CATATAN IPTEK
Atmosfer riset telah ada di Lembaga Eijkman sejak awal dibangun lebih dari 30 tahun lalu. Suasana dan kerja sama antara periset dan staf lain di lembaga itu pun terbangun dengan baik.
Pradiptajati Kusuma (33), doktor lulusan University of Touluse, Perancis masih teringat dengan perjumpaan awalnya dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 2010. Waktu itu dia masih mahasiswa tingkat akhir Program Studi Biologi, Institut Teknologi Bandung yang magang di Eijkman.
Dalam satu pertemuan mingguan, Pradipta diminta mempresentasikan progres penelitiannya di hadapan peneliti senior, termasuk juga Kepala LBM Eijkman Prof Sangkot Marzuki. “Saya mempresentasikan DNA barcoding yang jadi bagian tugas akhir kuliah saya. Dengan bahasa Inggris belepotan, tapi, para senior itu menanggapi serius dan apresiatif,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pradiptajati langsung jatuh cinta dengan Eijkman. “Suasana saintifik, kompetitif, dan produktif, tapi saling menghargai. Saya melihat Eijkman itu isinya orang-orang yang punya panggilan sains,” kata dia.
Maka, setamat kuliah pada akhir tahun 2010 itu, dia pun memutuskan kerja di Eijkman. “Tanpa mikir akan digaji berapa,” kata dia.
Sambil bekerja sebagai asisten riset dia meneruskan kuliah di Jurusan Biomedical Science, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (UI) di bawah bimbingan seniornya di Eijkman yang juga Guru Besar di FK UI, Herawati Supolo Sudoyo. Begitu selesai dia langsung melanjutkan studi genetika populasi di Touluse.
Salah satu riset untuk disertasinya menemukan, etnis Banjar di Kalimantan Selatan sebagai nenek moyang orang Madagaskar. Diaspora melintasi Samudra Hindia itu terjadi 1.200 tahun lalu dan menjawab teka-teki orang Indonesia yang menjadi leluhur populasi di pulau kecil di pantai timur Afrika tersebut.
Riset ini dipublikasikan di Nature Scientific Reports edisi 18 Mei 2016. Total, selama karirnya yang masih muda sebagai peneliti, Pradiptajati telah menerbitkan 15 paper ilmiah di jurnal internasional dan 1 chapter (bab) buku.
Pradiptajati adalah satu dari ratusan staf LBM Eijkman yang diberhentikan per 31 Desember 2021, terkait dengan peleburan lembaga ini ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dari 157 orang staf Lembaga Eijkman, 96 di antaranya peneliti, sebanyak 115 di antaranya diberhentikan. Hanya 42 orang berstatus ASN, 15 di antaranya peneliti, yang bisa bergabung ke BRIN.
Sebagai periset yang sudah doktor, Pradiptajati sebenarnya berkesempatan mengikuti penerimaan aparatur sipil negara melalui Program Talenta, sebagaimana ditawarkan BRIN. Namun, dia termasuk yang memilih untuk tidak mendaftar. Dia khawatir tidak menemukan ekosistem riset yang sesuai sebagaimana Eijkman lama.
“Ini soal pilihan. Saya ingin tetap bebas melakukan penelitian, baik di luar dan dalam negeri. Di mana pun saya bisa diapresiasi dan independen. Ekosistem riset bagi saya sangat penting,” kata dia.
Egaliter
Isabella Apriyana (33), juga merasakan ekosistem riset kondusif yang membuatnya bertahan selama 10 tahun di LBM Eijkman, sebelum diberhentikan akhir Desember 2021 ini. Tak hanya dalam riset, namun dalam keseharian, hubungan antara periset senior hingga staf kebersihan terjalin dengan baik dan egaliter, tanpa memandang suku dan agama.
Baginya, Eijkman bukan hanya tempat bekerja, tapi sudah menjadi keluarga besar. “Penelitian dan pelayanan di Eijkman selama ini bisa terwujud karena kami bekerja sebagai satu kesatuan. Baik yang jenjang D3/D4/S1/S2/S3 semua punya tugas masing-masing dan bersinergi, peneliti dan non peneliti,” kata dia.
Misalnya, staf kebersihan di Eijkman juga sudah dilatih untuk membersihkan lab-lab high-containment dan infeksius. Bahkan, tim sekuriti mengerti bagaimana mengatasi jika pembeku sampel tiba-tiba eror di tengah malam.
Contoh lain,ada peneliti sepuh tidak punya gelar doktor, namun satu-satunya yang bisa menumbuhkan virus SARS-CoV-2 di laboratorium untuk uji PRNT (plaque reduction neutralization test), yaitu uji netralisasi virus oleh antibodi dalam darah. Sebagaimana Isabela, peneliti sepuh ini juga tidak bisa bergabung dengan BRIN, karena secara teknis tidak memenuhi kriteria.
“Bagi saya tidak mungkin mendapatkan sekolah doktor dengan tempo waktu satu bulan, sebagaimana yang ditawarkan,” kata dia.
Maka, bagi Isabella, “Eijkman tidak akan pernah sama lagi tanpa sumber daya manusia-nya, tanpa infrastrukturnya, tanpa kerja sama antar unit riset, tanpa kultur dan lingkungan riset berstandar internasional yang telah dibangun susah payah 33 tahun terakhir ini,” kata dia.
Herawati Supolo Sudoyo, salah satu dari 10 peneliti pertama yang direkrut Sangkot Marzuki saat mendirikan Eijkman pada Juli 1992 mengatakan, sejak semula lembaga Eijkman memang dibangun secara egaliter, independen, dan tidak birokratis. “Sejak awal Prof Sangkot menekankan untuk tidak memandang identitas dan warna kulit, termasuk status ASN atau bukan, yang penting punya panggilan dan bekerja totalitas sebagai peneliti,” kata dia.
Kini, keluarga besar LBM Eijkman, yang menjadi rumah Herawati puluhan tahun itu sudah tiada. Namun, dia berharap semangat para peneliti eks-Eijkman tidak pupus dan bisa ditularkan di mana pun mereka kemudian berkarya.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 Januari 2022