Orang-orang kita—dan sebenarnya termasuk para pemimpin politik kita juga—tidak menyadari bahwa sains adalah sejenis budaya.
Our common people—and actually our political leaders too—don’t realise that science is a kind of culture. They think of it as just something that… lets you repair electric lights. They don’t understand the system of thought that lies behind.
Fang Lizhi (E Vickers dan Z Xiaodong 2018)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fang Lizhi (1936-2012) adalah fisikawan Tiongkok yang lari dari negaranya tahun 1989 karena dituduh ikut memprovokasi mahasiswa pada peristiwa protes dan pembunuhan di Lapangan Tiananmen, dikenal dengan istilah Tiananmen Square Massacre. Sebelum lari, ia mengkritik kebijakan Pemerintah Tiongkok yang cenderung melihat sains itu sebagai tools atau perangkat untuk technical fixes semata dan bukan sebagai cara memahami dunia. Orientasi pada hal yang teknikal itu dipilih menjadi jalan negara untuk mengejar modernisasi.
Fang Lizhi lantas mengatakan: ”Orang-orang kita—dan sebenarnya termasuk para pemimpin politik kita juga—tidak menyadari bahwa sains adalah sejenis budaya. Mereka menganggapnya hanya sebagai sesuatu yang… seperti ketika Anda hendak memperbaiki lampu listrik. Mereka tidak memahami sistem pemikiran yang ada di baliknya”.
Kutipan ini penting untuk membawa pada sebuah pemahaman tentang budaya riset, tradisi inovasi, dan juga pentingnya ekosistem penelitian. Bangsa Barat menjadi maju karena memiliki kekuatan dalam ilmu pengetahuan yang berangkat dari adanya sistem pemikiran dan budaya berpikir yang mendukung berkembangnya pengetahuan tersebut. Dulu umat Islam di Baghdad dan Kordoba juga bisa kuat dan maju dalam sains karena ada tradisi keilmuan yang menopangnya.
Budaya riset itu, dalam bahasa LT Handoko, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), diringkaskan sebagai ”keingintahuan yang besar, peka pada masalah di sekitarnya, kreatif mencari solusi, dan kompeten membuktikannya secara ilmiah dalam bentuk karya ilmiah yang diakui komunitasnya” (2021).
Sesuai dengan namanya, yaitu re-search, maka riset adalah kajian mendalam yang dilakukan berulang-ulang. Ciri dari kerja riset itu adalah selalu menghasilkan kebaruan (novelty). Bukan melakukan repetisi dari karya orang lain, sekadar imitasi, dan apalagi plagiarisme. Jika budaya riset itu hidup pada suatu bangsa, maka akan banyak lahir kreativitas, invensi, dan inovasi yang bisa membawa bangsa itu unggul dan mendapatkan tempat terhormat di percaturan global.
Kerja riset itu secara etis harus ditopang dengan pengakuan terhadap karya-karya yang pernah dilakukan para ilmuwan sebelumnya dan posisi temuan atau inovasi baru yang kita hasilkan dalam kerangka dan tradisi keilmuan yang ada. Bukan sekadar memasukkannya dalam footnote atau daftar referensi yang sangat panjang atau menganggap bahwa diri kita sendirilah yang paling tahu. Namun, sebuah pengakuan yang tulus bahwa para ilmuwan itu selalu berdiri di atas kerja dan temuan-temuan ilmiah sebelumnya, standing on the shoulders of giants.
Budaya riset tak selalu identik dan tak mesti bergantung pada ketersediaan dana yang besar. Jika pemerintah sekadar menyediakan dana besar tetapi ternyata tidak ada budaya riset yang baik, dana itu bisa saja akan menjadi ajang bancakan, pura-pura riset, atau bahkan digunakan untuk hal-hal di luar riset sama sekali. Namun, memang, ekosistem riset yang baik itu mesti ada agar tercipta riset dan inovasi yang unggul. Ekosistem itu umumnya terdiri dari SDM periset yang unggul, fasilitas atau infrastruktur riset yang baik, pendanaan yang cukup, dan lingkungan penelitian yang memadai.
Selain ekosistem, ada beberapa pilar yang bisa mendukung penyelenggaraan riset dan inovasi. Dengan diintegrasikannya seluruh lembaga penelitian pemerintah ke dalam BRIN, tentunya lembaga ini menjadi pilar pertama dalam pengembangan riset dan inovasi di Tanah Air. Namun, BRIN bukanlah satu-satunya. Ada berbagai kampus, baik negeri maupun swasta, yang berada di bawah Kemendikbud Ristek yang juga bergerak dalam riset dan inovasi.
Kemudian ada Lembaga Riset Independen (LRI), seperti CSIS, SMERU, Akatiga, dan PUSAD Paramadina. Juga berbagai organisasi profesi keilmuwan, seperti Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Asosiasi Peneliti Agama Indonesia (APAI), dan Perhimpunan Periset Indonesia (PPI). Saling dukung dan kolaborasi berbagai pilar itu yang akan mendorong cepat berkembangnya budaya riset.
Demikian pula dengan pihak swasta, seperti berbagai perusahaan dan industri di tanah air. Dalam webinar yang diselenggarakan CSEAS Kyoto tentang ”A New Arrangement for Research in Indonesia”, Rabu (22/12), disebutkan bahwa riset di Jepang itu 80 persen dilakukan swasta, sementara sisanya dilakukan pemerintah. Di Indonesia kondisinya justru terbalik. Swasta masih berkontribusi kecil dalam keterlibatan dan pengembangan riset dan inovasi. Kerja sama dengan swasta dan LRI inilah di antaranya yang perlu diperkuat dan diberdayakan di masa mendatang. Tidak mungkin semua dilakukan oleh pemerintah.
Cita-cita mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun budaya riset dan inovasi itu telah lama ada di Indonesia. Lapan (1963), Batan (1964), dan LIPI (1967) berdiri di era Soekarno. Upaya itu dilanjutkan di masa Orde Baru dengan pendirian Puspiptek (1976) dan BPPT (1978), dengan BJ Habibie sebagai tokoh sekaligus ikon-nya.
Selain lembaga riset, berbagai pusat ilmu pengetahuan dan teknologi juga dibangun. Di Serpong ada National Science Techno Park. Di Cibinong juga dibangun Cibinong Science Center. Kemudian di Bandung dan Yogyakarta ada Science Center dan Science Park. Sekarang, pemerintah juga sedang membangun Bukit Algoritma di Sukabumi yang diharapkan menjadi pusat teknologi dan inovasi seperti Silicon Valley di Amerika Serikat. Dari pihak swasta, Grup Lippo juga pernah membangun kawasan yang menggabungkan bisnis cyber, media massa berbasis daring, dan pusat teknologi di Karawaci. Tempat itu diberi nama Lippo Cyber Park yang di dalamnya ada LippoStar.com, Link-Net, LippoShop, First Media, dan lainnya.
Sejak Habibie turun dari posisinya sebagai presiden, gairah terhadap pengembangan riset dan inovasi sempat mengalami penurunan. Gairah ini kembali dibangkitkan pada periode kedua dari Presiden Joko Widodo dengan pembentukan BRIN yang mengintegrasikan Kemenristek serta berbagai lembaga riset pemerintah di kementerian dan LPNK dalam institusi baru tersebut. Ada harapan dan tantangan besar dari lembaga baru ini. Jika berhasil, ia bisa menjadi fondasi bagi Indonesia emas 2045 nanti.
Ahmad Najib Burhani Profesor Riset di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 8 Januari 2022