Produksi Pertanian Belum Berbasis Riset

- Editor

Selasa, 17 Februari 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Luas lahan pertanian di Indonesia yang terbatas menuntut pengoptimalan inovasi produksi berbasis riset dan teknologi agar kebutuhan pangan terpenuhi. Perguruan tinggi telah hasilkan banyak inovasi produksi atau pengolahan hasil pertanian, tetapi sejauh ini kesulitan dalam implementasi.


Guru Besar Budidaya Tanaman dan Genetika Institut Pertanian Bogor (IPB) Sobir, dalam kunjungan ke Redaksi Kompas, Jakarta, Senin (16/2), mengatakan, lahan pertanian tanaman pangan di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan negara lain. Dengan luas sawah 8 juta hektar dan lahan kering 4 juta hektar, perbandingan luas lahan pertanian per kapita di Indonesia hanya 550 meter persegi. Angka ini hanya separuhnya jika dibandingkan dengan Tiongkok yang luas lahan pertaniannya 1.000 meter persegi per kapita.

”Dengan lahan terbatas ini, mau tidak mau kita harus meningkatkan produktivitas. Selain itu, harus memperluas basis produksi ke lahan marjinal. Misalnya, memanfaatkan lahan berkadar garam tinggi dan asam untuk tanaman pangan, dan itu butuh teknologi,” tutur Sobir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, sejauh ini penggunaan riset dan teknologi untuk petani masih minim. Padahal, perguruan tinggi, misalnya IPB, sebenarnya memiliki banyak hasil riset. Beberapa temuan itu antara lain melon orange meta dan melon sunrise meta kualitas unggul, manggis tanpa biji, serta sejumlah produk lain bermutu unggul.

Guru Besar Ekofisiologi Tanaman IPB Munif Ghulamahdi juga sukses mengembangkan budidaya kedelai di kawasan pasang surut. Temuannya telah diujicobakan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Rata-rata volume produksi kedelai yang dihasilkan petani binaannya itu lebih dari 2 ton per hektar. Padahal, rata-rata panen kedelai nasional 1,3 ton per hektar.

Di kawasan pasang surut itu, Munif mengembangkan teknologi budidaya jenuh air, suatu sistem penanaman dengan memberikan irigasi secara terus-menerus dengan tinggi muka air tetap agar lapisan di bawah perakaran jenuh air. Intensitas cahaya matahari yang amat tinggi di kawasan itu dikombinasikan dengan ketersediaan air menyebabkan laju fotosintesis tinggi sehingga jumlah bunga dan polong tinggi.

Munif juga mengembangkan kedelai di lahan pasang surut di Kalimantan. Namun, temuan-temuan itu hingga saat ini belum tersebar luas, padahal peluang meningkatkan produksi kedelai yang selama ini tergantung impor sangat tinggi.

”Pertanyaan, siapa yang bisa melakukan produksi skala luas? Lahannya punya siapa? Kalau petaninya mau, dia mungkin tidak punya modal,” kata Sobir. Sementara perguruan tinggi punya banyak keterbatasan antara lain tidak boleh masuk ke level komersialisasi.

Selain itu, kepemilikan lahan sebagian besar petani di Indonesia relatif kecil. Padahal, penerapan teknologi membutuhkan lahan luas agar ekonomis.

Sementara itu, untuk langsung ke perusahaan, menurut Munif, juga tidak gampang. ”Perusahaan biasanya maunya eksklusif. Kalau temuan sudah diserahkan ke perusahaan, sulit terjadi transformasi ke petani,” ujarnya.

Maka dari itu, Munif berharap ada proses mediasi sehingga hasil riset di bidang pertanian yang dihasilkan perguruan tinggi bisa diimplementasikan kepada petani. ”Dulu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebenarnya disiapkan untuk menjembatani hal ini,” katanya. (AIK)

Sumber: Kompas, 17 Februari 2015

Posted from WordPress for Android

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB