Sementara raksasa Amerika, Boeing, menilai, 2009 merupakan tahun terburuk sejak tahun 1971, tetapi toh tetap sukses menyerahkan 481 pesawat penumpang, sementara pesanan yang berhasil dibukukan mencapai 263 pesanan, termasuk jet yang sangat populer di sini, yakni 178 jet seri 737 (Show News, Aviation Week, 2/2).
Berita di atas menunjukkan, di kalangan industri pembuat pesawat pun, dengan segala tantangan yang dihadapi, terus menyala semangat optimisme penerbangan. Lebih-lebih ketika otoritas penerbangan dunia sendiri mengakui, ekonomi global bisa keluar dari krisis keuangan lebih cepat daripada yang diperkirakan semula. Di Pameran Kedirgantaraan Berlin, Juni lalu, Direktur Jenderal dan CEO Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) Giovanni Bisignani menyatakan, kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, dan Timur Tengah akan pulih, tetapi Asia Pasifik diperkirakan tumbuh paling baik.
Selain bertambah ramai, udara di kawasan ini juga akan ditandai dengan munculnya pesawat penumpang generasi baru. Setelah diawali dengan Singapore Airlines tahun 2007, maskapai lain seperti Emirates juga menerbangkan jet superjumbo Airbus A-380. Pesawat generasi baru lain yang dalam beberapa tahun mendatang meramaikan penerbangan adalah Boeing 787 Dreamliner, jet yang dari berbagai segi menghadirkan teknologi baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Merebut peluang
Peluang meraih kemajuan industri penerbangan di atas juga terbuka bagi Indonesia, tetapi untuk meraihnya harus siap mengerjakan pekerjaan rumah, yakni penyelenggaraan layanan penerbangan yang aman dan nyaman.
Termasuk di dalam aspek kenyamanan, selain di dalam kabin pesawat, adalah penanganan di darat (check-in dan pengambilan bagasi), juga ketepatan waktu berangkat dan kedatangan.
Listrik mati 7 Agustus lalu—yang menyebabkan 63 pesawat tertunda keberangkatannya dan penumpang harus antre hingga sepanjang 300 meter—belum mendukung upaya meraih peluang emas di atas. Demikian pula matinya radar pengontrol lalu lintas penerbangan pada Minggu (29/8) pagi.
Kita tahu, informasi yang diperoleh radar diproses oleh staf pengendali lalu lintas udara (Air Traffic Control/ATC) yang ada di menara bandara. Dengan mengamati layar radar, pengendali pesawat yang akan mendarat membimbing pesawat tersebut menuju landasan. Pengontrol ini pula yang akan meminta pesawat untuk menunggu di holding stack jika saja ada inspeksi landasan, perubahan arah angin, atau landasan penuh di jam sibuk.
ATC merupakan elemen vital dalam layanan penerbangan. Oleh sebab itu, keandalan sistemnya menjadi pusat perhatian di berbagai penjuru dunia. Hanya saja, di AS pun, peralatan ATC yang digunakan umumnya digolongkan tua jika dibandingkan dengan industri lain. Tampaknya mengoperasikan sistem yang sudah terbukti andal seperti halnya radar masih lebih dipilih daripada sekadar mengikuti kemajuan zaman.
Meski demikian, layar radar yang sudah tampak ketinggalan zaman kini mulai digantikan oleh layar komputer yang diberi umpan oleh informasi GPS (global positioning system) yang berbasis satelit dan komunikasi antara pengontrol dan pesawat menjadi jauh lebih mudah. (Lihat The Flying Book, David Blatner, 2003.)
Seiring dengan makin berkembangnya penerbangan, ditandai dengan makin banyaknya pesawat yang ada di udara pada satu waktu, maka pengendalian lalu lintas udara (ATC) pun semakin mengandalkan komputer. Adanya program komputer yang bisa dioperasikan oleh pengontrol penerbangan membuat mereka bisa lebih mudah mengendalikan lebih banyak pesawat di udara yang sibuk dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Blatner menambahkan, di masa yang akan datang, staf ATC akan bekerja dalam lingkungan tiga dimensi yang diciptakan oleh komputer, di mana mereka bisa ”terbang” melalui udara (airspace) dan melihat matriks pesawat yang bergerak dari berbagai sudut.
Peningkatan berkelanjutan
Disertai harapan untuk meningkatkan kedatangan turis, dan lebih umum untuk meningkatkan ekonomi nasional, industri angkutan penerbangan akan terus bertumbuh mengiringi. Dalam kaitan inilah perbaikan layanan secara terus-menerus masih perlu dilakukan sehingga ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan pesawat semakin bisa lebih dipastikan. Tersedianya sistem ATC yang andal jelas menjadi salah satu pendukung penting.
Menyusul matinya radar Minggu lalu, Kementerian Perhubungan mengumumkan rencana pemasangan sistem radar baru senilai Rp 700 miliar. Rencana itu, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti, akan dilaksanakan tahun ini (Jakarta Post, 31/8).
Ketika Indonesia tengah berjuang keras memutakhirkan infrastruktur penerbangan sipil, negara seperti AS juga sedang menjajaki pengalihan sistem pendaratan dari radar ke GPS. Sejak tahun 2005 Badan Penerbangan Federal (FAA) menyetujui approach pesawat berbasis satelit yang dikenal dengan nama Required Navigation Performance (RNP) pada lebih dari 100 bandara. Ini dilakukan sebagai bagian untuk memodernisasi ruang udara Amerika pada tahun 2025 (IHT, 28-29/8).
Kita yakin, hanya dengan sistem pengelolaan yang makin profesional, peluang industri penerbangan sipil Indonesia bisa menyongsong masa depan cerah. Dengan itulah rencana seperti mengoperasikan jet superjumbo A-380 tidak terdengar muluk. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 1 September 2010 | 04:23 WIB