Untuk bisa memasukkan penapisan hipotiroid kongenital, yakni gangguan bawaan berupa rendahnya hormon tiroid pada bayi baru lahir, ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, Kementerian Kesehatan perlu mengkaji dulu kebutuhan tersebut bersama sejumlah pihak. Saat ini, penapisan yang masuk program JKN baru penapisan kanker leher rahim, diabetes melitus, dan hipertensi alias tekanan darah tinggi.
Kepala Departemen Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, Kemenkes perlu mempertimbangkan mana saja indikasi medis yang mengharuskan ada jaminan. “Tercakupnya penapisan kanker leher rahim, diabetes melitus, dan tekanan darah tinggi merupakan hasil usulan Kemenkes,” kata Irfan, yang dihubungi pada Selasa (10/3) di Jakarta.
Ia menuturkan, BPJS Kesehatan mengelola dana untuk JKN hanya berdasarkan peraturan yang ada, antara lain besaran tarif dan jenis dalam Indonesia Case Based Groups (INA-CBG) serta indikasi-indikasi medis pada pasien. Jika penapisan hipotiroid kongenital sangat dibutuhkan, BPJS Kesehatan butuh masukan dari Kemenkes selaku regulator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika ada usulan dari kalangan profesi kesehatan bahwa penapisan hipotiroid kongenital perlu masuk, angka tarifnya kemungkinan besar dan bisa memengaruhi anggaran kesehatan mendatang, Kemenkes perlu membicarakan dulu dengan semua pihak. “Perlu analisis mendalam, apakah semua bayi harus melewati penapisan,” ujar Irfan.
Hambatan pertumbuhan
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan pada bayi baru lahir akibat penurunan hormon tiroid. Hormon yang terdiri dari tri-iodotironin (T3) dan tetra-iodotironin (T4) tersebut diproduksi kelenjar tiroid atau kelenjar gondok. Fungsi hormon tiroid adalah mengatur panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang, kerja jantung dan saraf, serta pertumbuhan dan perkembangan otak. Jika seorang anak mengalami hipotiroid kongenital, fungsi metabolisme serta kerja jantung dan saraf melambat, tubuh pendek, kemampuan intelegensianya rendah, bahkan bisa menyebabkan keterbelakangan mental.
Sebanyak 95 persen bayi dengan hipotiroid kongenital tidak menunjukkan gejala saat lahir. Gejala mulai tampak saat umur 3-6 bulan. Saat itu sudah terlambat karena bayi biasanya telanjur mengalami keterbelakangan mental. Satu-satunya jalan untuk mendeteksi dini hal itu adalah lewat penapisan pada semua bayi baru lahir, termasuk bayi yang lahir sehat.
Kemarin, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan mengatakan, tanpa upaya memperluas jangkauan penapisan, negara berpotensi menderita kerugian karena bertambahnya sumber daya manusia yang tidak mandiri. Dengan asumsi terdapat 1 bayi dengan hipotiroid kongenital pada tiap 3.000 kelahiran per tahun di dunia, di Indonesia kemungkinan terdapat 1.575 bayi menderita kelainan tersebut. Asumsinya, ada 4.725.000 kelahiran per tahun di Indonesia.
Sementara itu, untuk pendidikan anak dengan keterbelakangan mental, satu kelas di sekolah luar biasa (SLB) idealnya menampung 10 siswa. Perbandingan guru terhadap murid di SLB sebaiknya 1:5. “Jika seperti itu, berapa banyak SLB harus dibangun,” kata Aman.
Nancy Dian Anggraeni, Kepala Subdirektorat Bina Kewaspadaan Penanganan Balita Berisiko Kemenkes, menambahkan, pihaknya pernah mengusulkan penapisan hipotiroid kongenital masuk sebagai salah satu manfaat Kartu Indonesia Sehat untuk JKN. “Kami belum mendapatkan informasi, mengapa belum masuk,” ujarnya.
Saat ini, kata Nancy, Kemenkes mengupayakan pembiayaan penapisan lewat pengusulan dana dekonsentrasi, yakni dana dari pusat untuk kegiatan pemerintah provinsi. Tahun lalu, ada dana dekonsentrasi untuk kegiatan penapisan di 14 provinsi, jatahnya 1.000 sampel per provinsi. Tahun ini, Kemenkes mengusulkan untuk 18 provinsi.
J Galuh Bimantara
Sumber: Kompas Siang | 10 Maret 2015