SIAPAKAH nenek moyang manusia Jawa? Seperti pada teori Darwin (The Origin of Species) atau karya Ernst Haeckel (The History of Natural Creation), apakah mereka itu sejenis manusia yang secara fisik mirip monyet? Apakah bisu, tanpa artikulasi bahasa, sehingga disebut sebagai Pithecantropus alalus?
Tidak mudah menjawab persoalan itu. Bahkan, E Dubois, peneliti “Manusia Jawa” paling awal, hingga meninggal dunia pun belum mampu menyingkap misteri tersebut. Meski demikian, dengan mengutip Koentjaraningrat, Prof Drs Suwaji Bastomi (Seni dan Budaya Jawa, 1995: 15), menyatakan pada 2 Juta tahun yang lalu Pulau Jawa sudah didiami manusia. Prof Dr Koentjaraningrat sendiri, tidak menyebut angka itu. Mengutip Heekeren, anthropolog ternama tersebut menyebutkan, sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di Pulau Jawa sudah memiliki kebudayaan.
Jika “kebudayaan” dikesampingkan, maka secara teoritik Pulau Jawa sudah dihuni manusia jauh sebelum 800.000 tahun yang lalu. Barangkali karena itu pulalah, Prof Dr Teuku Jacob, paleoanthropolog, berani menyatakan Pulau Jawa sudah didiami Homo Erectus sejak 1,8 Juta tahun yang lalu. Meski begitu, pengajar Anthoropologi Ragawi dari UGM tersebut mengingatkan, janganlah dikacaukan antara Java Man pada masa lalu dengan orang Jawa masa kini. “Tak ada hubungannya,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, ada kemungkinan nenek moyang manusia Jawa bukanlah Homo Erectus yang ditemukan di Perning, Kabupaten Gresik. Terlalu jauh menghubungkan Homo Erectus yang mendiami Pulau Jawa 1,8 Juta tahun yang lalu itu dengan Homo Sapiens yang menjadi cikal bakal manusia masa kini. “Saya kira jika dicari yang terdekat dengan manusia Jawa masa kini, mungkin yang berasal dari Wajak,” ujar T Jacob lagi.
Drs Eko Kunto Hendro, MA, arkeolog dari Universitas Diponegoro, menyepakati temuan Teuku Jacob. Di samping menyebut 1,8 Juta tahun yang lalu Pulau Jawa sudah dihuni manusia, peneliti itu menyatakan juga jenis manusia yang menjadi asal-usul manusia Jawa. “Manusia asli Jawa itu berjenis Australomelanesid Bentuknya seperti manusia pedalaman Irian Jaya masa kini.” tutumya.
Berbudaya Jawa?
Persoalannya sekarang, apakah jenis-jenis manusia yang telah disebutkan itu sudah berbudaya Jawa?
Secara teoritik, manusia-manusia yang ditemukan di tempat lain pun pada masa itu hanya berburu dan meramu. Karenanya, sistem “industri”, organisasi sosialnya pun masih mirip satu dengan lainnya. Jika dianalisis dengan kriteria manusia Jawa ala Franz Magnis Suseno atau Hilderd Geertz, mereka itu belum tentu dapat digolongkan sebagai manusia Jawa. Mungkin mereka sudah mengembangkan prinsip rukun dan hormat, tetapi seperti pendapat T Jacob, bentuknya masih sangat sederhana.
Karenanya, beralasan juga jika Eko Kunto Hendro berpendapat, manusia Jawa baru benar-benar njawani setelah memasuki “Zaman Mataram”. “Pada masa Demak belum. Budayanya masih sangat Islami. Pada masa Mataraman, hampir semua unsur budaya yang berasal dari pengaruh asing dijawakan. Jadi, jika kita berbicara tentang manusia Jawa jutaan tahun yang lalu, sebenarnya lebih ditinjau dari segi biologis,” tuturnya.
Diwawancarai secara terpisah, Dr. Djuliati Suroyo, sejarawan dari Universitas Diponegoro meragukan apakah manusia-manusia Jawa purba itu sudah dapat disebut sebagai manusia Jawa. Pada pandangannya, memperbincangkan manusia Jawa tidak mungkin dipisahkan dari konsepsi budaya yang mengondisikan perilaku sosial budayanya. “Hal-hal yang tidak ada bukti tertulisnya dalam sejarah masih dianggap sebagai temuan yang spekulatif,” katanya.
Bertolak dari premis itu dan dari data sejarah yang ada, dia berkesimpulan hendaknya untuk melihat manusia Jawa permulaan, harus dilihat dari kerajaan Jawa permulaan. “Mungkin baru pada abad ke-5, apa yang dianggap manusia Jawa itu ada. Pada masa itu, Kerajaan Tarumanegara sudah menggunakan pola-pola Jawa dalam kehidupan sosialnya.”
Meski begitu, dikatakannya pula, sebenarnya geografer Yunani dalam Berita Yunani pada abad ke-1 telah menyebut istilah labadiu. Istilah itu digunakan untuk melukiskan sebuah gu-gus pulau di Timur yang menghasilkan padi. “Saya kira geografer itu menyebut Jawa. Sebab, memang sejak dulu Pulau Jawa merupakan penghasil padi terbesar. Malah istilah Jawa sendiri berasal dari jawawud atau katul.” katanya.
Karena itu, menurut Djuliati, paling tidak pada abad ke-1 sudah ada manusia Jawa yang menghasilkan padi. Tentu secara teoritik. manusia Jawa pun sudah ada di masa itu. “Saya tidak berani menyebutkan date-nya yang tepat. Disiplin saya tidak memungkinkan untuk menyatakan sesuatu hal tanpa ada peninggalan tertulisnya.”
Versi lain
Ada baiknya dilihat pula versi lain. Pada Babad Tanah Jawi asal-usul manusia Jawa disebut berasal dari Nabi Adam. Nabi Adam menurunkan Nabi Sis, hingga Brawijaya V dan raja-raja Jawa lainnya.
Ada pula yang melukiskannya sebagai keturunan para wayang dan wali. terutama Syeh Wali Lanang (Mudjanto,1987). Yang menarik, seperti yang ditulis Francois Semah, Anne-Marie Semah dan Toni Djubiantono dalam They Discovered Java, ada seorang pengelana Jawa yang menyebut nenek moyang Jawa berasal dari Kedungbrubus. Kedungbrubus merupakan satu situs yang cukup penting di antara tempat-tempat yang diteliti Dubois. Daerah ini menjadi terkenal karena banyaknya tulang belulang yang telah ditemukan penduduk setempat yang mereka hubungkan dengan sisa-sisa dari korban mitos perang besar yang berasal dari tradisi wayang. Dongeng- dongeng tua ini dapat ditemukan dalam buku karangan RMAA Candranegara, yang ditulis pada pertengahan abad kesembilan belas yang berjudul Perjalanan RMA Purwa Lelana.
Apa kata Candranegara? “Para sesepuh desa mengatakan nama Kedaton berasal dari kerajaan raksasa yang dahulu di tempat itu terdapat istana Raja Arimba. Tulang belulang itu adalah tulang-tulang dari raksasa yang mati dalam pertempuran melawan Pandawa.”
Para peneliti sekalipun tidak begitu percaya, akhirnya mencoba mempelajari teks ini. Mereka akhirnya berkesimpulan Candranegara mungkin berbicara tentang tulang belakang proboscidea.
Candranegara boleh jadi tidak orisinal saat melukiskan peristiwa tersebut. Sebab dalam Peregrinations Javanaises, Marcel Bonneff menunjukkan cerita itu merupakan bagian dari dokumen yang lebih tua, yakni Serat Centhini, sejenis ensiklopedi yang berisi kejadian-kejadian di Jawa abad ke-17.
Sementara itu ada pula yang menganggap orang Jawa merupakan keturunan setan. “Bangsa Yunan menyebut penduduk asli Jawa sebagai setan. Karena itu mereka diperangi hingga habis. Yang wanita dikawini, hingga menghasilkan manusia Jawa yang sekarang ini,” kata parapsikolog Ki Hudoyo Doyodipuro.
Manusia Ngandong
Setelah berumit-rumit dengan mitos dan dongeng, agaknya manusia Ngandong layak disebut pula. Manusia ini dianggap paling maju dibanding manusia lainya. Apakah mereka merupakan manusia terdekat dengan manusia Jawa? Ternyata para ahli belum berani menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, konon yang mendiami Pulau Jawa sekarang ini adalah populasi campur aduk antara ras Mongoloid dengan penduduk pribumi. “Meski begitu sifat Mongoloidnya lebih tinggi,” kata Eko Konto Hendro.
Sifat Mongoloid ini makin berkurang ketika mendekati Irian Jaya. “Padahal, justru manusia-manusia Irian Jaya inilah yang mirip dengan manusia Jawa masa lampau. Jadi, sudah tergusur manusia asli Pulau Jawa ke tempat lain. Yang sekarang ini merupakan campuran yang rumit,” tambah Eko.
Soal “rumit” ini belum terpecahkan hingga kini. Evolusi manusia, pada pandangan T Jacob, memang merupakan laboratorium raksasa yang teramat rumit. Karenanya, mencari “asal-usul Manusia Jawa”, masih merupakan PR terbesar yang belum terpecahkan misterinya. (Triyanto Tri-wikromo/Hendro Basuki-08)
Prof. Dr. Teuku Jacob:” Mungkin Berasal dari Wajak”
SANGAT tidak mungkin memperbincangkan asal-usul manusia Jawa tanpa menyertakan Prof Dr Teuku Jacob. Sebab, di samping merupakan tokoh terkemuka pada bidang paleoantropologi, pria kelahiran Aceh Timur, 6 Desember 1929 ini memang telah menghasilkan karya yang telah menjadi klasik, yakni The Pithecanthropus of Indonesia. Sudah ratusan telaah berbagai bidang dihasilkan oleh anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini. Karenanya, tidak keliru berbincang “lintas sektoral” mengenai manusia Jawa dengan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini. Berikut petikannya.
Sejak kapan manusia Jawa itu ada?
Yang paling tua ada sekitar 1,8 Juta tahun yang lalu. Fosilnya ditemukan di Perning, Kabupaten Gresik, sebelah utara Mojokerto. Namanya Homo Erectus. Meski disebut sebagai “manusia Jawa”, jangan dikacaukan dengan orang Jawa sekarang. Memang, pada saat ditemukan, publik menamakannya sebagai Java Man. Namun, istilah itu bukan istilah resmi. Karenanya, ketika fosil semacam itu ditemukan pula di tempat lain, dapat digolongkan sebagai manusia Jawa juga.
Bagaimana tentang perilaku sosialnya?
Perilaku sosial manusia ini, dengan demikian, tidak ada hubungannya dengan manusia Jawa masa kini. Mereka, 90 persen kehidupannya, digunakan untuk berburu dan meramu. Itu, menyebabkan kelompok mereka tidak besar. Paling banyak hanya terdiri atas 30 sampai dengan 50 orang. Lebih besar atau kecil dari jumlah itu, akan kesulitan membagi hasil buruannya.
Karena senantiasa berburu, kehidupan mereka berpindah-pindah. Jika di sebuah tempat buruannya habis, mereka akan berpindah ke tempat lain. Bertolak dari hal tersebut, daerah eksploitasi mereka cukup besar. Namun demikian, alat-alat yang digunakan masih sederhana. Bahan-bahannya dari kayu atau bambu. Makin lama, baru memakai batu. Di sinilah, timbul industri batu, yaitu alat-alat yang diolah dari batu. Ini pun, makin lama, makin maju. Ini, berbeda dengan negeri-negeri,dingin. Karena tidak begitu banyak bambu atau kayu, mereka membuat alat-alat berburu dengan batu.
Mereka tidak pernah menetap pada waktu yang lama. Tinggal di alam terbuka, setiap tempat yang disinggahi, hanyalah merupakan pangkalan-pangkalan sementara. Dengan istilah sekarang, mereka seolah-olah camping dan membuat “rumah” dengan belukar. Karenanya, pada saat itu belum ada rumah dan desa. Pada kondisi semacam itu, mereka sebenarnya belum memproduksi makanan, tetapi hanya mengambil segala sesuatu yang disediakan alam. Mereka memproduksi alat-alat, tetapi tidak memproduksi makanan.
Kalau begitu, apakah mereka sudah mengenal industri?
Adanya istilah industri batu, juga jangan dikacaukan dengan pengertian industri masa kini Pembuatan alat dari batu dikatakan sebagai “industri”, karena dapat dibuat dalam jumlah banyak dan bentuknya tidak sembarangan. Karenanya, pada masa itu dapat dikenali mana yang disebut sebagai alat penetak. peneeruk. dan pemotong.
Pada awal kehidupan Homo erectus belum ada ukuran-ukuran atau nilai-nilai. Mereka hanya menjadi makhluk ekonomi, yang berusaha mencari cara terbaik untuk mendapatkan buruan yang banyak atau tumbuh-tumbuhan yang banyak. Meski begitu, sudah ada organisasi sosial dalarn bentuk yang sederhana. Mereka, sudah mengenal cara-cara memilih pemimpin kelompok dan mengkategorikan siapa-siapa saja yang layak dilindungi. Organisasi sosial tersebut, juga digunakan untuk membagi hasil buruan secara adil, mengajari generasi penerus membuat alat-alat dan lain-lainnya. Dengan kata lain, pada masa itu sudah ada semacam lembaga transmisi (penerusan) yang menularkan cara meramu dan berburu kepada khalayak yang lebih muda.
Setelah itu, baru muncul manusia yang lebih “modern” yang sering disebut sebagai Homo Sapiens. Otaknya lebih besar dari Homo Erectus. Pengalamannya lebih banyak, umurnya lebih panjang. Manusia yang adanya sekitar 2500 tahun yang lalu ini tidak ditemukan di Jawa. Semula Manusia Wajak disangka tua, tetapi penelitian yang termuktakhir menyatakan tidak. Demikian pula manusia Solo (Homo Erectus Soloensis), malah masih menyangsikan.
Dengan kata lain, manusia-manusia yang ditemukan di Jawa setelah Homo Erectus berasal dari Afrika Lantas yang menjadi Homo Sapiens mana? Mungkin berasal dari evolusi Homo Erectus yang telah mendiami Asia mungkin pula dari manusia lain yang melakukan migrasi. Karena itu, Homo Sapiens mungkin merupakan evolusi lokal dari jenis yang sudah ada di Asia, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai manusai yang berasal dari sebuah peristiwa migrasi.
Bagaimana proses evolusi lokal yang dialami Homo Erectus di Jawa?
Setelah yang tertua ditemukan, di Sangiran juga ditemukan jenis Homo Erectus yang mendiami Jawa 1,6 Juta tahun yang lalu. Ada pula yang 800 tahun yang lalu, yaitu mereka yang tinggal di Trinil, Ngawi. Malah di Sangiran ditemukan jenis manusia yang mendiami kawasan itu dari 1,6 Juta sampai dengan 700.000 tahun yang lalu. Mereka masih tergolong Homo Erectus sekalipun bentuk otaknya lebih besar dan kehidupannya lebih maju.
Nenek moyang orang Indonesia konon berasal dari Yunan. Menurut Anda?
Rumit sekali untuk membuktikan hal ini. Sebab, di samping Indonesia didatangi gelombang migrasi dari tempat lain, sebenarnya manusia-manusia yang tinggal di sini pun melakukan migrasi pula. Karenanya, tidak menjamin yang datang ke Indonesia benar-benar merupakan ras asli yang berasal dari Cina. Ada kemungkinan yang datang kemari pun sudah merupakan percampuran ras. Pendek kata, terlalu rumit untuk dijelaskan. Evolusi manusia itu merupakan laboratorium yang sangat besar sekali yang hingga kini “misteri-misteri”-nya belum benar-benar tersingkap seluruhnya.
Lantas nenek moyang terdekat manusia Jawa yang sekarang ini yang mana?
Mungkin yang berasal dari Wajak, serawak atau Pulau Belawan. Mereka merupakan satu ras. Tetapi kemungkinan berasal dari luar yang bercampur dengan Homo Erectus yang di sini. Sayang buktinya belum ada. Homo Erectus yang di Ngandong, terlalu belakang untuk berevolusi untuk menjadi Homo Sapiens.
Bagaimana evolusi budaya manusia Jawa?
Evolusi budaya manusia Jawa, tidak mesti sama dengan evolusi bologisnya. Karena umur manusia dulu sangat pendek, maka evolusi budayanya sangat lambat. Belakangan ini, evolusi biologisnya justru ketinggalan, bila dibandingkan dengan evolusi budayanya. Sekarang di tempat dingin, kita bisa mengenakan baju tebal. Sementara dulu, kita harus membentuk lemak, melalui evolusi biologis. Namun demikian, kedua evolusi itu terjadi bersama-sama (evolusi biokultural). Dalam hal ini yang satu mempengaruhi yang lain.
Budaya setempat memang berkembang akibat adanya percampuran dengan budaya yang dibawa manusia lain. Namun, budaya kita pun menyebar ke tempat lain dalam peristiwa migrasi.
Untuk menjelaskan hal ini, mungkin paling gampang melalui bahasa. Dulu bahasa yang dikenal hanya yang berhubungan dengannya, semacam air, langit, sungai, badak, kerbau, saya atau kamu. Karena harus berhubungan dengan orang lain dan fenomena yang dihadapi semakin beragam, akhirnya manusia da-pat membuat konsep.
Dulu orang hanya menyatakan yang “sekarang” dan “di sini” atau “kekinian” dan “kesinian”. Mereka tidak dapat menceritakan “kemarin” pergi ke pantai atau “besok” akan pergi ke gunung. Istilah yang muncul hanya yang berhubungan dengan survivalitas dan kebertahanan untuk hidup. Hanya itu saja yang dibicarakan. Mungkin dengan bahasa sekarang, mereka berkata, “Ada musuh. Ada makanan. Haus. Ada harimau.” Singkatnya kalimatnya pendek-pendek, Otaknya memang sudah cukup, tetapi aparat bersuaranya belum terlatih.
Mereka tahu api, tetapi belum dapat membuat api. Mereka bisa menyimpan atau menggunakan api, tetapi belum mampu men-ciptakannya. Pada masa itu, makanan sudah lunak.
Itu sebabnya, tidak diperlukan lagi geraham yang besar. Sekarang, moncong manusia tidak besar, karena jenis makanannya sudah berubah. Evolusi itu yang jelas serasi dengan lingkungan.
Dapatkah bentuk dan budaya manusia Jawa 200 juta tahun yang akan datang diprediksi?
Bisa saja. Tetapi belum tentu benar. Sebab, mungkin saja kita ini sedang menuju ke kepunahan. Bukankah dengan senjata nuklir kita bisa memusnahkan spesies apa pun? Dulu tidak ada yang dapat membunuh spesies lain. Dan soal kepunahan dalam fenomena alam ini adalah hal yang biasa dan sangat mungkin terjadi. Karena jumlah kita sangat banyak, kita tidak sadar bahwa manusia pun dapat punah.
Bisa juga, karena segala peralatan sudah memakai tombol, tidak perlu lagi tangan yang panjang. Mungkin jari tidak perlu lima. Mulut tidak perlu punya moncong besar karena jenis makanannya telah berbeda. Atau mungkin kita sedang menuju ke mahkluk yang benar-benar berdiri tegak. Sebab apa? Sebab untuk berdiri tegak dalam waktu lama, kita masih mengalami kesakitan. Jadi, masih ada kemungkinan adanya evolusi biologis maupun evolusi budaya. Ia akan tidak pernah berhenti. Ia bisa meloncat. Ia bisa bersalto. Bisa cepat. Bisa lambat. (Triyanto Tiwikromo/ Hendro Basuki -08)
Sumber: Suara Merdeka 29 Mei 1997