Di tengah udara dini hari yang menggigit kulit, sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan yang praktik di empang udang di Bagian Administrasi Pelatihan Perikanan Lapangan di Serang, Banten, tetap harus terjaga untuk menyebarkan pakan di empang. Ketika panen dengan siklus empat bulanan tiba, mahasiswa harus rela terendam air dingin pada dini hari di dalam empang untuk memanen udang vaname.
Kesiagaan untuk tetap bekerja saat dini hari bukan sekadar untuk melatih mental dan fisik mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan (STP), yang merupakan salah satu perguruan tinggi vokasi di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pelatihan sejak di bangku kuliah ini dikenalkan agar mahasiswa terbiasa menghadapi siklus kerja di industri perikanan.
Tidak hanya dilatih untuk mengurusi udang yang dikembangkan dengan teknologi budidaya udang skala mini empang plastik (busmetik) yang lebih menguntungkan dan ramah lingkungan, mahasiswa juga diberi kepercayaan untuk menjadi wirausaha di bidang perikanan. Mereka bersama-sama mengelola empang dengan modal secara patungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Semangat pun terpicu untuk merawat udang sebaik-baiknya agar hasilnya menguntungkan.
Eksistensi pendidikan vokasi bidang perikanan dan kelautan di bawah KKP ini memang bagian dari keberpihakan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang terampil dalam mengolah potensi kelautan di Indonesia. STP Jakarta menyediakan tenaga terampil jenjang diploma hingga pascasarjana.
Adapun di level menengah ada sembilan pendidikan vokasi Sekolah Usaha Perikanan Menengah atau setara SMK. Akademi Kelautan dan Perikanan juga diubah menjadi politeknik untuk menguatkan program studi yang dibutuhkan. I Nyoman Suyasa, Kepala Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, KKP, mengatakan, program pendidikan dikembangkan sesuai dengan potensi di sekitar lokasi sekolah.
Pendidikan dilaksanakan dengan sistem asrama untuk membangun karakter peserta didik dengan pendekatan pendidikan di pabrik (teaching factory) agar sesuai kebutuhan dunia industri atau dunia kerja. Sebanyak 40 persen siswa atau mahasiswa diambil dari anak-anak pelaku usaha perikanan, seperti nelayan. Pendidikan vokasi yang dikembangkan KKP mampu menciptakan tenaga kerja terampil yang diburu di dalam dan luar negeri. Lulusan nautika dan perikanan laut diincar oleh perusahaan asing, utamanya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara di Afrika.
RD Kusumanto, Ketua Forum Direktur Politeknik Negeri Se-Indonesia, mengatakan, penguatan pendidikan vokasi akan mampu menyiapkan tenaga kerja terampil karena pendidikan lebih ditekankan dengan praktik seperti yang terjadi di industri atau dikenal dengan teaching factory. Perusahaan pun terbantu karena mendapatkan calon tenaga kerja yang sudah siap kerja.
Namun, penguatan pendidikan vokasi, baik jenjang SMK maupun politeknik, masih menghadapi tantangan. Kualitas masih harus diperjuangkan karena ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, terutama alat-alat praktik yang belum memadai, termasuk pula sulitnya memenuhi kebutuhan dosen yang juga terampil dan memiliki pengalaman di industri. Kusumanto, Direktur Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan, pendidikan vokasi harus dikembangkan sesuai potensi daerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengembangan program studi vokasi bisa disesuaikan untuk mendukung Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), tetapi justru hal ini masih belum terencana dengan baik.
Gatot Hari Priowirjanto, Direktur South-East Asian Ministers of Education Organization Regional Open Learning Center, yang mengembangkan program kerja sama pendidikan vokasi Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk ASEAN, mengatakan, penguatan pendidikan vokasi juga bisa dilakukan dengan kerja sama sesama institusi pendidikan ataupun industri di dalam dan luar negeri. Adanya dukungan untuk menyediakan tempat magang akan membuat siswa ataupun mahasiswa semakin terlatih untuk bisa siap terjun di dunia kerja.
Kurikulum vokasi
Komitmen penguatan pendidikan vokasi mulai jenjang SMK, akademi komunitas, hingga perguruan tinggi harus dengan arah yang jelas agar ketersediaan tenaga terampil ini mampu diserap industri yang relevan. Potensi institusi pendidikan vokasi yang tidak saja menyiapkan tenaga kerja terampil, tetapi juga inovasi atau teknologi tepat guna sudah sewajarnya dikembangkan untuk menjadi salah satu pilar dalam menopang pertumbuhan ekonomi bangsa.
Sayangnya, menurut Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dwikorita Karnawati, pendidikan tinggi vokasi belum mendapat perhatian pemerintah. Ini bisa dilihat dari sisi kurikulum dan anggaran yang belum maksimal. Padahal, Indonesia membutuhkan tenaga kerja terampil agar tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara anggota ASEAN. Rita berharap, para pengelola pendidikan vokasi bisa bekerja sama menyusun kurikulum pendidikan vokasi. Sampai saat ini belum ada kurikulum sistem pembelajaran pendidikan vokasi. Sistem pembelajaran yang menjadi acuan selama ini hanya menekankan kurikulum pendidikan tinggi secara umum.
Kekurangan dosen terapan juga menjadi keluhan Direktur Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta Sarmada. Sampai saat ini rata-rata politeknik hanya mampu mencetak alumni hingga tingkat D-4 (setara S-1) karena kekurangan dosen terapan yang bergelar minimal magister. Idealnya, politeknik bisa mencetak lulusan tingkat magister. Ini persoalan mendesak karena kebutuhan akan tenaga terampil pada bidang ini tinggi. Paling tidak setiap tahunnya 70-80 persen lulusan politeknik ini terserap ke dunia kerja baik di dalam maupun luar negeri.
Meski masih banyak kendala dan tantangan, Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mustaghfirin Amin memberikan kabar positif. Mulai tahun depan, lulusan SMK akan langsung mendapat sertifikat keahlian dari pemerintah agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing pada saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku. Mulai tahun depan, lulusan SMK tidak bisa hanya memegang ijazah sebagai bukti kelulusan, tetapi juga sertifikat keahlian. ”Kemdikbud sudah bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan teknis pelaksanaan dilakukan sekolah dan lembaga sertifikasi,” ujarnya.
Jika telah memiliki sertifikat keahlian itu, lulusan SMK akan diakui oleh negara-negara anggota ASEAN. Harapannya, lulusan SMK dari Indonesia akan bisa bekerja di negara anggota ASEAN. Begitu pula sebaliknya. Untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK, Mustaghfirin telah menyiapkan bantuan peningkatan kualitas pembelajaran untuk semua SMK sebesar Rp 700 juta. Bantuan ini diprioritaskan bagi SMK di bidang kelautan dan perikanan karena lulusannya ditargetkan bersertifikat standar internasional. Saat ini terdapat 145 SMK perikanan dan 170 SMK kelautan. ”Prioritasnya ini karena sesuai program Pak Presiden Jokowi,” ujarnya.
Oleh: Ester Lince Napitupulu/Luki Aulia
Sumber: Kompas, 28 November 2014