Kewaspadaan terhadap serangan bioterorisme di Indonesia dinilai masih rendah. Padahal, dalam jangka panjang, dampak bioterorisme berpotensi menghancurkan perekonomian negara.
Untuk itu, pemerintah diminta mempertimbangkan unsur bioterorisme dalam setiap wabah penyakit yang terjadi kepada manusia maupun hewan di Tanah Air. Vaksin biodefens atau vaksin pelindung yang bisa menangkal serangan penyakit itu juga perlu dikembangkan lebih serius.
Demikian inti dari orasi ilmiah Chairul Anwar Nidom yang akan disampaikan saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Biokimia dan Biologi Molekular pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/1) ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain Nidom, dua guru besar lain juga akan dikukuhkan. Mereka adalah I Ketut Sudiana sebagai Guru Besar Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Unair dan Tini Surtiningih sebagai Guru Besar Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Unair.
”Negara-negara lain sudah jauh memikirkan antisipasi bioterorisme dan sudah menjadi kebutuhan. Di Indonesia belum sejauh itu,” kata Nidom di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (15/1). Bahkan, Indonesia belum punya undang-undang tentang antisipasi munculnya bioterorisme. Antisipasi yang dilakukan baru bersifat kuratif yakni vaksin dicari saat ada wabah penyakit. Langkah itu butuh dana besar.
Nidom meneliti sejumlah kasus penyakit seperti virus flu burung subclade 2,1 (wabah tahun 2003), flu burung subclade 2,3 (wabah 2012), flu babi (tahun 2009), dan ebola di Indonesia. Ia menemukan struktur penyusun virus-virus itu tak alami atau tak bersumber di Indonesia.
Pada tahun 2009, Nidom bersama tim peneliti dari Pusat Penelitian Flu Burung Unair tak sengaja menemukan penanda jejak virus ebola pada beberapa spesies hewan di Indonesia, terutama orangutan. Jejak virus ebola itu sesuai dengan virus ebola yang terjadi di Afrika.
Hasil riset itu disampaikan ke pemerintah terutama Kementerian Pertahanan. Namun, pemerintah tak berbuat banyak karena belum ada payung hukumnya. Karena itu, Nidom mengusulkan agar Unair mengembangkan Pusat Riset/Kajian Anti Bioterorisme dengan fasilitas yang ada, sehingga tim bisa mengembangkan vaksin biodefense.
Konsep vaksin biodefense mirip dengan imunisasi. Masyarakat, terutama di daerah rawan wabah penyakit, diberi vaksin biodefense untuk menangkal penyakit itu. Upaya pencegahan itu diikuti pencarian vaksin. Jadi, masyarakat terlindungi saat para ahli membuat vaksin dari virus itu yang butuh waktu lama.
Vaksin biodefense yang digagas Nidom dibuat dengan cara mencari senyawa ”X” dari tubuh manusia yang berfungsi melindungi tubuh dari berbagai penyakit. Proses pencarian senyawa ”X” itu, menurut Nidom, sudah berjalan 20 persen. Dari senyawa itu, tim peneliti bisa mengembangkan jadi vaksin biodefense. (DEN)
Sumber: Kamis, 16 Januari 2015