggu organ pernapasan. Material PCB yang terurai dan terakumulasi memicu kanker (karsinogen).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga kini, hanya ada empat tempat pemisahan sampah elektronik. Tiga tempat berada di Jawa dan satu lagi di Batam. Komponen sampah elektronik yang masih bisa digunakan, seperti plastik dan tembaga, dipisahkan lalu diekspor ke Singapura untuk didaur ulang.
Menurut Sayid, ketiadaan pusat daur ulang di Indonesia terkait lemahnya pendataan sampah elektronik. “Dengan ketersediaan data, investor baru bisa diundang bekerja sama membuat pusat daur ulang,” kata Sayid.
Tahun ini, pemerintah berencana mendata sampah elektronik. Caranya, menginventarisasi semua industri elektronik dan barang elektronik milik swasta dan pemerintah.
Layanan daring
Di tengah ketiadaan pusat daur ulang sampah elektronik nasional, muncul usaha daur ulang swasta. Senin lalu, PT Mitra Kersa Artha, perusahaan yang menaungi iSiaga, meluncurkan Ecocash. Ecocash adalah layanan daring yang siap membeli sampah elektronik untuk didaur ulang.
Amrit Gurbani, Co-founder PT Mitra Kersa Artha, mengatakan, sampah elektronik itu akan didaur ulang perusahaan kecil di Bekasi dan Jakarta Selatan. “Sampah tidak kami jual, tetapi disalurkan ke tempat daur ulang,” ujarnya.
Deputi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Sampah Muhammad Ilham mengapresiasi usaha itu. “Namun, setiap perusahaan yang ingin mendaur ulang wajib mendapatkan izin dari Kementerian LHK,” kata Ilham.
Menurut dia, dibutuhkan teknologi, lokasi, dan bahan baku yang tepat untuk mendaur ulang. Itu agar masyarakat di sekitar tempat daur ulang tidak terkena risiko dari sampah elektronik.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, setiap produsen (penghasil limbah) harus melakukan extended producer responsibility (EPR), yakni menarik kembali sampah yang dihasilkan untuk didaur ulang. “Namun, ini masih sukarela, belum diwajibkan,” kata Ilham.
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, sampah elektronik semestinya jadi tanggung jawab industri elektronik. “Jangan hanya menjual produk, tetapi industri elektronik harus menyediakan sistem untuk mengurangi dampak limbahnya. Itu tanggung jawab perusahaan,” ujarnya.
Menurut dia, perusahaan dapat membeli lagi produk elektronik yang tidak digunakan konsumen. “Meskipun belum ada pengaduan, ribuan limbah elektronik itu mau dibawa ke mana?” katanya. (B05)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Maret 2015, di halaman 13 dengan judul “Sampah Elektronik Tak Terdata Baik”.